Oleh : Dedy_eNHa
PALESTINA NEGERI PILIHAN
Inilah tanah pilihan, Allah Subhanahu wa Ta’ala
telah menetapkan keberkahan tanah Palestina, tanah yang juga termasuk
bagian dari Syam. Keberkahannya ini dapat dirunut, misalnya Syam menjadi
tempat hijrah Nabi Ibrahim Alaihissalam, tempat singgah Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam
ketika menjalankan Isra dan Mi’raj, tempat dakwah para Nabi. Dakwah
yang membawa misi agama tauhid. Dan juga lantaran keberadaan Masjidil
Aqsha di tanah Palestina yang penuh berkah.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
سُبْحَانَ
الَّذِي أَسْرَى بِعَبْدِهِ لَيْلاً مِّنَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ إِلَى
الْمَسْجِدِ الأَقْصَى الَّذِي بَارَكْنَا حَوْلَهُ لِنُرِيَهُ مِنْ
آيَاتِنَا إِنَّهُ هُوَ السَّمِيعُ البَصِيرُ
“Maha suci Allah, yang telah
memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Al-Masjidil Haram ke
Al-Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya, agar Kami
perlihatkan kepadanya sebagian tanda-tanda kebesaran Kami. Sesungguhnya
Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat” [Al-Israa : 1]
Selain memuliakan tanah Palestina, Allah
juga memilih Mekkah dan Madinah. Begitulah Allah telah mengistimewakan
wilayah Syam, dan Masjidil Aqsha. Dan Allah memilih Nabi kita, Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan menjadikannya sebagai khatamul anbiya wal mursalin (Penutup Para Nabi dan Rasul). [1]
BILAMANA KEBERADAAN BANI ISRAIL DI BUMI PALESTINA?
Masa Nabi Ya’qub Dan Nabi Yusuf ‘Alaihimassalam
Sejarah Yahudi bermula sejak Israil, yaitu Ya’qub bin Ishaq bin Ibrahim
Al-Khalil, yang tumbuh di daerah Kan’an (Palestina) dengan dikarunia
sejumlah 12 anak. Mereka itulah yang disebut asbath (suku) Bani Israil, dan hidup secara badawah (pedesaan) [2].
Ketika Allah Subhanahu wa Ta’ala
menempatkan Yusuf sebagai pejabat penting di Mesir, kemudian meminta
kedua orang tua dan saudara-saudaranya untuk berpindah ke Mesir. Di
Mesir, keluarga ini hidup di tengah masyarakat watsaniyyun (paganisme). Mereka hidup dengan kehidupan yang baik lagi nikmat di masa Yusuf [3]
Setelah Nabi Yusuf wafat, seiring dengan
perjalanan waktu dan pergantian penguasa, kondisi Bani Israil berubah
total. Yang sebelumnya menyandang kehormatan dan kemuliaan, kemudian
menjadi terhina, lantaran Fir’aun melakukan penindasan dan memperbudak
mereka dalam jangka waktu yang amat lama, sampai Allah mengutus Nabi
Musa Alaihissalam, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.
وَإِذْ
نَجَّيْنَاكُم مِّنْ آلِ فِرْعَوْنَ يَسُومُونَكُمْ سُوَءَ الْعَذَابِ
يُذَبِّحُونَ أَبْنَاءكُمْ وَيَسْتَحْيُونَ نِسَاءكُمْ وَفِي ذَلِكُم
بَلاءٌ مِّن رَّبِّكُمْ عَظِيمٌ
“Dan (ingatlah) ketika Kami
selamatkan kamu dari (Fir’aun) dan pengikut-pengikutnya, mereka
menimpakan kepadamu siksaan yang seberat-beratnya, mereka menyembelih
anak-anakmu yang laki-laki dan membiarkan hidup anak-anakmu yang
perempuan. Dan pada yang demikian terdapat cobaan-cobaan yang besar dari
Rabb-mu” [Al-Baqarah : 49]
إِنَّ
فِرْعَوْنَ عَلَا فِي الْأَرْضِ وَجَعَلَ أَهْلَهَا شِيَعاً يَسْتَضْعِفُ
طَائِفَةً مِّنْهُمْ يُذَبِّحُ أَبْنَاءهُمْ وَيَسْتَحْيِي نِسَاءهُمْ
“Sesungguhnya Fir’aun telah berbuat
sewenang-wenang di muka bumi dan menjadikan penduduknya berpecah-belah,
dengan menindas segolongan dari mereka, menyembelih anak laki-laki
mereka dan membiarkan hidup anak-anak perempuan mereka …” [Al-Qashash : 4]
Masa Nabi Musa Alaihissalam
Allah mengutus Nabi Musa dan Harun kepada Fir’aun dan kaumnya, dengan
dibekali mukjizat, untuk menyeru mereka agar beriman kepada Allah dan
membebaskan Bani Israil dari siksaan. Namun Fir’aun dan kaumnya
mendustakan mereka berdua, kufur kepada Allah. Karenanya, Allah
menimpakan kepada mereka berbagai bencana, kekeringan, rusaknya
pertanian, mengirim angin kencang, belalang dan lain-lain. [4]. Kemudian
Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan Musa untuk lari
bersama Bani Israil pada suatu malam dari negeri Mesir [5]. Fir’aun dan
kaumnya pun mengejar. Tetapi Allah Subhanahu wa Ta’ala
menenggelamkan Fir’aun beserta kaumnya, dan menyelematkan Musa dan
kaumnya ke Negeri Saina, masuk dalam wilayah Palestina sekarang.
Peristiwa itu terjadi pada hari Asyura. [6]
Orang-orang Yahudi menyebutkan, lama Bani
Israil tinggal di Mesir 430 tahun. Jumlah mereka waktu itu sekitar 600
ribu orang lelaki.
Mengenai besaran jumlah ini. Dr Su’ud bin Abdul Aziz Al-Khalaf berkata : [7]
“Pengakuan ini sangat berlebihan. Karena
berarti, bila ditambah dengan jumlah anak-anak dan kaum wanita, maka
akan mencapai kisaran 2 juta-an jiwa. Tidak mungkin dapat dipercaya. Itu
berarti jumlah mereka mengalami pertumbuhan 30 ribu kali. Sebab sewaktu
Bani Israil masuk ke Mesir, berjumlah 70 jiwa. Padahal Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman dalam surat Asy-Syu’ara : 54.
إِنَّ هَؤُلَاء لَشِرْذِمَةٌ قَلِيلُونَ
“(Fir’aun berkata) ; ‘Sesungguhnya mereka (Bani Israil) benar-benar golongan yang kecil”
Jumlah 2 juta tidak bisa dikatakan kecil.
Mustahil dalam satu malam terjadi eksodus dua juta jiwa. Kita tahu di
dalamnya terdapat anak-anak dan kaum wanita serta orang-orang tua.
Orang-orang yang bersama Nabi Musa,
mereka adalah orang-orang dari Bani Israil yang mengalami penindasan dan
kehinaan serta menuhankan manusia dalam jangka waktu yang lama. Aqidah
mereka telah rusak, jiwanya membusuk, mentalnya melemah, dan muncul pada
mereka tanda-tanda pengingkaran, kemalasan, pesimis, serta bermaksiat
kepada Allah dan Rasul-Nya. [8]
Meski Allah telah menunjukkan banyak
mukjizat dan tanda-tanda kekuasaan-Nya melalui Nabi Musa, tetapi mereka
tetap ingkar, sombong dan tetap kufur. Mereka justru meminta untuk
dibuatkan berhala sebagai tuhan yang disembah. Hingga akhirnya,
As-Samiri berhasil menghasut mereka untuk menyembah anak sapi, menolak
memerangi kaum yang bengis (Jababirah). Maka, Allah menimpakan hukuman
kepada mereka berupa tiih (berjalan berputar-putar tanpa arah
karena kebingungan) dalam jangka waktu yang dikehendaki Allah. Pada
rentang waktu ini, Musa wafat. Sementara Harun sudah meninggal terlebih
dahulu.
Setelah usai ketetapan waktu yang Allah
kehendaki untuk menghukum mereka dengan kebingungan tanpa mengetahui
arah, Bani Israil berhasil menaklukan bumi yang suci di bawah pimpinan
Nabi Yusya bin Nun Alaihissalam. [9]
Para ahli, membagi perjalanan sejarah kota suci Palestina pasca penaklukan tersebut menjadi tiga periode.
Pertama : Masa Qudhah,
Yaitu masa penunjukkan hakim bagi setiap suku yang berjumlah dua belas,
setelah masing-masing mendapatkan wilayah sesuai pembagian Nabi Yusya
bin Nun. Masa ini, kurang lebih berlangsung selama 400 tahun lamanya.
[10]
Kedua : Dikenal dengan
masa raja-raja. Diawali oleh Raja Thalut. Kondisi masyarakat mengalami
masa keemasan saat dipegang oleh Nabi Daud dan Nabi Sulaiman.
Ketiga : Periode yang
disebut sebagai masa perpecahan internal, yaitu setelah Nabi Sulaiman
wafat. Mereka terbelah menjadi dua kutub. Bagian selatan dengan ibukota
Baitul Maqdis dan wilayah utara dengan ibukota Nablus.
Dua wilayah ini, akhirnya dikuasai bangsa
asing. Wilayah selatan ditaklukan oleh bangsa Assiria dari Irak.
Wilayah utara diserbu Mesir. Disusul kedatangan Nebukadnezar, yang mampu
mengusir bangsa Mesir dari sana. Pergantian kekuasaan ini, akhirnya
dipegang bangsa Romawi yang berhasil mengalahkan bangsa Yunani, penguasa
sebelumnya.
Pada masa kekuasaan Romawi inilah, Isa
Al-Masih diutus oleh Allah. Pada masa itu pula, musibah dahsyat dialami
kaum Yahudi. Bangsa Romawi melakukan genocide (pemusnahan)
secara keras etnis mereka, lantaran orang-orang Yahudi melakukan
pemberontakan. Baitul Maqdis pun dihancurkan. Bangsa Yahudi
tercerai-berai. Sebagian melarikan diri ke seluruh penjuru wilayah bumi.
Demikianlah hukuman Allah dengan mendatangkan bangsa yang menindas
mereka. Siksaan dan kepedihan ditimpakan kepada mereka, atas kerusakan,
tindak aniaya dan akibat akhlak mereka yang buruk. [11]
Bangsa Romawi menguasai tanah Baitul
Maqdis hingga beberapa lama, hingga kemudian pada abad pertama hijriyah,
pada masa khalifah Umar Ibnu Khaththab Radhiyallahu ‘anhu,
kaum Muslimin berhasil mengambil alih penguasaan tanah penuh berkah ini
dari tangan bangsa Romawi yang memeluk agama Nashrani, meliputi
Palestina, Syam dan daerah yang ada di dalamnya. Tepatnya pada
pemerintahan Khalifah Umar Ibnul Khaththab Radhiyallahu ‘anhu,
pada bulan Rajab tahun 16H, sehingga menjadi Darul Islam. Penyerahan
Baitul Maqdis ini terjadi, setelah pasukan Romawi disana dikepung oleh
pasukan kaum Muslimin selama empat puluh hari di bawah komando Abu
Ubaidah Ibnul Jarrah Radhiyallahu ‘anhu. Kemudian Khalifah Umar Ibnul Khaththab menetapkan orang-orang Yahudi tidak boleh tinggal di Baitul Maqdis.
KLAIM PALSU YAHUDI ATAS TANAH PALESTINA
Merasa nenek moyangnya pernah berdiam
disana, menyebabkan kaum Yahudi membuat klaim jika mereka memiliki hak
atas tanah Palestina. Alasan yang dikemukakan, karena mereka telah
mendiaminya sejak Nabi Ibrahim dan berakhir ketika orang-orang Yahudi
generasi akhir diusir dari Baitul Maqdis pada masa Romawi.
Mereka pun mengklaim hak kepemilikan
tersebut juga berdasarkan tinjauan agama. Yaitu mengacu kepada kitab
suci mereka, bahwa Allah telah menjanjikan kepemilikan tanah Kan’an
(Palestina) dan wilayah sekitarnya, dari sungai Nil di Mesir sampai
sungai Eufrat di Irak. Janji tersebut disampaikan Allah kepada Ibrahim.
Begitulah bangsa Yahudi yang hidup pada masa sekarang mengklaim sebagai
keturunan Ibrahim, bangsa terpilih. Sehingga merasa paling berhak dengan
Palestina dan sekitarnya, yang disebut-sebut sebagai ardhul mi’ad (tanah yang dijanjikan).
Karenanya, muncul upaya untuk menghimpun
kaum Yahudi yang tersebar di berbagai wilayah, bertujuan mendirikan
sebuah negara Israil Raya, Napoleon Bonaparte, seorang
raja Perancis telah memfasilitasi tujuan tersebut. Caranya, pada tahun
1799M, dia mengajak Yahudi dari Asia dan Afrika untuk bergabung dengan
pasukannya. Namun akibat kekalahan dideritanya, menyebabkan rencana
tersebut tidak terwujud.
Wacana ini kembali muncul, dengan terbitnya buku Negara Yahudi, yang ditulis pemimpin mereka, Theodare Heartzel
pada tahun 1896M. Orang-orang Yahudi melakukan kajian secara jeli
tentang kondisi negara-negara penjajah. Hingga sampai pada kesimpulan,
bahwa Inggris merupakan negara yang paling tepat untuk membantu
merealisasikan rencana tersebut.
Ringkasnya, setelah melalui lobi-lobi,
maka pada tahun 1917M, Inggris yang menjajah kebanyakan negara Arab,
memberikan tanah hunian bagi Yahudi di Palestina. Penguasa Inggris
melindungi mereka dari kemarahan kaum Muslimin. Di sisi lain, penjajah
Inggris bersikap sangat keras terhadap kaum Muslimin di sana.
KEPALSUAN PENGAKUAN YAHUDI
Sebelum Bani Israil masuk ke wilayah
tersebut, tanah Palestina telah didiami dan dikuasai suku-suku Arab.
Kabilah Finiqiyyin, menempati wilayah utara kurang lebih pada tahun
3000SM. Kabilah Kan’aniyyun, menempati bagian selatan dari tempat yang
dihuni orang-orang Finiqiyyin. Mereka menempati wilayah tengah pada
tahun 2500SM. Inilah suku-suku bangsa Arab yang berhijrah dari Jazirah
Arabiyah. Kemudian datang kelompok lain, kurang lebih pada tahu 1200SM,
yang kemudian dikenal dengan Kabilah Falestin. Menempati wilayah antara
Ghaza dan Yafa. Hingga akhirnya nama ini menjadi sebutan bagi seluruh
wilayah tersebut. dan ketiga suku ini terus mendiaminya.
Secara historis, telah jelas Bani Israil
bukanlah bangsa yang pertama menempati Palestina. Daerah itu, sudah
dihuni oleh suku-suku Arab sejak beribu-ribu tahun lamanya, sebelum
kedatangan Bani Israil. Bahkan keberadaan suku Arab tersebut terus
berlangsung sampai sekarang.
Adapun Bani Israil, pertama kalia masuk Palestina, yaitu saat bersama Yusya bin Nun, setelah wafatnya Nabi Musa Alaihissalam.
Sebelumnya mereka dalam kebingungan, terusir, tak memiliki tempat
tinggal, karena melakukan pembangkangan terhadap perintah Allah
Dikisahkan dalam Al-Qur’an.
وَإِذْ قَالَ
مُوسَى لِقَوْمِهِ يَا قَوْمِ اذْكُرُواْ نِعْمَةَ اللّهِ عَلَيْكُمْ إِذْ
جَعَلَ فِيكُمْ أَنبِيَاء وَجَعَلَكُم مُّلُوكاً وَآتَاكُم مَّا لَمْ
يُؤْتِ أَحَداً مِّن الْعَالَمِينَ # يَا قَوْمِ ادْخُلُوا الأَرْضَ
المُقَدَّسَةَ الَّتِي كَتَبَ اللّهُ لَكُمْ وَلاَ تَرْتَدُّوا عَلَى
أَدْبَارِكُمْ فَتَنقَلِبُوا خَاسِرِينَ
“Dan (ingatlah), ketika Musa berkata
kepada kaumnya :”Hai kaumku, ingatlah nikmat Allah atasmu ketika Dia
mengangkat nabi-nabi di antaramu, dan dijadikan-Nya kamu orang-orang
merdeka, dan diberikan-Nya kepadamu apa yang belum pernah diberikan-Nya
kepada seorangpun diantara umat-umat yang lain. Hai kaumku, masuklah ke
tanah suci yang telah ditentukan Allah bagimu, dan janganlah kamu lari
ke belakang (karena kamu takut kepada musuh), maka kamu menjadi
orang-orang yang merugi” [Al-Maidah : 20-21]
Akan tetapi, mereka adalah bangsa pengecut yang dihinggapi rasa takut Sikap pengecut ini terlihat jelas dari jawaban mereka terhadap ajakan Nabi Musa.
Kelanjutan ayat di atas menyebutkan.
قَالُوا يَا
مُوسَى إِنَّ فِيهَا قَوْماً جَبَّارِينَ وَإِنَّا لَن نَّدْخُلَهَا
حَتَّىَ يَخْرُجُواْ مِنْهَا فَإِن يَخْرُجُواْ مِنْهَا فَإِنَّا
دَاخِلُونَ
“Mereka berkata :”Hai Musa, sesungguhnya
dalam negeri itu ada orang-orang yang gagah perkasa, sesungguhnya kami
sekali-kali tidak akan memasukinya sebelum mereka ke luar daripadanya.
Jika mereka keluar daripadanya, pasti kami akan memasukinya”.
قَالَ رَجُلاَنِ
مِنَ الَّذِينَ يَخَافُونَ أَنْعَمَ اللّهُ عَلَيْهِمَا ادْخُلُواْ
عَلَيْهِمُ الْبَابَ فَإِذَا دَخَلْتُمُوهُ فَإِنَّكُمْ غَالِبُونَ وَعَلَى
اللّهِ فَتَوَكَّلُواْ إِن كُنتُم مُّؤْمِنِينَ
“Berkatalah dua orang diantara
orang-orang yang takut (kepada Allah) yang Allah telah memberi nikmat
atas keduanya : “Serbulah mereka dengan melalui pintu gerbang (kota)
itu, maka bila kamu memasukinya, nisacaya kamu akan menang. Dan hanya
kepada Allah hendaknya kamu bertawakkal, jika kamu benar-benar orang
yang beriman”.
قَالُواْ يَا
مُوسَى إِنَّا لَن نَّدْخُلَهَا أَبَداً مَّا دَامُواْ فِيهَا فَاذْهَبْ
أَنتَ وَرَبُّكَ فَقَاتِلا إِنَّا هَاهُنَا قَاعِدُونَ
“Mereka berkata : “Hai Musa, kami
sekali-kali tidak akan memasukinyua selama-lamanya, selagi mereka ada di
dalamnya, karena itu pergilah kamu bersama Rabb-mu, dan berperanglah
kamu berdua, sesungguhnya kami hanya duduk menanti di sini saja”.
قَالَ رَبِّ إِنِّي لا أَمْلِكُ إِلاَّ نَفْسِي وَأَخِي فَافْرُقْ بَيْنَنَا وَبَيْنَ الْقَوْمِ الْفَاسِقِينَ
“Berkata Musa : “Ya Rabb-ku, aku tidak
menguasai kecuali diriku sendiri dan saudaraku. Sebab itu, pisahkanlah
antara kami dengan orang-orang yang fasik itu”.
قَالَ فَإِنَّهَا مُحَرَّمَةٌ عَلَيْهِمْ أَرْبَعِينَ سَنَةً يَتِيهُونَ فِي الأَرْضِ فَلاَ تَأْسَ عَلَى الْقَوْمِ الْفَاسِقِينَ
“Allah berfirman : “(Jika demikian), maka
sesungguhnya negeri itu diharamkan atas mereka selama empat puluh
tahun, (selama itu) mereka akan berputar-putar kebingungan di bumi. Maka
janganlah kamu bersedih hati (memikirkan nasib) orang-orang yang fasik
itu” [Al-Maidah : 22-26]
Dengan terusirnya dari tanah yang
diberkahi ini, bagaimana mungkin mereka mengaku memiliki hak atas tanah
ini? Sementara itu, pengembaraan ke berbagai penjuru bumi, karena
terusir di mana-mana menimbulkan konsekwensi bagi mereka berinteraksi,
dan beranak-pinak dengan bangsa lainnya. Sehingga terpuituslah nasab
mereka dengan nenek moyangnya.
Jelaslah, generasi Yahudi pada masa sekarang ini bukan keturunan Bani Israil sebagaimana yang mereka katakan.
Meski demikian, mereka berupaya keras menyebarluaskan klaim palsu ini,
bahwa mereka keturunan orang-orang Bani Israil generasi pertama yang
menghuni Palestina dahulu. Tujuan propaganda ini, agar kaum Nashara
menilai mereka sebagai keturunan Nabi Ya’qub. Sehingga muncul opini,
bahwa merekalah yang dimaksud oleh janji sebagaimana tersebut dalam
Pejanjian Lama. Dengan ini mereka berharap Nashara merasa memiliki
ikatan emosional, dan kemudian membela mereka. Sebab Nashara
mengagungkan Taurat (Perjanjian Lama) dan menganggapnya sebagai wahyu
dari Allah.
Akan tetapi, fakta menujukkan, jika klaim
mereka adalah dusta. Mereka mengaku akar keturunannya masih murni,
bersambung sampai ke Israil (Ya’qub). Padahal, mereka sendiri telah
mengakui, banyak di antara orang-orang Yahudi yang menikahi wanita
Yahudi. Demikian juga, kaum wanitanya pun menikah dengan lelaki non
Yahudi.
Sebagai contoh bukti lainnya, sebuah suku
yang besar di Rusia , Khazar telah memeluk Yahudi pada abad ke-8
Masehi. Kerajaan ini begitu kuatnya. Kemudian mengalami kehancuran total
setelah diserang Rusia. Sejak abad ke -13 Masehi, wilayah ini terhapus
dari peta Eropa. Penduduknya bercerai berai di Eropa Barat dan Timur.
Ini merupakan salah satu indikasi yang jelas, bahwa mereka tidak
mempunyai ikatan dengan Ya’qub dan keturunannya.
Kalaupun mereka tetap bersikeras mengaku
sebagai keturunan Ya’qub, akan tetapi sebagai kaum Muslimin, kita tidak
merubah sikap, selama mereka memusuhi kaum Muslimin. Sebab, nasab tidak
ada artinya, bila masih berkutat dalam kekufuran. [12]
YAHUDI BUKAN KETURUNAN IBRAHIM
Pengakuan mereka sebagai keturunan Ibrahim Alaihissalam, merupakan klaim yang batil, ditinjau dari beberapa aspek berikut.
[1]. Batilnya klaim mereka sebagai keturunan Bani Israil, secara jelas Allah Subhanahu wa Ta’ala menyebutkan di dalam Al-Qur’an. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.
أَمْ تَقُولُونَ
إِنَّ إِبْرَاهِيمَ وَإِسْمَاعِيلَ وَإِسْحَاقَ وَيَعْقُوبَ وَالأسْبَاطَ
كَانُواْ هُوداً أَوْ نَصَارَى قُلْ أَأَنتُمْ أَعْلَمُ أَمِ اللّهُ وَمَنْ
أَظْلَمُ مِمَّن كَتَمَ شَهَادَةً عِندَهُ مِنَ اللّهِ وَمَا اللّهُ
بِغَافِلٍ عَمَّا تَعْمَلُونَ
“Ataukah kamu (hai orang-orang Yahudi dan
Nashrani) mengatakan bahwa Ibrahim, Ismail, Ishaq, Ya’qub dan anak
cucunya, adalah penganut agama Yahudi atau Nashrani. Katakanlah :
“Apakah kamu yang lebih mengetahui ataukah Allah, dan siapakah yang
lebih zalim daripada orang yang menyembunyikan syahadah dari Allah yang
ada padanya”, Dan Allah sekali-kali tiada lengah dari apa yang kamu
kerjakan” [Al-Baqarah : 140]
[2]. Kitab suci mereka tidak lagi orsinil
dan sudah terjadi perubahan. Mereka telah melakukan perbuatan tercela
terhadap kitab-kitab yang diturunkan kepada para nabi Bani Israil,
dengan melakukan tahrif (mengubah), memalsukan dan memanipulasi. Al-Qur’an telah mengabadikan perbuatan mereka tersebut. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.
فَبِمَا نَقْضِهِم مِّيثَاقَهُمْ لَعنَّاهُمْ وَجَعَلْنَا قُلُوبَهُمْ قَاسِيَةً يُحَرِّفُونَ الْكَلِمَ عَن مَّوَاضِعِهِ
“(Tetapi) karena mereka melanggar
janjinya. Kami kutuk mereka, dan kami jadikan hati mereka keras
membantu. Mereka suka merobah perkataan (Allah) dari tempat-tempatnya
…..”[Al-Maidah : 13]
[3]. Klaim kepemilikan tanah yang penuh
berkah ini oleh Yahudi, berkaitan dengan janji Allah kepada Ibrahim,
hakikatnya janji tersebut telah diwujudkan yaitu saat pertama kali
Ibrahim Alaihissalam menginjakkan kaki di wilayah suku Kan’an.
Sekilas, mengacu kepada kitab mereka yang
kini disebut Kitab Perjanjian Lama, kita akan mengetahui, jika janji
Allah tersebut menjadi hak Isma’il, nenek moyang bangsa Arab dan kaum
Muslimin. Pada waktu itu Nabi Ibrahim Alaihissalam belum
dikaruniai anak (Kejadian : 12/7). Kemudian janji ini terulang kembali
saat beliau kembali ke Mesir (Kejadian : 13/15). Janji ini pun terulang
kembali bagi Ibrahim, tetapi beliau belum dikaruniai anak (15/18).
Berikutnya, janji itu pun terulang lagi, saat Ibrahim dikaruniai
anaknya, yaitu Ismail (Kejadian : 17/8). Sedangkan putra kedua Ibrahim Alaihissalam, yaitu Ishaq, pada saat janji itu ditetapkan ia belum dilahirkan.
[4]. Kalaupun mereka menyanggah, bahwa
janji Allah tentang kepemilikan tanah Palestina merupakan warisan dan
hunian abadi bagi mereka, yang menurut mereka didukung oleh Al-Qur’an
–surat Al-Maidah : 21
يَا قَوْمِ
ادْخُلُوا الأَرْضَ المُقَدَّسَةَ الَّتِي كَتَبَ اللّهُ لَكُمْ وَلاَ
تَرْتَدُّوا عَلَى أَدْبَارِكُمْ فَتَنقَلِبُوا خَاسِرِينَ
“Hai kaumku, masuklah ke tanah suci
yang telah ditentukan Allah bagimu, dan janganlah kamu lari ke belakang
(karena kamu takut kepada musuh), maka kamu menjadi orang-orang yang
merugi”.
Maka jawabnya adalah: Ungkapan janji yang
ada dalam ayat tersebut tidak berbentuk abadi, tetapi khusus bagi zaman
yang mereka dijanjikan mendapatkannya, sebagai balasan atas sambutan
mereka kepada perintah-perintah Allah dan kesabaran mereka. Sedangkan
orang-orang Yahudi pada masa ini, mereka bukan Bani Israil –sebagaimana
sudah dipaparkan-. Dan ayat ini tidak menyangkut yang bukan Bani Israil,
meski kaum Yahudi pada saat ini mayoritas. Sungguh, kebenaran dalam
masalah ini yang menjadi pegangan jumhur ulama tafsir
Balasan keimanan dan keistimewaan yang
mereka raih atas umat zaman mereka ini merupakan ketetapan Allah bagi
hamba-hambaNya. Allah berfirman.
وَلَقَدْ كَتَبْنَا فِي الزَّبُورِ مِن بَعْدِ الذِّكْرِ أَنَّ الْأَرْضَ يَرِثُهَا عِبَادِيَ الصَّالِحُونَ
“Dan sungguh telah Kami tulis di dalam
Zabur sesudah (Kami tulis dalam) Lauh Mahfuzh, bahwasanya bumi ini
dipusakai oleh hamba-hambaKu yang shalih”. [Al-Anbiya : 105]
Begitu juga setelah mereka menyimpang
dari agama Allah dan melakukan kerusakan di bumi, maka Bani Israil tidak
lagi memiliki hak dengan janji tersebut. Justru balasan bagi mereka,
sebagaimana terkandung dalam ayat, yaitu mereka mendapat laknat,
kemurkaan dan hukuman dari Allah. Mereka tercerai berai di bumi,
dikuasai oleh orang-orang yang menimpakan siksaan kepada mereka sampai
hari Kiamat, dirundung kehinaan dimanapun mereka berada. Ini semua
sebagai hukuman atas kekufuran mereka terhadap ayat-ayat Allah.
Sebuah fakta yang ironis. Ketika Allah
memerintahkan Bani Israil untuk memasuki tanah yang dijanjikan, ternyata
mereka enggan dan membangkang. Maka Allah menghalangi mereka darinya.
Tatkala mereka menyambut perintah, maka Allah memberikannya kepada
mereka.
Oleh karena itu, Ibnu Katsir rahimahullah
berkata : “Yang Allah janjikan kepada kalian melalui lisan ayah kalian,
Israil ia mewariskannya kepada orang yang beriman dari kalian” [13]
Berdasarkan ini, tanah tersebut milik
mereka ketika mereka beriman. Tetapi, karena mereka kufur kepada Allah
dan para Nabi-Nya, dan Allah telah menetapkan murka dan laknatNya kepada
mereka, maka mereka sama sekali tidak mempunyai hak atas tanah suci
itu.
[5]. Bisa juga bisa dikatakan, janji itu
sudah terwujud pada masa Nabi Musa, yaitu tatkala Bani Israil memasuki
tanah suci dengan dipimpin oleh Nabi Yusya bin Nun, kemudian
menempatinya pada masa Nabi Dawud dan Sulaiman. Sebuah masa ketika Allah
menganugerahkan kepada mereka keutamaan atas manusia seluruhnya. Namun,
ketika mereka kufur kepada Allah dan melakukan kerusakan di bumi, maka
kemurkaan Allah pun berlaku pada mereka, dan terjadilah bencana menimpa
mereka.
[6]. Janji Allah memiliki syarat, yaitu
iman dan amalan shalih, sebagaimana juga termuat dalam Taurat. Sedangkan
mereka telah berbuat kufur dan murtad, beribadah kepada selain Allah.
Oleh karena itu, musibah, bencana dan kemurkaan dari Allah ditimpakan
kepada mereka. Dan semua ini termuat dalam kitab-kitab suci mereka.
Bahkan dalam kitab mereka, terdapat keterangan yang melarang memasuki
Baitul Maqdis, lantaran kekufuran, kesesatan dan kemaksiatan mereka.
Dengan pengingkaran ini, maka janji
tersebut tidak terwujudkan. Sebaliknya, siksa dan bencanalah yang mereka
dapatkan. Bumi ini milik Allah, diwariskan kepada hamba-hambaNya yang
menegakkan agama dan mengikuti ajaran-ajaranNya, bukan diwariskan kepada
orang-orang yang melakukan kerusakan di bumi. Allah berfirman.
قَالَ مُوسَى
لِقَوْمِهِ اسْتَعِينُوا بِاللّهِ وَاصْبِرُواْ إِنَّ الأَرْضَ لِلّهِ
يُورِثُهَا مَن يَشَاءُ مِنْ عِبَادِهِ وَالْعَاقِبَةُ لِلْمُتَّقِينَ
“Musa berkata kepada kaumnya : “Mohonlah
pertolongan kepada Allah dan bersabarlah. Sesungguhnya bumi (ini)
kepunyaan Allah ; dipusakakanNya kepada siapa saja yang dikehendakiNya
dari hamba-hambaNya. Dan kesudahan yang baik adalah bagi orang-orang
yang bertakwa” [Al-A’raf : 128]
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.
وَعَدَ اللَّهُ
الَّذِينَ آمَنُوا مِنكُمْ وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ لَيَسْتَخْلِفَنَّهُم
فِي الْأَرْضِ كَمَا اسْتَخْلَفَ الَّذِينَ مِن قَبْلِهِمْ
وَلَيُمَكِّنَنَّ لَهُمْ دِينَهُمُ الَّذِي ارْتَضَى لَهُمْ
وَلَيُبَدِّلَنَّهُم مِّن بَعْدِ خَوْفِهِمْ أَمْناً يَعْبُدُونَنِي لَا
يُشْرِكُونَ بِي شَيْئاً وَمَن كَفَرَ بَعْدَ ذَلِكَ فَأُوْلَئِكَ هُمُ
الْفَاسِقُونَ
“Dan Allah telah berjanji kepada
orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang
shalih, bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di
bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka
berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah
diridhaiNya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan)
mereka, sesudah mereka berada dalam ketakutan menjadi aman sentausa.
Mereka tetap menyembahKu dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun
dengan Aku. Dan barangsiapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, maka
mereka itulah orang-orang yang fasik” [An-Nur : 55]
Menjelaskan ayat ini Ibnu Katsir berkata.
Ini janji dari Allah bagi RasulNya, akan
menjadikan umatnya sebagai pewaris bumi. Maksudnya, tokoh-tokoh panutan
dan penguasa mereka. Negeri-negeri menjadi baik dengan mereka, dan
orang-orang tunduk kepada mereka… Allah Subhanahu wa Ta’la telah
mewujudkannya walillahilhamdu walminnah. Nabi tidaklah wafat, melainkan
Allah telah membuka penaklukkan Mekah, Khaibar, seluruh Jazirah Arab,
wilayah Yaman seluruhnya. Memberlakukan jizyah kepada Majusi dari daerah
Hajr, dan sebagian wilayah Syam
Kemudian, ketika beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam
wafat, Abu Bakar mengirimkan pasukan Islam ke Persia di bawah komando
Khalid bin Al-Walid dan berhasil menaklukkan sebagian wilayahnya. Juga
mengirim pasukan lain pimpinan Abu Ubaidah menuju Syam.
Allah juga memberikan karunia kepada kaum
Muslimin. Yaitu mengilhamkan kepada Abu Bakar untuk memilih Umar
Al-Faruq untuk menggantikan kedudukannya. Dan Umar pun melaksanakan
amanah ini dengan sebaik-baiknya. Pada masa kekuasannya, seluruh wilayah
Syam berhasil dikuasai. [14]
Kaum Muslimin, mereka itulah yang
dimaksud dengan ayat-ayat tersebut. Bila membenarkan janji yang mereka
ikat dengan Allah, kembali kepada Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya,
berpegang teguh dengan Islam secara sempurna, baik individu, keluarga,
masyarakat atau negara, maka sungguh janji Allah benar adanya. Dan
siapakah yang berhak atas tanah yang penuh berkah itu? Tidak lain adaka
kaum Muslimin.
Maraji.
- Dirasatun Fil Ad-yan Al-Yahudiyah wan Nashraniyah, Dr Su’ud bin Abdil
Aziz Al-Khalaf, Penerbit Adhwa-us Salaf, Cetakan I, Th 1422H/2003M
- Mujaz Tarikhil Yahudi war-Raddi Ala Ba’dhi Maza’imil Bathilah, Dr
Mahmud bin Abdir Rahman Qadah, Majalah Jami’ah Islamiyah, Edisi 107, Th
29, 1418-1419H
- Shahih Qashashil Anbiya, karya Ibnu Katsir, Abu Usamah Salim bin Id Al-Hilali, Maktabah Al-Furqan, Cetakan I Th, 1422H
- Tafsir Al-Qur’anil Azhim, Abu Fida Ismail Ibnu Umar Ibnu Katsir, Darul Kutub Al-Ilmiyah, Cetakan II, Th.1422H
[Disalin dari Majalah As-Sunnah Edisi
Khusus 07-08/Tahun X/1427H/2006M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah
Surakarta, Almat Jl. Solo – Purwodadi Km. 8 Selokaton Gondangrejo Solo
57183. telp. 0271-5891016]
Artikel
Almanhaj.Or.Id
_________
Footnotes
[1]. Barakatu Ardhisy-Syam, Dr Abu Anas Muhammad bin Musa Alu Nashr, Majalah Manarusy-Syam, edisi Jumadal Ula 1425H.
[2]. Lihat Surat Yusuf ayat 100
[3]. Kisah tersebut termuat dalam Surat Yusuf.
[4]. Lihat Surat Al-A’raaf ayat 133
[5]. Lihat Surat Asy-Syu’ara ayat 52-66
[6]. Dari Ibnu Abbas, ia berkata : “Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam
datang ke Madinah, saat kaum Yahudi berpuasa hari Asyura. Beliau
bersabda. Hari apakah ini yang kalian berpuasa padanya? Mereka menjawab :
Ini hari kemenangan Musa atas Fir’aun. Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda kepada para sahabat : Kalian lebih pantas menghormati Musa
daripada mereka, maka berpuasalah” [HR Al-Bukhari dan Muslim. Dinukil
dari Shahih Qashashil Anbiyaa, halaman 310]
[7]. Dirasatun Fil Adyan Al-Yahudiyah wa Nashraniyah, halaman 49
[8]. Mujaz Tarikhil Yahudi, Majalah Al-Jami’ah Al-Islamiyah, halaman 248
[9]. Nabi Yusya bin Nun Alalihissalam dalah salah seorang dari Nabi yang
diutus kepada Bani Israil. Dalil yang menunjukkan kenabiannya, yaitu
hadits dari Abu Hurairah, bahwasanya Nabi bersabda : “Matahari tidak
pernah tertunda perjalanannya karena seseorang, kecuali bagi Yusya bin
Nun, (ketika) pada malam hari ia menuju Baitul Maqdis: [HR Ahmad 2/325].
Ibnu Katsir berkata : Sanadnya sesuai dengan syarat Al-Bukhari. Lihat
Al-Bidayah, 1/333. Dan hadits ini dishahihkan oleh Al-Hafizh dalam
Al-Fath, 2/221. Di tempat lain, beliau
Shallallahu ‘alaihi wa sallam
juga bersabda : Ada seorang nabi dari kalangan para nabi yang
berperang, (ia) berkata kepada kaumnya … kemudian ia berkata kepada
matahari, ‘Sesungguhnya engkau diperintah, dan aku pun juga diperintah,
Ya Allah, hentikanlah ia, maka matahari itu pun berhenti, sampai
akhirnya Allah membuka kota tersebut lantaran mereka” [HR Al-Bukhari,
Lihat Al-Fath 6/220]
[10]. Dirasatun Fil Adyan, halaman 53
[11]. Lihat surat Al-A’raaf ayat 167
[12] Dirasatun Fil Ad-yan, halaman 66-67
[13]. Tafsir Al-Qur’anil Azhim, 3/75
[14]. Tafsir Al-Qur’anil Azhim, 3/304 secara ringkas