Thursday 28 April 2011

ASBAB AL-NUZUL


ASBAB AL-NUZUL
Al-Zarkasyi menjelaskan bahwa orang yang mengatakan bahwa Asbab Nuzul itu tidak penting dalam rangka pemahaman ayat-ayat Alquran adalah merupakan pandangan yang salah.[1] Tetapi para mufassir justru sangat memperhatikan Asbab al-Nuzul, sehingga ada yang mengkhususkan karya-­karyanya dalam bidang itu yaitu antara lain Ali bin al-Madiniy Syek al-Bukhari, al-Mahidi, al-Sayuthi dan lain-lain. Karena dengan memahami Asbab al Nuzul akan berpengaruh besar dalam memahami kandungan ayat.
Dalam tulisan  ini difokuskan tentang apa itu Asbab al-Nuzul dan bagaimana Asbab al-Nuzul itu. Dalam analisa dipakai tata pikir “reflektif-­fungsional”, dan sebagai sumber data diambil dari berbagai kitab yang ada kaitannya dengan Asbab al-Nuzul.
B. PENGERTIAN ASBAB AL-NUZUL
Istilah Asbab al-Nuzul terdiri dari dua kata yaitu Asbab yang berarti sebab-sebab, dan al-Nuzul berarti turun. Apabila dikaitkan dengan al-Qur’an , maka asbab al-nuzul berarti sebab-sebab turunnya al-Qur’an. Hal ini tidak berarti bahwa asbab al-nuzul berlaku sebagai sebab akibat. Artinya tanpa ada sebab, maka ayat tidak turun. Karena ayat al-Qur’an sendiri sudah ada di haderat Allah swt. Al­-Sayuthi[2] mengemukakan bahwa asbab al-nuzul ialah sesuatu yang pada hari-hari terjadinya ayat al-Qur’an diturunkan. Maksud “sesuatu” ialah peristiwa-peristiwa yang pada umumnya berupa peristiwa perseorangan yang terjadi di zaman Nabi, dan pertanyaan-pertanyaan yang diajukan kepada beliau. Dari definisi itu tergambar bahwa belum adanya kaitan antara latar belakang turunnya ayat dengan kandungan ayat yang mengomentarinya. Menurut al-Zarqani[3] bahwa asbab al­nuzul ialah sesuatu yang pada hari-hari terjadinya satu ayat atau beberapa ayat al-­Qur’an turun untuk membicarakannya atau menjelaskannya. Dari definisi tersebut tergambar bahwa dalam asbab al-nuzul ada gambaran dari ayat untuk menjelaskan peristiwa yang terjadi menjelang turunnya ayat. Berarti kalau tidak ada peristiwa berarti ada ayat-ayat al-Qur’an yang tidak ada asbab al-nuzulnya. Tentu hal ini menyulitkan pemahaman ayat.
Fazlur Rahman menjelaskan apa yang dikemukakan oleh Zarqany hanyalah merupakan asbab al-nuzul mikro, yang dalam penafsiran al-Qur’an harus dibantu dengan asbab al-nuzul makro, yaitu latar belakang yang berupa situasi sosio kultural religius masyarakat Arab ketika al-Qur’an diturunkan.[4] Yang senada dengan itu ialah al-Syatibi (tt.:347) bahwa asbab al-nuzul ialah situasi dan kondisi. Dengan demikian maka pengertian asbab-al-nuzul itu dapat dibagi dua. Pertama bahwa asbab al-nuzul ialah peristiwa-peristiwa yang terjadi menjelang ayat atau ayat-ayat dan ayat tersebut mengomentari peristiwa itu. Definisi ini kita sebut Asbab al-Nuzul Khas. Maksud “menjelang” ialah sebagai peristiwa “singkat” menjelang turunnya ayat atau beberapa ayat. Biasanya ditandai dengan kata “al-fa”  atau dengan kata “bi sabab kadza.”
Dari definisi tersebut dapat kita ambil suatu pengertian bahwa ada sebagian ayat-ayat al­-Qur’an yang tidak ada asbab al-nuzulnya.
Kedua, bahwa asbab al-nuzul adalah peristiwa-peristiwa yang terjadi pada masa Nabi, yang ayat-ayat tersebut mengandung hukumnya atau maknanya dari peristiwa-peristiwa tersebut. Maksud “peristiwa-peristiwa di masa Nabi adalah peristiwa yang terjadi pada masa Nabi atau peristiwa yang terjadi jauh setelah Nabi wafat, atau peristiwa yang terjadi jauh sebelum Nabi lahir. Biasanya ditandai dengan kata “sabab fi kadza”   Definisi ini kita sebut saja asbab al­-nuzul `Am. Dari definisi ini semua ayat ada asbab al-nuzulnya. Karena seluruh wahyu yang turun pasti menyentuh salah satu aspek kehidupan pada masa Nabi. Al-Zarkasyi menyebutkan bahwa telah dikenal sebagian dari kebiasaan sahabat dan tabi’in, apabila berkata: “nazalat hadzihi al-ayat fi kadza”, memberi makna ayat tersebut mengandung hukum ini, tidak karena “ini” sebab turunnya ayat.[5]
Ada beberapa hal yang pasti berkaitan dengan asbab al-nuzul yaitu (1) syakhsiyat al-nuzul ialah subyek yang pertama kali menjadi sasaran ayat, tetapi karena keumuman ungkapan al-Qur’an atau didorong oleh kesopanan, maka nama terang subyek nuzul tidak jelas, (2) mawathin al-nuzul yaitu tempat Rasulullah berada waktu ayat turun, (3) asbab al-nuzul [peristiwa yang mengiringi turunnya ayat] (4) haditsatun nuzul yakni pokok permasalahan. Di antara yang empat itu yang paling penting jadi pertimbangan ialah asbab al-nuzul. Kerena dengan mengetahui peristiwa itu akan mempermudah memahami kandungan ayat.
C. PENENTUAN ASBAB AL-NUZUL
Dalam mengumgkapkan asbab al-nuzul, para perawi bermacam-macam caranya. Ada yang mengatakannya secara tegas menyatakan bahwa suatu peristiwa tertentu menjadi sebab turunnya ayat. Ada yang tidak tegas tetapi menyebutkan dengan “fa” ta’qib (yang berarti kemudian). Ada yang mengatakannya bahwa Nabi ditanya, kemudian wahyu turun dan beliau memberi jawaban dengan turunnya wahyu itu. Dan di saat lain ada mengatakan bahwa suatu ayat diturunkan mengenai … Dan menyebutkan suatu peristiwa atau pengertian tertentu.[6]
Dan redaksi asbab an-nuzul tersebut bahwa redaksi yang pasti asbab an-nuzul ialah (1) hadatsa kadzaa (2) suila rasululullah saw ‘an kadzaa fanazalat al-ayah. Sedangkan redaksi yang mungkin asbab an-nuzul dan dimungkinkan pula kandungan ayat atau hukum adalah: (3) nazalat hadzihi al-ayah fii kadzaa (4) ahasabu hadzihi al-ayah nazalat fii kadzaa (5) Maa ahasabu hadzihi al-ayah nazalat illaa fii kadzaa.
Ungkapan yang pertama dan kedua merupakan sebab­-sebab yang melatar belakangi turunnya ayat-ayat al-Qur’an. Sedangkan cara yang ketiga, keempat dan kelima adalah mengandung dua kemungkinan, yaitu (1) menjelaskan asbab al­-nuzul atau (2) menjelaskan kandungan hukum dalam ayat atau sebagai penafsiran.
Ulama tafsir menetapkan bahwa asbab al-nuzul Khas itu tidak boleh ditentukan dengan jalan ijtihad, tetap harus melalui riwayat yang shahih dari mereka yang mengalami atau mencarinya.[7] Dalam hal ini al Shabuni menjelaskan bahwa mereka itu ialah para sahabat Nabi, tabi’in dan orang-oarang lain yang memperoleh pengetahuan dari ulama-ulama yang dapat dipercaya.[8]
Para sahabat Nabi adalah umat generasi pertama yang menyaksikan masa turunnya al-Qur’an dan merupakan kemestian jika di antara mereka banyak tahu tentang asbab al-nuzul. Oleh karena itu para ulama sepakat bahwa asbab al-nuzul yang bersumber dari mereka dikategorikan sebagai hadis yang musnad[9] yaitu hadis yang sanadnya sampai kepada Nabi.
Sedangkan tabi’in merupakan periode umar Islam kedua yang belajar kepada para sahabat dan tidak menyaksikan masa turunnya al-Qur’an. Karenanya riwayat asbab al-nuzul dari mereka berkedudukan sebagai hadis mursal[10] yaitu hadis yang gugur di akhir sanadnya yakni seseorang setelah tabi’in. Sebab mereka itu meriwayatkan secara langsung peristiwa yang terjadi di masa Nabi tanpa menyebutkan orang pertama yang menyaksikan masa turunnya al-Qur’an itu yaitu para sahabat.
Al-Suyuthi menjelaskan bahwa riwayat tabi’in baru dapat diterima apabila memenuhi syarat-syarat sebagai berikut: (1) sanadnya shahih sampai kepada tabi’in yang menjadi sumber peristiwanya mengenai asbab al-nuzul, (2) dia termasuk ulama tafsir yang belajar kepada sahabat seperti Mujahid, Ikrimah dan Said bin Zubair, (3) riwayat itu harus dikuatkan oleh hadis mursal lainnya.[11] Dengan demikian bahwa setiap riwayat asbab al-nuzul yang diterima dari sahabat dapat diterima sebagai pegangan, namun kalau yang datang dari tabi’in atau masa sesudahnya harus melalui seleksi yang amat ketat.
D. FUNGSI ASBAB AL-NUZUL
Dalam berbagai penafsiran al-Qur’an timbul berbagai kecurangan, ada yang meninggalkan asbab al-nuzul yang menafsirkan al-Qur’an berdasar pada kata-­kata, atau dengan ilmu-ilmu tertentu. Al-Wahidi dan para ulama lainnya menolak anggapan ini. Bahkan al-Wahidi mengatakan bahwa tidak mungkin mengetahui tafsir ayat tanpa mengetahui sejarah dan penjelasan turunnya.[12] Al-Shabuni lebih tegas lagi, ia mengatakan bahwa menguatkan kepentingan mengetahui asbab al-nuzul untuk dapat memahami makna-makna ayat al-Qur’an, bahkan sebagian ayat-ayat tidak mungkin dapat dipahami atau mengetahui hukum-hukum yang dikandungnya tanpa dengan sinaran asbab al-nuzul.[13] Adapun fungsi-fungsi asbab al-nuzul menurut al-Zarqani[14] adalah:
  1. 1. Membantu memahami ayat dan menghilangkan kesulitan yang mungkin timbul.
Seperi kasus Marwan bin Hakam (salah seorang Khalifah Bani Umayyah) yang mengalami kesulitan dalam memahami firman Allah Surat Ali Imran (3): 188­:
لا تحسبن الذين يفرحون بما أتوا ويحبون أن يحمدوا بما لم يفعلوا فلا تحسبنهم بمفازة من العذاب ولهم عذاب أليم
Janganlah sekali-kali kamu menyangka bahwa orang-orang yang gembira dengan apa yang telah mereka kerjakan dan mereka suka supaya dipuji terhadap perbuatan yang belum mereka kerjakan, janganlah kamu menyangka bahwa mereka terlepas dari siksa dan bagi mereka siksa yang pedih.
Marwan mengatakan, jika orang yang senang dengan apa yang telah diberikannya dan ingin dipuji dengan apa yang tidak dilakukannya akan siksa, maka kita semua akan disiksa. Dia tetap dalam kesulitannya itu sampai Ibnu Abbas menjelaskan bahwa ayat itu diturunkan berkenaan dengan orang Yahudi. Asbab al-nuzulnya: Ketika Nabi SAW menanyakan sesuatu kepada mereka (Yahudi), mereka merahasiakan jawabannya, dan memberi jawaban yang tidak sebenarnya. Setelah mereka memperlihatkan keinginan untuk memperoleh pujian dari beliau atas jawaban yang mereka berikan. Mereka merasa gembira dengan menyembunyikan jawaban yang sebenarnya. Ibnu Abbas kemudian membacakan ayat di atas.
Contoh lainnya, sekiranya tidak ada penjelasan mengenai asbab al-nuzul, mungkin sampai sekarang ini masih saja ada orang yang menghalalkan arak atau minuman keras lainnya yang memabukkan berdasarkan bunyi harfiah surat Al­Maidah (5):93 :
ليس على الذين آمنوا وعملوا الصالحات جناح فيما طعموا إذا ما اتقوا وآمنوا وعملوا الصالحات ثم اتقوا وآمنوا ثم اتقوا وأحسنوا والله يحب المحسنين
Tidaklah ada dosa bagi orang-orang yang beriman dan mengerjakan amalan yang saleh karena memakan makanan yang telah mereka makan dahulu, apabila mereka bertakwa serta beriman, dan mengerjakan amalan-amalan yang saleh, kemudian mereka tetap bertakwa dan beriman, kemudian mereka (tetap juga) bertakwa dan berbuat kebajikan. Dan Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.
Diriwayatkan, Usman bin Madzghun dan Amr bin Ma’ad, keduanya mengatakan: Khamar adalah mubah (halal). Mereka menggunakan ayat tersebut di atas sebagai dalil. Mereka tidak mengetahui sebab-sebab turunnya ayat yang melarang minuman keras. Padahal yang dimaksud oleh ayat tersebut, sebagaimana yang dikatakan oleh al-Hasan: Setelah ayat yang mengharamkan khamar turun, mereka bertanya: ”Lantas bagaimanakah teman-teman kita yang telah mati dalam keadaan perutnya berisi khamr, sedangkan Allah telah memberi tahu bahwa khamr itu perbuatan keji dan dosa.  “Tak lama kemudian turunlah ayat di atas.” [15]
  1. 2. Menghindari kesan adanya pembatasan secara mutlak dalam suatu ayat.
Sebagai contoh adalah pemahaman surat Al-An’am (6): 145:
قل لا أجد في ما أوحي إلي محرما على طاعم يطعمه إلا أن يكون ميتة أو دما مسفوحا أو لحم خنزير فإنه رجس أو فسقا أهل لغير الله به فمن اضطر غير باغ ولا عاد فإن ربك غفور رحيم
Katakanlah: Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu (1) bangkai, atau (2) darah yang mengalir atau (3) daging babi karena sesungguhnya semua itu kotor atau (4) binatang yang disembelih atas nama selain Allah. Barangsiapa dalam keadaan terpaksa sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampawi batas, maka sesungguhnya Tuhanmu Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Menurut lahir ayat ini menunjukkan bahwa makanan yang diharamkan Allah hanyalah bangkai, darah yang mengalir, daging babi dan hewan yang disembelih karena selain Allah. Tetapi al-Syafi’i berpendapat bahwa ayat itu tidak bermaksud memberi pembatasan yang mutlak seperti itu. Dia berpendapat bahwa ayat itu diturunkan karena orang-orang kafir mengharamkan apa yang dihalalkan Allah dan mereka menghalalkan apa yang diharamkanNya, untuk menunjukkan keinginan mereka kepada Allah dan RasulNya. Kemudian ayat itu diturunkan dengan memberi pembatasan formal sebagai jawaban yang tegas terhadap sikap ingkar mereka itu.
  1. 3. Mengetahui hikmah yang terkandung dalam hukum yang disyariatkan oleh agama.
Bagi yang berpendapat bahwa yang dipertimbangkan dalam memberlakukan ketentuan ayat dalam kekhususan sebab bukan keumuman ayat-ayatnya, sebab al-­nuzul berguna untuk mengkhususkan berlakunya ketentuan ayat tersebut pada orang yang menjadi latar belakang turunnya. Seperti ayat-ayat dhihar di permulaan surat Al-Mujadalah (58):2
الذين يظاهرون منكم من نسائهم ما هن أمهاتهم إن أمهاتهم إلا اللائي ولدنهم وإنهم ليقولون منكرا من القول وزورا وإن الله لعفو غفور
Orang-orang yang menzihar istrinya di antara kamu, (menganggap istrinya sebagai ibunya, padahal) tiadalah istri mereka itu ibu mereka. Ibu-ibu mereka tidak lain hanyalah wanita yang melahirkan mereka. Dan sesungguhnya mereka sungguh-sungguh mengucapkan suatu perkataan yang mungkar dan dusta. Dan sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun.
Ayat-ayat itu diturunkan karena Aus bin al-Shamit mendhihar interinya, Khaulah binti Hakim. Menurut pendapat ini, ketentuan ­ayat itu hanya berlaku bagi dua orang suami istri itu saja. Sedang hukum bagi lainnya ditentukan dengan dalil lain dengan jalan qiyas atau jalan lain.
  1. 4. Untuk mengetahui bahwa ketentuan ayat tetap berlaku bagi orang yang menjadi latar belakang turunnya, meskipun ayat itu ada pentakhsisnya.
Hal ini karena adanya ijma’ bahwa hukum yamg ditetapkan atas orang yang menjadi sebab ditetapkan hukum itu, tetap berlaku baginya. Dan apabila ada pentakhsis, maka pentakhsisan itu berlaku bagi selainnya.
  1. 5. Mengetahui secara pasti orang yang menjadi latar belakang turunnya ayat, sehingga tidak merasa sulit dan salah sangka dapat terhindari.
Seperti, `Aisyah membantah Marwan yang mengatakan bahwa Abdurrahman bin Abu Bakar (saudara istri Nabi) adalah orang yang menjadi sebab turunnya firman Allah dalam surat Al-Ahqaaf (46):17
والذي قال لوالديه أف لكما أتعدانني أن أخرج وقد خلت القرون من قبلي وهما يستغيثان الله ويلك آمن إن وعد الله حق فيقول ما هذا إلا أساطير الأولين
Dan orang-orang yang berkata kepada dua orang ibu bapaknya: Cis bagi kamu keduanya, apakah kamu keduanya memperingatkan kapadaku bahwa aku akan dibangkitkan, padahal sungguh telah berlalu beberapa umat sebelumku ? lalu kedua ibu bapaknya itu memohon pertolongan kepada Allah seraya mengatakan: Celaka kamu, berimanlah! Sesungguhnya janji Allah adalah benar. Lalu dia berkata: Ini tidak lain hanyalah dongengan orang-orang yang dahulu kala.
Dan dia mengatakan: “Demi Allah, bukanlah dia yang berkata begitu. Jika aku mau menyebutkannya, tentu aku bisa menyebutkannya”
  1. 6. Memudahkan menghafal dan memahami wahyu serta memantapkan di dalam dada orang yang mendengar ayat, jika ia mengetahui asbab al-nuzulnya.
Hal itu karena adanya hubungan sebab dengan akibat, ketentuan hukum dengan peristiwa, peristiwa dengan orang, dan waktu dengan tempat. Semua itu menyebabkan terkesannya segala hal dalam hati. Dari berbagai fungsi asbab al-nuzul yang dikemukakan oleh al-Zarqani tersebut hanya dua yang berhubungan langsung dengan penafsiran al-Qur’an, yaitu yang pertama dan ketiga. Sedangkan yang lainnya berhubungan dengan jiwa yang mengetahui asbab al-nuzul, penerapan ayat dan pelaku peristiwa asbab al-nuzul.
Para ulama ushul berbeda pendapat tentang, apakah yang dijadikan pegangan keumuman kata-kata atau kekhususan sebab? Artinya apabila ada sesuatu kejadian turun ayat tentang itu, apakah hukum ayat ini terbatas pada kejadian itu, atau seseorang yang karena diturunkan ayat-atau hukum itu meliputi semua umat manusia?[16] Mayoritas ulama berpendapat bahwa:
العبرة بعموم اللفظ لا بخصوص السبب
Yang menjadi pegangan ialah ungkapan keumuman lafadz bukan kekhususan sebab.  Inilah pendapat yang shahih dan di lain fihak ada yang berpendapat bahwa[17] :
العبرة بخصوص السبب لا بعموم اللفظ
“Yang menjadi pegangan ialah ungkapan kekhususan sebab bukan keumaman lafadz”
Dalam penggunaan kaidah di atas, para ulama memberi argumen, yaitu
  1. Hanya kata-kata yang digunakan Syari’ (Allah dan RasulNya) sajalah yang menjadi hujjah dan dalil, bukan pernyataan dan sebab nuzulnya kata-kata itu
  2. Pada dasarnya kata-kata itu harus diartikan menurut arti yang bisa langsung dimengerti oleh kata-kata itu, selama tidak ada sesuatu yang mengalihkan dari arti itu. Kata-kata yang terdapat dalam al-Qur’an tidak ada yang membelokkannya dari arti umumnya, karenanya harus tetap diartikan menurut arti umumnya itu
  3. Para sahabat dan para mujtahid di sepanjang masa dan di segala tempat hanya berpegang pada keumuman kata-kata, tanpa menggunakan qiyas atau dalil lainnya.[18]
Kalau kita berangkat dari asbab al-nuzul dalam arti `am, maka semua ayat ada asbab al-nuzulnya. Kalau istilah Fazlur Rahman disebut harus dipahami “konteks historis” setiap memahami dan menafsirkannya. Dengan demikian masa Nabi itu sudah merupakan miniatur dari kehidupan di alam semesta ini, sedangkan kalau kita melihat dari pengertian asbab al-nuzulnya. Di samping itu pula pengetahuan asbab al-nuzul dalam penafsiran al-Qur’an bagaimanapun besar artinya, bahkan ada sebagian ayat yang secara mutlak harus mengetahui asbab al-nuzulnya.
E. KAIDAH-KAIDAH: RIWAYAT ASBAB AL-NUZUL
Kenyataannya bahwa dalam periwayatan asbab al-nuzul ada beberapa riwayat yang menyebutkan peristiwa-peristiwa yang berbeda tetapi dikatakan sama menjadi asbab al-nuzul dalam arti khas. Hal ini membawa perbedaan pendapat.
Pertama, yang memandangnya sebagai kerancuan dalam riwayat-riwayat asbab al-nuzul, kedua, yang menganggapnya sebagai hal biasa dan mencarikan jalan keluar. Yang berpendapat pertama, seperti Fazlur Rahman dan al­-Thabathaba’i. Faz1ur[19] mengatakan bahwa literatur tentang turunnya wahyu sering bertentangan dan rancu. Al-thabathaba’i[20] mengatakan bahwa dalam riwayat-riwayat asbab al-nuzul terdapat banyak pertentangan yang satu dengan yang lainnya tidak dapat dikompromikan dengan jalan apapun.
Sedangkan yang berpandangan kedua, seperti al-Zarkasyi dan al-Suyuthi dari abad pertengahan dan al-Zarkasyi dan Subh Shalih dari ulama abad modern. Dalam hal ini mereka mentarjihkan atau mengkompromikan berbagai riwayat yang berbeda-beda itu.
Al-Zarkasyi [21] menyebutkan kaidah-kaidah tersebut, yaitu:
  1. 1. Jika ada dua riwayat yang satu shahih dan yang lainnya dha’if, maka yang digunakan ialah yang shahih dan yang dha’if ditolak.
Seperti ada dua riwayat asbab al-nuzul turunnya QS Dhuha  (93): 1-5:
والضحى والليل إذا سجى ما ودعك ربك وما قلى وللآخرة خير لك من الأولى ولسوف يعطيك ربك فترضى
Demi matahari sepenggalahan naik, dan demi malam apabila telah sunyi. Tuhanmu tiada meninggalkan kamu dan tiada (pula) benci kepadamu dan sesungguhnya akhir itu lebih baik bagimu dari permulaan. Dan kelak Tuhanmu pasti memberikan karunia Nya kepadamu, lalu kamu menjadi puas.
Riwayat pertama dari Imam Bukhari dan Muslim dari Jundub, pada suatu saat Rasulullah merasa gelisah sehingga beliau tidak bersembahyang malam (shalat nafilah atau shalat sunah) selama satu atau dua malam. Hal itu diketahui oleh seorang perempuan, lalu ia berkata pada beliau: “Hai Muhammad, kurasa temanmu (syaithanaka) telah meninggalkan dirimu.” Lalu turunlah ayat tersebut di atas.
Riwayat kedua, dari riwayat at-Thabrani, Ibnu As Syaibah dan al-Wahidi dari Khaulah, pelayan Rasul. Bahwa ada seekor anak anjing yang masuk kedalam rumah beliau dan mati di bawah tempat tidur, kemudian selama empat hari tidak turun wahyu. Maka Rasul bersabda: “Hai Khaulah, apa yang terjadi di rumah ini, Jibril tidak datang kepadaku. Aku berkata dalam hati, coba kubersihkan rumah dan menyapunya. Aku mengambil sapu dan membersihkan kolong tempat tidur dan menemukan anak anjing itu. Rasulullah SAW melihatnya dan terperanjat karena jijik. Sejak itu tiap beliau di tempat tersebut tampak gelisah. Kemudian Allah menurunkan ayat tersebut di atas.
Ibnu Hajar berpendapat bahwa cerita terlambatnya kedatangan Jibril karena adanya anjing itu masyhur. Tapi janggal kalau menjadi sebab turunnya ayat di atas itu bahkan merupakan riwayat yang syaz dan dibantah oleh riwayat Imam Bukhari dan Imam Muslim di atas.[22] Subh Shalih berpendapat bahwa riwayat yang kedua terasa mengandung kelemahan, susunan kalimat maupun maknanya terasa janggal dan aneh.[23]
  1. 2. Dua riwayat sama-sama shahih dan salah satunya lebih rajih dari pada yang lain, maka yang dipegangi adalah riwayat yang rajih dan yang marjuh ditinggalkan.
Hal-hal yang bisa menjadikan satu riwayat lebih rajih antara lain ialah nilainya yang lebih shahih dan salah satu dari dua riwayat itu perawinya menyaksikan jalannya peristiwa dan yang lain tidak. Sebagai contoh dua asbab al­-nuzul tentang turunnya firman Allah surat Al-Isra’ (17):85:
ويسألونك عن الروح قل الروح من أمر ربي وما أوتيتم من العلم إلا قليلا
Dan mereka bertanya kepadamu tentang roh. Katakanlah “Roh itu termasuk urusan Tuhanku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit.
Riwayat pertama, dari Imam Bukhari yang mengambil dari Ibnu Mas’ud berkata: Saya berjalan-jalan bersama Nabi SAW di Madinah. Kami beristirahat dan Nabi duduk bersandar pada pohon kurma. Sekelompok orang Yahudi lewat dan meminta beliau menjelaskan masalah roh. Maka beliau berdiri dan mengangkat kepala. Saya tahu bahwa wahyu sedang diturunkan kepadanya. Kemudian beliau membaca ayat tersebut di atas.
Riwayat kedua dari Imam Turmudzi dan dia menshahihkannya dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa sekelompok orang-orang musyrikin Quraisy berkata kepada sekelompok orang-orang Yahudi. Berikanlah sesuatu kepada kami untuk kami tanyakan kepada orang itu (Rasulullah). Orang-orang Yahudi itu menjawab: Tanyakanlah kepadanya soal roh. Orang-orang Quraisy itu lalu menanyakan hal tersebut kepada Rasulullah. Kemudian turunlah firman di atas. Menurut Ibnu Katsir, kedua riwayat ini dapat dikompromikan. Keduanya sama­-sama menjelaskan asbab al-nuzul, tapi berhubung jarak waktunya berjauhan, maka bentuk komprominya adalah bahwa ayat itu diturunkan dua kali. Sedang menurut al-Suyuthi bahwa riwayat yang pertama lebih rajih, sebab perawi Ibnu Mas’ud menyaksikan jalannya peristiwa, sedangkan perawi riwayat kedua (Ibnu Abbas) tidak menyaksikannya.[24] Bandingkan dengan pendapat al-Shabuni.[25] Subh Shalih menambahkan bahwa Jumhur Ulama lebih mengutamakan hadis-­hadis Shahih Bukhari dari pada hadis-hadis Shahih yang diriwayatkan oleh Turmudzi.[26]
  1. 3. Dua riwayat sama-sama shahih dan tidak dapat dirajihkan salah satunya, tetapi dapat dikompromikan dengan jalan bahwa dua riwayat itu sama-sama menjelaskan asbab al-nuzul dan ayat tersebut diturunkan setelah dua peristiwa yang disebutkan terjadi.
Seperti dua riwayat asbab al-nuzul bagi firman Allah surat Ali Imran (3) : 77:
إن الذين يشترون بعهد الله وأيمانهم ثمنا قليلا أولئك لا خلاق لهم في الآخرة ولا يكلمهم الله ولا ينظر إليهم يوم القيامة ولا يزكيهم ولهم عذاب أليم
Sesungguhnya orang-orang yang menukar janji Allah dan sumpah-sumpah mereka dengan harga yang sedikit, mereka itu tidak mendapat bahagian (pahala) di akhirat, dan Allah tidak akan berkata-kata dengan mereka dan tidak akan melihat kepada mereka pada hari kiamat dan tidak (pula) akan mensucikan mereka. Bagi mereka azab yang pedih.
Riwayat pertama, Imam Bukhari dan Muslim dari Asy’ats yang mengatakan bahwa ia bersengketa dengan seorang Yahudi mengenai sebidang tanah. Setelah perkara diajukan kepada Nabi SAW dan beliau menanyakan, apakah Asy’ats mempunyai bukti dan dijawab tidak, maka beliau menyuruh lawannya untuk bersumpah. Tapi Asy’ats keberatan. Dia beralasan, bila lawannya itu bersumpah, maka sumpahnya adalah sumpah palsu dan akibatnya hak milik Asy’ats bisa hilang. Kemudian Allah menurunkan ayat di atas.
Riwayat kedua, yaitu Imam Bukhari dari Abdullah bin Abi Auf yang mengatakan bahwa ada orang yang memegang barang milik orang lain di pasar. Dia bersumpah bahwa barang itu telah diberikan pemiliknya kepadanya. Dia mengaku demikian untuk merugikan seorang muslim. Kemudian turunlah ayat di atas.
  1. 4. Dua riwayat sama-sama shahih, tetapi tidak ada perajihnya. Dan berhubung peristiwa masing-masing berjauhan waktunya, maka kita dapat menjadikan asbab al-nuzul secara bersama-sama. Oleh karena itu diputuskan bahwa ayat itu diturunkan berulang-ulang setelah peritiwa-peristiwa yang disebutkan terjadi.
Seperti asbab al-nuzul firman Allah surat An-Nahl (16): 126-128:
وإن عاقبتم فعاقبوا بمثل ما عوقبتم به ولئن صبرتم لهو خير للصابرين واصبر وما صبرك إلا بالله ولا تحزن عليهم ولا تك في ضيق مما يمكرون إن الله مع الذين اتقوا والذين هم محسنون
Dan jika kamu memberi balasan maka balaslah dengan balasan yang sama dengan siksaan yang ditimpakan kepadamu. Akan tetapi jika kamu bersabar, sesungguhnya itulah yang lebih baik bagi orang-orang yang benar. Bersabarlah (hai Muhammad) dan tiadalah kesabaranmu itu melainkan dengan pertolongan Allah dan janganlah kamu bersedih hati terhadap (kekafiran) mereka dan janganlah kamu bersempit dada terhadap apa yang mereka tipu dayakan. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang bertakwa dan orang-orang yang berbuat kebajikan.
Riwayat pertama, yaitu riwayat Imam Baihaqy dan al-Bazzar dari Abu Hurairah yang menceriterakan, ketika Hamzah ditemukan wafat sebagai syahid dalam perang Uhud. Nabi berdiri di depan jenazahnya dalam keadaan jenazahnya sudah dicincang dan di saat itu beliau berucap, akan membalas dengan tujuh puluh orang kafir. Kemudian Jibril turun membawa ayat di atas.
Riwayat kedua yaitu riwayat Imam Turmudzi dan al-Hakim dari Ubay bin Ka’ab. Dia menceriterakan setelah dalam perang Uhud ada 64 sahabat Anshar dan 6 Muhajirin yang gugur, di antaranya adalah Hamzah, maka para sahabat bersumpah untuk membalas dendam. Para sahabat Anshar berkata: Jika pada suatu saat kami menang, maka akan kami hancurkan mereka. Kemudian setelah Makkah jatuh ke tangan muslimin, Allah menurunkan ayat di atas. Kedua riwayat di atas, yang pertama menyebutkan bahwa ayat-ayat tersebut diturunkan di perang Uhud dan yang kedua berhubungan dengan jatuhnya kota Makkah ke tangan kaum muslimin. Karena itu banyak ulama mengatakan bahwa ayat-ayat itu diturunkan dua kali setelah dua peristiwa di atas. Bahkan Ibnu Hashar menyatakan bahwa ayat-ayat itu diturunkan tiga kali, di Makkah bersama-sama dengan ayat-ayat surat An-Nahl yang lain yang diturunkan di kota ini, di Uhud setelah perang dan pada waktu penaklukan kota Makkah untuk memberikan peringatan kepada hamba-hambanya.[27]28
Empat cara itulah yang ditempuh oleh mufassir yang memakai asbab al­nuzul sebagai hal yang harus ada dalam memahami ayat-ayat al-Qur’an yang sedang ditafsirkan. Perlu ditegaskan bahwa dalam pemakaian asbab al-nuzul sebenarnya bukanlah harfiah asbab al-nuzulnya yang dijadikan pertimbangan, tetapi harus dilihat nilai yang terkandung di dalamnya.
F. KESIMPULAN
Asbab al-nuzul harus tetap ada dalam penafsiran al-Qur’an, baik asbab al­nuzul dalam pengertian khas maupun dalam pengertian `am. Pendapat tentang asbab al-nuzul tidak dapat diterima dengan ijtihad atau pemikiran mufassir, tetapi haruslah melalui riwayat yang ketat dan shahih.
Asbab al-nuzul sangat membantu mufassir atau yang berkecimpung dalam al-Qur’an untuk dapat mempermudah dalam berbagai hal yang berhubungan dengan al-Qur’an. Namun tidaklah setiap ayat al-Qur’an ada asbab al-nuzul dalam pengertian khas.
Wallahu A’lam Bishshawab

DAFTAR PUSTAKA 
Depag RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Yatasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir al­-Qur’an, Departemen Agama, Bumirestu, Jakarta, 1974.
Fazlur Rahman, Islam and Modernity, The University of Chicago Press, Chicago & London, 1978.
————-, Islam, Ahsin Muhammad (penterjemah), Pustaka, Bandung, 1984.
Ibnu Taimiyah, Muqaddimah fi Ushul al-Tafsir, Dar al-Qur’an al-Karim, Kuwait, 1971.
Suyuthi, al-Itqan fi Ulum al-Qur’an, Musthafa al-Bab al-Halabi, 1979.
—————, Lubaab al-Nuquul fi Asbab al-Nuzul, Maktab al-Riyadh al­Haditsah, Riyadh, tt.
Shabuni, al-Thibyaan fi Ulum al-Qur’an, Alam al-Kutub, Beirut, 1985.
Syah Waliyullah al-Dahlawi, al-Fai ul Kabir fi Ushul al-Tafsir dalam Irsyad al­Raghibin, Idarat al-Thiba’ah al-Muniriyah, Up. tt.
Thabathaba’i, al-Qur’an fii Islam, Markaz `llam al-Dzikra a1-Khamisah, Teheran, 1404 H.
Subh Shalih, Mabahits fi Uluum al-Qur’an, Dar al-Ilmi lit Malayin, Beirut, Beirut, 1977.
Wahidi, Asbab al-Nuzul, Musthafa al-Bab al-Halabi, Mesir, 1968.
Zarqany, Manahil al-Irfan fi Uluum al-Qur’an, `Isa al-Bab al-Halabi, ttp. tt.
Zarkasyi,  al-Burhaan.fi Ulum al-Qur’an, Dar al-Ihya, Mesir, 1957.
[1] Zarkasyi, al, al-Burhan fi ‘Ulum al-Qur’an, Jilid I,  Dar al-Ihya,  Mesir, 1957, hal. 22.
[2] Suyuthi, al-Itqan fi  Uluum al-Qur an, Musthafa al-Bab al-Halabi, 1979, hal.4.
[3] Zarqany, Manahil al-Irfan fi Uluum  al-Our’an, `Isa al-Bab al-Halabi, ttp. tt, hal. 106.
[4] Fazlur Rahman, Islam and Modernity, The University of Chicago Press, Chicago & London, 1978, hal. 15.
[5] Zarkasyi, Op. cit., hal.31-32.
[6]Zargany, Op.cit., ha1.115.
[7] Wahidi,  Asbab al Nuzul, Musthafa al-Bab al-Halabi, Mesir, 1968, hal.3-4.
[8]Shabuni, al-Thibyan fii Uluum al-Qur an, Alam al-Kutub,  Beirut, 1985, hal.25.
[9]Ibnu Taimiyah, Muqaddimah fii Ushul al-Tafsir, Dar al-Qur’an al-Karim, Kuwait, 1971, hal.48.
[10] Suyuthi, Op.cit., hal.31.
[11]Ibid.
[12]Wahidi, Op. cit., hal.4.
[13] Shabuni al, Op. cit., hal.19.
[14] Zarqany al, Op. cit., hal.109-114.
[15] Zarkasyi, Op. cit., hal. 28.
[16]Shobuni al, Op. cit., hal. 29.
[17] Ibid.
[18] Zarqony, Op. cit., hal. 127-129.
[19]Faziur Rahman, Islam and Modernity, The University of Chicago Press, Chicago & London, 1978, hal.17.
[20]Thabathaba’i, al-Qur’an fii Islam, Markaz `lil am al-Dzikra al-Khamisah, Teheran, Tahun 1404 H,  hal. 254.
[21] Zarkasyi, Op. cit., hal.116-119.
[22] Suyuthi, Op. cit., hal. 238.
[23] Subh Shalih,  Mabahits fi Ulum  al-Our’an, Dar al-ma’arif  lil Malayin, Beirut, Beirut, 1977, hal. 147.
[24]Suyuthi, Op. cit., hal.141.
[25] Shabuni, Op. cit., hal.27.
[26] Subh Shalih al, Op. cit, hal.146.
[27] Sayuthi al, Op.cit., hal. 138.

MAKALAH FILSAFAT


POSITIVISME AUGUSTE COMTE
Makalah ini Disusun Untuk Memenuhi
Tugas Mata Kuliah Filsafat Umum
Dosen Pengampu : Drs. Usman S.s M.Ag







Disusun Oleh:
Dedi Nur Hidayat (10410061)
PAI D/4

PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
2011

BAB I
PENDAHULUAN

Bagi kalangan awam kata ’positif’ lebih mudah dimaknai sebagai ’baik’ dan ’berguna’ sebagai antonim dari kata negatif. Pemahaman awam ini bukannya tanpa dasar, karena jika kita membaca, misalnya, kamus saku Oxford kita akan menemukan ’baik’ dan ’berguna’ dalam daftar makna untuk kata positive.[1] Dalam terma hukum, kita terbiasa mendengar hukum positif yang sering diperlawankan dengan hukum agama, hukum adat dan hukum-hukum yang lain. Hukum positif berarti hukum, dan juga hukuman, yang dibuat dan dilaksanakan oleh manusia dan berdasar rasionalitas. Disini, kata positif dimaknai secara berbeda. Tapi, arti ini, sekali lagi, tidak bertentangan dengan makna leksikal dari kata ini. Dalam kamus saku Oxford, makna jelas adalah arti kelima bagi kata positive.
Dalam konteks epistemologi, kata positive, yang pertama kali digunakan Auguste Comte, berperan vital dalam ”mengafirkan” filsafat dan sains di Barat, dengan memisahkan keduanya dari unsur agama dan metafisis, yang dalam kasus Comte berarti mengingkari hal-hal non-inderawi.[2] Hal ini, yang kemudian berkembangan menjadi paradigma positivistik ini, merasuk ke perkembangan saintifik, dalam ilmu-ilmu alam maupun ilmu-ilmu humaniora. Tulisan pendek ini akan mencoba memaparkan Auguste Comte dan positivisme yang diperkenalkannya.












BAB II
PEMBAHASAN
A.    Biografi
Sebelum kita mempelajari pemikiran dari auguste comte, terlebih dahulu kita perlu mengenal siapa itu auguste comte.
Auguste Comte, yang bernama lengkap Isidore Marie Auguste Francois Xavier Comte, di lahirkan di Montpellier Prancis selatan pada 17 Januari 1798. Setelah menyelesaikan pendidikan di Lycee Joffre dan Universitas Montpellier, Comte melanjutkan pendidikannya di Ecole Polytechnique di Paris. Masa pendidikannya di École Polytechnique dijalani selama dua tahun, antara 1814-16. Masa dua tahun ini berpengaruh banyak pada pemikiran Comte selanjutnya. Di lembaga pendidikan ini, Comte mulai meyakini kemampuan dan kegunaan ilmu-ilmu alam.[3] Pada Agustus 1817 Comte menjadi sekertaris, dan kemudian menjadi anak angkat, Henri de Saint-Simon, setelah comte di usir dan hidup dari mengajarkan matematika. Persahabatan ini bertahan hingga setahun sebelum kematian Saint-Simon pada 1825. Saint-Simon adalah orang yang tidak mau diakui pengaruh intelektualnya oleh Comte, sekalipun pada kenyataannya pengaruh ini bahkan terlihat dalam kemiripan karir antara mereka berdua. Selama kebersamaannya dengan Saint-Simon, dia membaca dan dipengaruhi oleh, sebagaimana yang diakuinya, Plato, Montesquieu, Hume, Turgot, Condorcet, Kant, Bonald, dan De Maistre, yang karya-karya mereka kemudian di kompilasi oleh menjadi dua karya besarnya, the Cours de Philosophie Positive dan Systeme de Politique Positive. Selama lima belas tahun masa akhir hidupnya, Comte semakin terpisah dari habitat ilmiahnya dan perdebatan filosofis, karena dia meyakini dirinya sebagai pembawa agama baru, yakni agama kemanusiaan.[4]
Pada saat Comte tinggal bersama Saint-Simon, dia telah merencanakan publikasi karyanya tentang filsafat positivisme yang diberi judul Plan de Travaux Scientifiques Necessaires pour Reorganiser la Societe (Rencana Studi Ilmiah untuk Pengaturan kembali Masyarakat). Tapi kehidupan akademisnya yang gagal menghalangi penelitiannya. Dari rencana judul bukunya kita bisa melihat kecenderungan utama Comte adalah ilmu sosial.
Secara intelektual, kehidupan Comte dapat diklasifikasikan menjadi tiga tahapan. Pertama, ketika dia bekerja dan bersahabat dengan Saint-Simon. Pada tahap ini pemikirannya tentang sistem politik baru dimana fungsi pendeta abad pertengahan diganti ilmuwan dan fungsi tentara dialihkan kepada industri. Tahap kedua ialah ketika dia telah menjalani proses pemulihan mental yang disebabkan kehidupan pribadinya yang tidak stabil. Pada tahap inilah, Comte melahirkan karya besarnya tentang filsafat positivisme yang ditulis pada 1830-1842. Kehidupan Comte yang berpengaruh luas justru terletak pada separuh awal kehidupannya.[5] Tahap ketiga kehidupan intelektual Comte berlangsung ketika dia menulis A Sytem of Positive Polity antara 1851-1854. Dalam perjalanan sejarah, alih-alih dikenal sebagai filosof, Comte lebih dikenal sebagai praktisi ilmu sejarah dan pembela penerapan metode saintifik pada penjelasan dan prediksi tentang institusi dan perilaku sosial. Pada 5 September 1857 tokoh yang sering disebut sebagai bapak sosiologi modern ini meninggal dunia.

B.     Kelahiran Filsafat Positivistik[6]
Pada dasarnya positivisme adalah sebuah filsafat yang meyakini bahwa satu-satunya pengetahuan yang benar adalah yang didasarkan pada pengalaman aktual-fisikal. Pengetahuan demikian hanya bisa dihasilkan melalui penetapan teori-teori melalui metode saintifik yang ketat, yang karenanya spekulasi metafisis dihindari. Positivisme, dalam pengertian diatas dan sebagai pendekatan telah dikenal sejak Yunani Kuno dan juga digunakan oleh Ibn al-Haytham dalam karyanya Kitab al-Manazhir. Sekalipun demikian, konseptualisasi positivisme sebagai sebuah filsafat pertama kali dilakukan Comte di abad kesembilan belas.[7]
Dalam karya besarnya, Comte mengklaim bahwa dari hasil studi tentang perkembangan intelektual manusia sepanjang sejarah kita bisa menemukan hukum yang mendasarinya. Hukum ini, yang kemudian dikenal sebagai Law of Three Stages, yang setiap konsepsi dan pengetahuan manusiawi pasti melewatinya, secara berurutan adalah kondisi teologi yang bercorak fiktif, kondisi metafisis yang bercorak abstrak, dan saintifik atau positive. Bagi Comte, pikiran manusia berkembang dengan melewati tiga tahap filsafati, yang berbeda dan berlawanan.[8] Dari tiga tahap pemikiran manusia ini, yang pertama mestilah menjadi titik awal pemahaman manusia dalam memahami dunia. Sedangkan tahap ketiga adalah tahap akhir dan definitif dari intelektualitas manusia. Tahap kedua hanyalah menjadi tahap transisi saja.[9]
Pengaruh terhadap pemikiran Comte tentang Hukum Tiga Tahap bisa dilacak pada iklim intelektual abad delapan belas dimana banyak ilmuan sampai pada simpulan tentang tahapan-tahapan sejarah. Beberapa diantara pemikir yang berpengaruh adalah Turgot, Quesnay, Condorcet, dan Robertson yang berpandangan tentang multi-tahap perkembangan ekonomi dalam sejarah manusia. Menjelang penemuan Hukum Tiga Tahap, Comte telah akrab dengan skema yang mirip yang diadopsi oleh Condorcet dari karya Turgot Second Discourse on Universal History, dan oleh Saint-Simon dari Condorcet. Tentang tiga tahap perkembangan intelektualitas manusia Turgot menulis:
”Before men were conversant with the mutual interconnection of physical effects, nothing was more natural than to suppose that these were produced byintelligent beings, invisible and resembling ourselves. Everything that happened…had its god…
When the philosophers had recognised the absurdity of these fables…the idea struck them to explain the causes of phenomena by way of abstract expressions like essences and faculties: expressions which in fact explained nothing, and about which men reasoned as if they were beings, new gods substituted for the old ones. Following these analogies, faculties were proliferated in order to provide a cause for each effect.
It was only much later, through observation of the mechanical action which bodies have upon one another, that men derived from this mechanics other hypotheses which mathematics was able to develop and experiment to verify.”
Oleh Comte, skema Turgot disebut sebagai hukum mendasar (great fundamental law) yang secara pasti memengaruhi keseluruhan perkembangan intelektual manusia dalam seluruh bidang pengetahuan.
Sebenarnya kata positive tidak hanya digunakan oleh Comte. Kata ini telah umum digunakan pada abad delapan belas, khususnya pada paruh kedua. Namun Comte adalah orang yang bertanggung jawab atas penerapan positivisme pada filsafat. Filsafat positivistik ini dibangun berdasarkan dua hal, yaitu filsafat kuno dan sains modern (baca: capaian sains hingga zaman Comte). Dari filsafat kuno, Comte meminjam pengertian Aristoteles tentang filsafat, yaitu konsep-konsep teoritis yang saling berkaitan satu sama lain dan teratur. Dari sains modern, Comte menggunakan ide positivistik a la Newton, yakni metode filsafati yang terbentuk dari serangkaian teori yang memiliki tujuan mengorganisasikan realitas yang tampak. Sebagaimana diakui Comte sendiri, ada kemiripan antara antara filsafat positivistik (philosophie positive) dan filsafat alam (natural philosophy) di Inggris. Pemilihan terhadap filsafat positivistik sebagai nama bagi sistem pemikiran yang dibangunnya karena filsafat positivistik hanya mencoba untuk menganalisis efek dari sebab-sebab sebuah fenomena dan menghubungkannya satu sama lain.
C.     Teori Positivisme August Comte
Di antara karya-karyanya Auguste Comte, Cours de Philosphie Possitive dapat dikatakan sebagai masterpiece-nya, karena karya itulah  yang paling pokok dan sistematis. Buku ini dapat juga dikatakan sebagai representasi bentangan aktualisasi dari yang di dalamnya Comte menulis tentang tiga tahapan perkembangan manusia.
            Menurut Comte, perkembangan manusia berlangsung dalam tiga tahap. Pertama, tahap teologis, kedua, tahap metafisik, ketiga, tahap positif.
1.Tahap Teologis
            Pada tahap teologis ini, manusia percaya bahwa dibelakang gejala-gejala alam terdapat kuasa-kuasa adikodrati yang mengatur fungsi dan gerak gejala-gejala tersebut. Kuasa-kuasa ini dianggap sebagai makhluk yang memiliki rasio dan kehendak seperti manusia. Tetapi orang percaya bahwa mereka berada pada tingkatan lebih tinggi dari pada makhluk-makhluk selain insani.
            Pada taraf pemikiran ini terdapat lagi tiga tahap. Pertama, tahap yang paling bersahaja atau primitif, dimana orang menganggap bahwa segala benda berjiwa (animisme). Kedua, tahap ketika orang menurunkan kelompok hal-hal tertentu, dimana seluruhnya diturunkan dari suatu kekuatan adikodrati yang melatarbelakanginya sedemikian rupa hingga tiap tahapan gejala-gejala memiliki dewa sendiri-sendiri (polytheisme). Gejala-gejala “suci” dapat disebut “dewa-dewa”, dan “dewa-dewa” ini dapat diatur dalam suatu sistem, sehingga menjadi politeisme dengan spesialisasi. Ada dewa api, dewa lautan, dewa angin, dan seterusnya.[10] Ketiga, adalah tahapan tertinggi, dimana pada tahap ini orang mengganti dewa yang bermacam-macam itu dengan satu tokoh tertinggi (esa), yaitu dalam monotheisme.[11]
            Singkatnya, pada tahap ini manusia mengarahkan pandangannya kepada hakekat yang batiniah (sebab pertama). Di sini, manusia percaya kepada kemungkinan adanya sesuatu yang mutlak. Artinya, di balik setiap kejadian tersirat adanya maksud tertentu.[12]
2. Tahap Metafisik
            Tahap ini bisa juga disebut sebagai tahap transisi dari pemikiran Comte. Tahapan ini sebenarnya hanya merupakan varian dari cara berpikir teologis, karena di dalam tahap ini dewa-dewa hanya diganti dengan kekuatan-kekuatan abstrak, dengan pengertian atau dengan benda-benda lahiriah, yang kemudian dipersatukan dalam sesuatu yang bersifat umum, yang disebut dengan alam. Terjemahan metafisis dari monoteisme itu misalnya terdapat dalam pendapat bahwa semua kekuatan kosmis dapat disimpulkan dalam konsep “alam”, sebagai asal mula semua gejala.[13]
3. Tahap Positif
            Pada tahap positif, orang tahu bahwa tiada gunanya lagi untuk berusaha mencapai pengenalan atau pengetahuan yang mutlak, baik pengenalan teologis maupun metafisik. Ia tidak lagi mau mencari asal dan tujuan terakhir seluruh alam semesta ini, atau melacak hakekat yang sejati dari “segala sesuatu” yang berada di belakang segala sesuatu. Sekarang orang berusaha menemukan hukum-hukum kesamaan dan urutan yang terdapat pada fakta-fakta yang disajikan kepadanya, yaitu dengan “pengamatan” dan dengan “memakai akalnya”. Pada tahap ini pengertian “menerangkan” berarti fakta-fakta yang khusus dihubungkan dengan suatu fakta umum. Dengan demikian, tujuan tertinggi dari tahap positif ini adalah menyusun dan dan mengatur segala gejala di bawah satu fakta yang umum.
            Bagi comte, ketiga tahapan tersebut tidak hanya berlaku bagi perkembangan rohani seluruh umat manusia, tetapi juga berlaku bagi di bidang ilmu pengetahuan. Dalam hal ini, comte menerangkan bahwa segala ilmu pengetahuan semula dikuasai oleh pengertian-pengertian teologis, sesudah itu dikacaukan dengan pemikiran metafisis dan akhirnya dipengaruhi hukum positif. Jelasnya, ketiga tahapan perkembangan umat manusia itu tidak saja berlaku bagi suatu bangsa atau suku tertentu, akan tetapi juga individu dan ilmu pengetahuan.
            Meskipun seluruh ilmu pengetahuan tersebut dalam perkembangannya melalui ketiga macam tahapan tersebut, namun bukan berarti dalam waktu yang bersamaan. Hal demikian dikarenakan segalanya tergantung pada kompleksitas susunan suatu bidang ilmu pengetahuan. Semakin kompleks susunan suatu bidang ilmu pengetahuan tertentu, maka semakin lambat mencapai tahap ketiga.
            Lebih jauh Comte berpendapat bahwa pengetahuan positif merupakan puncak pengetahuan manusia yang disebutnya sebagai pengetahuan ilmiah. Di sini, ilmu pengetahuan dapat dikatakan bersifat positif apabila ilmu pengetahuan tersebut memusatkan perhatian pada gejala-gejala yang nyata dan kongrit. Dengan demikian, maka ada kemungkinan untuk memberikan penilaian terhadap berbagai cabang ilmu pengetahuan dengan jalan mengukur isinya yang positif, serta sampai sejauh mana ilmu pengetahuan tersebut dapat mengungkapkan kebenaran yang positif.[14] Sesuai dengan pandangan tersebut kebenaran metafisik yang diperoleh dalam metafisika ditolak, karena kebenarannya sulit dibuktikan dalam kenyataan.
            Demikianlah pandangan Auguste Comte tentang hukum tiga tahapnya, yang pada intinya menyatakan bahwa pemikiran tiap manusia, tiap ilmu dan suku bangsa melalui 3 tahap, yaitu teologis, metafisis dan positif ilmiah. Dalam hal ini Auguste Comte memberikan analog; manusia muda atau suku-suku primitif pada tahap teologis sehingga dibutuhkan figur dewa-dewa untuk “menerangkan” kenyataan. Meningkat remaja dan mulai dewasa dipakai prinsip-prinsip abstrak dan metafisis. Pada tahap dewasa dan matang digunakan metode-metode positif dan ilmiah

D.    KRITIK  ATAS  POSITIVISME
Dalam sejarahnya, positivisme dikritik karena generalisasi yang dilakukannya terhadap segala sesuatu dengan menyatakan bahwa semua ”proses dapat direduksi menjadi peristiwa-peristiwa fisiologis, fisika, atau kimia” dan bahwa ”proses-proses sosial dapat direduksi ke dalam hubungan antar tindakan-tindakan individu” dan bahwa ”organisme biologis dapat direduksi kedalam sistem fisika”.[15]
Kritik juga dilancarkan oleh Max Horkheimer dan teoritisi kritis lain. Kritik ini didasarkan atas dua hal, ketidaktepatan positivisme memahami aksi sosial dan realitas sosial yang digambarkan positivisme terlalu konservatif dan mendukung status quo. Kritik pertama berargumen bahwa positivisme secara sistematis gagal memahami bahwa apa yang mereka sebut sebagai ”fakta-fakta sosial” tidak benar-benar ada dalam realitas objektif, tapi lebih merupakan produk dari kesadaran manusia yang dimediasi secara sosial. Positivisme mengabaikan pengaruh peneliti dalam memahami realitas sosial dan secara salah menggambarkan objek studinya dengan menjadikan realitas sosial sebagai objek yang eksis secara objektif dan tidak dipengaruhi oleh orang-orang yang tindakannya berpengaruh pada kondisi yang diteliti. Kritik kedua menunjuk positivisme tidak memiliki elemen refleksif yang mendorongnya berkarakter konservatif. Karakter konservatif ini membuatnya populer di lingkaran politik tertentu.





















BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
            Positivism Comte merupakan sebuah filsafat untuk mencapai suatu ilmu pengetahuan. Yang mana ilmu pengetahuan itu merupakan hasil dari pengalaman yang berasal dari gejala-gejala. Segala hal yang tidak termasuk dalam hal-hal yang positif tidak dapat disandarkan sebagai ilmu pengetahuan, dan tidak bisa diterima, seperti metafisika dan segala kepercayaan religious.
            Cita-cita Comte yaitu membuat suatu masyarakat yang sesuai dengan filsafatnya yaitu masyarakat yang berpegangan pada hal-hal yang positif, sehingga masyarakat tersebut akan berpegang teguh pada ilmu pengetahuan sehingga dapat meningkatkan dunia material dari masyarakat. tanpa ada unsur religious ataupun unsur metafisik, yang mana tidak percaya akan ada yang supranatural dibalik yang nyata. Comte mengganti masyarakat yang bersifat religious menjadi masyarakat yang berpegang teguh pada kemanusian dan kemajuan social.
Comte adalah seorang yang radikal tetapi, bukanlah seorang yang revolusioner, Comte seorang yang progresiv namun bukan seorang yang militansinya tinggi (walaupun, sempat mengalami kegilaan/paranoid). Comte berjalan di tengah-tengah, mencari jalan alternatif melalui ilmu pengetahuan yang dikembangkannya guna menyiasati kemungkinan besar yang akan terjadi.













DAFTAR PUSTAKA

Akhmadi, Asmoro, Filsafat Umum, Jakarta: RajaGrafindo Persada, Cet. IV, 2001
Wibisono, Koento, Arti Perkembangan menurut Positivisme Comte, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, Cet. II, 1996
Abu Rayyan, Muhammad Ali. Aslamah al-Ma’rifah, al-Ulum al-Insaniyah wa Manahijiha min Wijhah Nazhr Islamiyah. -. (Dar al-Ma’rifah al-Jami’iyah).
Comte, Auguste. The Positive Philosophy. terj. Harriet Martineau. 1896. (George Bell & Sons: London).
Oxford Learner’s Pocket Dictionary. 2005. (Oxford University Press: Oxford).
Stoke, Philip. Philosophy, 100 Essential Thinkers. 2006. (Enchanted Lion Books: New York).
Ten, C. L. Routledge History of Philosophy, The Nineteeth Century. 1994. (Routledge: London dan New York).
Macherey, Pierre. Comte, al-Falsafah wa al-Ulum. terj. Sami Adham. 1994. (al- Muassasah al-Jami’iyah li al-Dirasat wa al-Nasyr wa al-Tawzi’: Beirut).
http://en.wikipedia.org/wiki/Auguste_Comte
http://fajar13.co.cc/index.php?p=1_10
http://fajar13.co.cc/web_documents/auguste_comte.pdf
http://en.wikipedia.org/wiki/Positivism






[1]               Oxford Learner’s Pocket Dictionary, hal. 333.
[2]               Muhammad Ali Abu Rayyan, Aslamah al-Ma’rifah, al-Ulum al-Insaniyah wa Manahijiha min Wijhah Nazhr Islamiyah, hal. 225 dan 227-228.
[3]               Robert Brown, Comte and Positivism, dalam C. L. Ten, Routledge History of Philosophy, vol. VII, The Nineteeth Century, hal. 123
[4]               Ibid
[5]               Philip Stoke, Philosophy 100 Essential Thinkers, hal. 117
[6]               Penggunaan kata positivistik sebagai ajektifa bagi filsafat sebenarnya kurang tepat, yang tepat seharusnya filsafat positiv (dengan ’v’ alih-alih ’f’). Penggunaan ini semata untuk menghindari kesalahpahaman yang ditimbulkan dari kata positif dalam bahasa Indonesia. Dalam bahasa Inggris kata positif (dengan ’f’) memiliki arti berbeda dengan positive (positive).
[7]               http://en.wikipedia.org/wiki/Positivism
[8]               Auguste Comte, The Positive Philosophy, terj. Harriet Martineau, v. I, hal. 27.
[9]               Ibid., v. I, hal. 28.
[10]             Koento Wibisono, Op. Cit., hlm. 27
[11]             Ali Maksum, Loc. Cit
[12]             Asmoro Akhmadi, Filsafat Umum, Jakarta: RajaGrafindo Persada, Cet. IV, 2001, hlm. 117
[13]             Koento Wiisono, Loc. Cit.
[14]             Bernard Deltgauw, Sejarah Ringkas Filsafat Barat, terj. Soejono Soemargono, Yogyakarta: Tiara Wacana, 1992, hlm. 67
[15]             Mary Pickering, Auguste Comte: An Intellectual Biography, v. I, h. 566 dalam http://en.wikipedia.org/wiki/Positivism