Thursday 28 April 2011

MAKALAH FILSAFAT


POSITIVISME AUGUSTE COMTE
Makalah ini Disusun Untuk Memenuhi
Tugas Mata Kuliah Filsafat Umum
Dosen Pengampu : Drs. Usman S.s M.Ag







Disusun Oleh:
Dedi Nur Hidayat (10410061)
PAI D/4

PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
2011

BAB I
PENDAHULUAN

Bagi kalangan awam kata ’positif’ lebih mudah dimaknai sebagai ’baik’ dan ’berguna’ sebagai antonim dari kata negatif. Pemahaman awam ini bukannya tanpa dasar, karena jika kita membaca, misalnya, kamus saku Oxford kita akan menemukan ’baik’ dan ’berguna’ dalam daftar makna untuk kata positive.[1] Dalam terma hukum, kita terbiasa mendengar hukum positif yang sering diperlawankan dengan hukum agama, hukum adat dan hukum-hukum yang lain. Hukum positif berarti hukum, dan juga hukuman, yang dibuat dan dilaksanakan oleh manusia dan berdasar rasionalitas. Disini, kata positif dimaknai secara berbeda. Tapi, arti ini, sekali lagi, tidak bertentangan dengan makna leksikal dari kata ini. Dalam kamus saku Oxford, makna jelas adalah arti kelima bagi kata positive.
Dalam konteks epistemologi, kata positive, yang pertama kali digunakan Auguste Comte, berperan vital dalam ”mengafirkan” filsafat dan sains di Barat, dengan memisahkan keduanya dari unsur agama dan metafisis, yang dalam kasus Comte berarti mengingkari hal-hal non-inderawi.[2] Hal ini, yang kemudian berkembangan menjadi paradigma positivistik ini, merasuk ke perkembangan saintifik, dalam ilmu-ilmu alam maupun ilmu-ilmu humaniora. Tulisan pendek ini akan mencoba memaparkan Auguste Comte dan positivisme yang diperkenalkannya.












BAB II
PEMBAHASAN
A.    Biografi
Sebelum kita mempelajari pemikiran dari auguste comte, terlebih dahulu kita perlu mengenal siapa itu auguste comte.
Auguste Comte, yang bernama lengkap Isidore Marie Auguste Francois Xavier Comte, di lahirkan di Montpellier Prancis selatan pada 17 Januari 1798. Setelah menyelesaikan pendidikan di Lycee Joffre dan Universitas Montpellier, Comte melanjutkan pendidikannya di Ecole Polytechnique di Paris. Masa pendidikannya di École Polytechnique dijalani selama dua tahun, antara 1814-16. Masa dua tahun ini berpengaruh banyak pada pemikiran Comte selanjutnya. Di lembaga pendidikan ini, Comte mulai meyakini kemampuan dan kegunaan ilmu-ilmu alam.[3] Pada Agustus 1817 Comte menjadi sekertaris, dan kemudian menjadi anak angkat, Henri de Saint-Simon, setelah comte di usir dan hidup dari mengajarkan matematika. Persahabatan ini bertahan hingga setahun sebelum kematian Saint-Simon pada 1825. Saint-Simon adalah orang yang tidak mau diakui pengaruh intelektualnya oleh Comte, sekalipun pada kenyataannya pengaruh ini bahkan terlihat dalam kemiripan karir antara mereka berdua. Selama kebersamaannya dengan Saint-Simon, dia membaca dan dipengaruhi oleh, sebagaimana yang diakuinya, Plato, Montesquieu, Hume, Turgot, Condorcet, Kant, Bonald, dan De Maistre, yang karya-karya mereka kemudian di kompilasi oleh menjadi dua karya besarnya, the Cours de Philosophie Positive dan Systeme de Politique Positive. Selama lima belas tahun masa akhir hidupnya, Comte semakin terpisah dari habitat ilmiahnya dan perdebatan filosofis, karena dia meyakini dirinya sebagai pembawa agama baru, yakni agama kemanusiaan.[4]
Pada saat Comte tinggal bersama Saint-Simon, dia telah merencanakan publikasi karyanya tentang filsafat positivisme yang diberi judul Plan de Travaux Scientifiques Necessaires pour Reorganiser la Societe (Rencana Studi Ilmiah untuk Pengaturan kembali Masyarakat). Tapi kehidupan akademisnya yang gagal menghalangi penelitiannya. Dari rencana judul bukunya kita bisa melihat kecenderungan utama Comte adalah ilmu sosial.
Secara intelektual, kehidupan Comte dapat diklasifikasikan menjadi tiga tahapan. Pertama, ketika dia bekerja dan bersahabat dengan Saint-Simon. Pada tahap ini pemikirannya tentang sistem politik baru dimana fungsi pendeta abad pertengahan diganti ilmuwan dan fungsi tentara dialihkan kepada industri. Tahap kedua ialah ketika dia telah menjalani proses pemulihan mental yang disebabkan kehidupan pribadinya yang tidak stabil. Pada tahap inilah, Comte melahirkan karya besarnya tentang filsafat positivisme yang ditulis pada 1830-1842. Kehidupan Comte yang berpengaruh luas justru terletak pada separuh awal kehidupannya.[5] Tahap ketiga kehidupan intelektual Comte berlangsung ketika dia menulis A Sytem of Positive Polity antara 1851-1854. Dalam perjalanan sejarah, alih-alih dikenal sebagai filosof, Comte lebih dikenal sebagai praktisi ilmu sejarah dan pembela penerapan metode saintifik pada penjelasan dan prediksi tentang institusi dan perilaku sosial. Pada 5 September 1857 tokoh yang sering disebut sebagai bapak sosiologi modern ini meninggal dunia.

B.     Kelahiran Filsafat Positivistik[6]
Pada dasarnya positivisme adalah sebuah filsafat yang meyakini bahwa satu-satunya pengetahuan yang benar adalah yang didasarkan pada pengalaman aktual-fisikal. Pengetahuan demikian hanya bisa dihasilkan melalui penetapan teori-teori melalui metode saintifik yang ketat, yang karenanya spekulasi metafisis dihindari. Positivisme, dalam pengertian diatas dan sebagai pendekatan telah dikenal sejak Yunani Kuno dan juga digunakan oleh Ibn al-Haytham dalam karyanya Kitab al-Manazhir. Sekalipun demikian, konseptualisasi positivisme sebagai sebuah filsafat pertama kali dilakukan Comte di abad kesembilan belas.[7]
Dalam karya besarnya, Comte mengklaim bahwa dari hasil studi tentang perkembangan intelektual manusia sepanjang sejarah kita bisa menemukan hukum yang mendasarinya. Hukum ini, yang kemudian dikenal sebagai Law of Three Stages, yang setiap konsepsi dan pengetahuan manusiawi pasti melewatinya, secara berurutan adalah kondisi teologi yang bercorak fiktif, kondisi metafisis yang bercorak abstrak, dan saintifik atau positive. Bagi Comte, pikiran manusia berkembang dengan melewati tiga tahap filsafati, yang berbeda dan berlawanan.[8] Dari tiga tahap pemikiran manusia ini, yang pertama mestilah menjadi titik awal pemahaman manusia dalam memahami dunia. Sedangkan tahap ketiga adalah tahap akhir dan definitif dari intelektualitas manusia. Tahap kedua hanyalah menjadi tahap transisi saja.[9]
Pengaruh terhadap pemikiran Comte tentang Hukum Tiga Tahap bisa dilacak pada iklim intelektual abad delapan belas dimana banyak ilmuan sampai pada simpulan tentang tahapan-tahapan sejarah. Beberapa diantara pemikir yang berpengaruh adalah Turgot, Quesnay, Condorcet, dan Robertson yang berpandangan tentang multi-tahap perkembangan ekonomi dalam sejarah manusia. Menjelang penemuan Hukum Tiga Tahap, Comte telah akrab dengan skema yang mirip yang diadopsi oleh Condorcet dari karya Turgot Second Discourse on Universal History, dan oleh Saint-Simon dari Condorcet. Tentang tiga tahap perkembangan intelektualitas manusia Turgot menulis:
”Before men were conversant with the mutual interconnection of physical effects, nothing was more natural than to suppose that these were produced byintelligent beings, invisible and resembling ourselves. Everything that happened…had its god…
When the philosophers had recognised the absurdity of these fables…the idea struck them to explain the causes of phenomena by way of abstract expressions like essences and faculties: expressions which in fact explained nothing, and about which men reasoned as if they were beings, new gods substituted for the old ones. Following these analogies, faculties were proliferated in order to provide a cause for each effect.
It was only much later, through observation of the mechanical action which bodies have upon one another, that men derived from this mechanics other hypotheses which mathematics was able to develop and experiment to verify.”
Oleh Comte, skema Turgot disebut sebagai hukum mendasar (great fundamental law) yang secara pasti memengaruhi keseluruhan perkembangan intelektual manusia dalam seluruh bidang pengetahuan.
Sebenarnya kata positive tidak hanya digunakan oleh Comte. Kata ini telah umum digunakan pada abad delapan belas, khususnya pada paruh kedua. Namun Comte adalah orang yang bertanggung jawab atas penerapan positivisme pada filsafat. Filsafat positivistik ini dibangun berdasarkan dua hal, yaitu filsafat kuno dan sains modern (baca: capaian sains hingga zaman Comte). Dari filsafat kuno, Comte meminjam pengertian Aristoteles tentang filsafat, yaitu konsep-konsep teoritis yang saling berkaitan satu sama lain dan teratur. Dari sains modern, Comte menggunakan ide positivistik a la Newton, yakni metode filsafati yang terbentuk dari serangkaian teori yang memiliki tujuan mengorganisasikan realitas yang tampak. Sebagaimana diakui Comte sendiri, ada kemiripan antara antara filsafat positivistik (philosophie positive) dan filsafat alam (natural philosophy) di Inggris. Pemilihan terhadap filsafat positivistik sebagai nama bagi sistem pemikiran yang dibangunnya karena filsafat positivistik hanya mencoba untuk menganalisis efek dari sebab-sebab sebuah fenomena dan menghubungkannya satu sama lain.
C.     Teori Positivisme August Comte
Di antara karya-karyanya Auguste Comte, Cours de Philosphie Possitive dapat dikatakan sebagai masterpiece-nya, karena karya itulah  yang paling pokok dan sistematis. Buku ini dapat juga dikatakan sebagai representasi bentangan aktualisasi dari yang di dalamnya Comte menulis tentang tiga tahapan perkembangan manusia.
            Menurut Comte, perkembangan manusia berlangsung dalam tiga tahap. Pertama, tahap teologis, kedua, tahap metafisik, ketiga, tahap positif.
1.Tahap Teologis
            Pada tahap teologis ini, manusia percaya bahwa dibelakang gejala-gejala alam terdapat kuasa-kuasa adikodrati yang mengatur fungsi dan gerak gejala-gejala tersebut. Kuasa-kuasa ini dianggap sebagai makhluk yang memiliki rasio dan kehendak seperti manusia. Tetapi orang percaya bahwa mereka berada pada tingkatan lebih tinggi dari pada makhluk-makhluk selain insani.
            Pada taraf pemikiran ini terdapat lagi tiga tahap. Pertama, tahap yang paling bersahaja atau primitif, dimana orang menganggap bahwa segala benda berjiwa (animisme). Kedua, tahap ketika orang menurunkan kelompok hal-hal tertentu, dimana seluruhnya diturunkan dari suatu kekuatan adikodrati yang melatarbelakanginya sedemikian rupa hingga tiap tahapan gejala-gejala memiliki dewa sendiri-sendiri (polytheisme). Gejala-gejala “suci” dapat disebut “dewa-dewa”, dan “dewa-dewa” ini dapat diatur dalam suatu sistem, sehingga menjadi politeisme dengan spesialisasi. Ada dewa api, dewa lautan, dewa angin, dan seterusnya.[10] Ketiga, adalah tahapan tertinggi, dimana pada tahap ini orang mengganti dewa yang bermacam-macam itu dengan satu tokoh tertinggi (esa), yaitu dalam monotheisme.[11]
            Singkatnya, pada tahap ini manusia mengarahkan pandangannya kepada hakekat yang batiniah (sebab pertama). Di sini, manusia percaya kepada kemungkinan adanya sesuatu yang mutlak. Artinya, di balik setiap kejadian tersirat adanya maksud tertentu.[12]
2. Tahap Metafisik
            Tahap ini bisa juga disebut sebagai tahap transisi dari pemikiran Comte. Tahapan ini sebenarnya hanya merupakan varian dari cara berpikir teologis, karena di dalam tahap ini dewa-dewa hanya diganti dengan kekuatan-kekuatan abstrak, dengan pengertian atau dengan benda-benda lahiriah, yang kemudian dipersatukan dalam sesuatu yang bersifat umum, yang disebut dengan alam. Terjemahan metafisis dari monoteisme itu misalnya terdapat dalam pendapat bahwa semua kekuatan kosmis dapat disimpulkan dalam konsep “alam”, sebagai asal mula semua gejala.[13]
3. Tahap Positif
            Pada tahap positif, orang tahu bahwa tiada gunanya lagi untuk berusaha mencapai pengenalan atau pengetahuan yang mutlak, baik pengenalan teologis maupun metafisik. Ia tidak lagi mau mencari asal dan tujuan terakhir seluruh alam semesta ini, atau melacak hakekat yang sejati dari “segala sesuatu” yang berada di belakang segala sesuatu. Sekarang orang berusaha menemukan hukum-hukum kesamaan dan urutan yang terdapat pada fakta-fakta yang disajikan kepadanya, yaitu dengan “pengamatan” dan dengan “memakai akalnya”. Pada tahap ini pengertian “menerangkan” berarti fakta-fakta yang khusus dihubungkan dengan suatu fakta umum. Dengan demikian, tujuan tertinggi dari tahap positif ini adalah menyusun dan dan mengatur segala gejala di bawah satu fakta yang umum.
            Bagi comte, ketiga tahapan tersebut tidak hanya berlaku bagi perkembangan rohani seluruh umat manusia, tetapi juga berlaku bagi di bidang ilmu pengetahuan. Dalam hal ini, comte menerangkan bahwa segala ilmu pengetahuan semula dikuasai oleh pengertian-pengertian teologis, sesudah itu dikacaukan dengan pemikiran metafisis dan akhirnya dipengaruhi hukum positif. Jelasnya, ketiga tahapan perkembangan umat manusia itu tidak saja berlaku bagi suatu bangsa atau suku tertentu, akan tetapi juga individu dan ilmu pengetahuan.
            Meskipun seluruh ilmu pengetahuan tersebut dalam perkembangannya melalui ketiga macam tahapan tersebut, namun bukan berarti dalam waktu yang bersamaan. Hal demikian dikarenakan segalanya tergantung pada kompleksitas susunan suatu bidang ilmu pengetahuan. Semakin kompleks susunan suatu bidang ilmu pengetahuan tertentu, maka semakin lambat mencapai tahap ketiga.
            Lebih jauh Comte berpendapat bahwa pengetahuan positif merupakan puncak pengetahuan manusia yang disebutnya sebagai pengetahuan ilmiah. Di sini, ilmu pengetahuan dapat dikatakan bersifat positif apabila ilmu pengetahuan tersebut memusatkan perhatian pada gejala-gejala yang nyata dan kongrit. Dengan demikian, maka ada kemungkinan untuk memberikan penilaian terhadap berbagai cabang ilmu pengetahuan dengan jalan mengukur isinya yang positif, serta sampai sejauh mana ilmu pengetahuan tersebut dapat mengungkapkan kebenaran yang positif.[14] Sesuai dengan pandangan tersebut kebenaran metafisik yang diperoleh dalam metafisika ditolak, karena kebenarannya sulit dibuktikan dalam kenyataan.
            Demikianlah pandangan Auguste Comte tentang hukum tiga tahapnya, yang pada intinya menyatakan bahwa pemikiran tiap manusia, tiap ilmu dan suku bangsa melalui 3 tahap, yaitu teologis, metafisis dan positif ilmiah. Dalam hal ini Auguste Comte memberikan analog; manusia muda atau suku-suku primitif pada tahap teologis sehingga dibutuhkan figur dewa-dewa untuk “menerangkan” kenyataan. Meningkat remaja dan mulai dewasa dipakai prinsip-prinsip abstrak dan metafisis. Pada tahap dewasa dan matang digunakan metode-metode positif dan ilmiah

D.    KRITIK  ATAS  POSITIVISME
Dalam sejarahnya, positivisme dikritik karena generalisasi yang dilakukannya terhadap segala sesuatu dengan menyatakan bahwa semua ”proses dapat direduksi menjadi peristiwa-peristiwa fisiologis, fisika, atau kimia” dan bahwa ”proses-proses sosial dapat direduksi ke dalam hubungan antar tindakan-tindakan individu” dan bahwa ”organisme biologis dapat direduksi kedalam sistem fisika”.[15]
Kritik juga dilancarkan oleh Max Horkheimer dan teoritisi kritis lain. Kritik ini didasarkan atas dua hal, ketidaktepatan positivisme memahami aksi sosial dan realitas sosial yang digambarkan positivisme terlalu konservatif dan mendukung status quo. Kritik pertama berargumen bahwa positivisme secara sistematis gagal memahami bahwa apa yang mereka sebut sebagai ”fakta-fakta sosial” tidak benar-benar ada dalam realitas objektif, tapi lebih merupakan produk dari kesadaran manusia yang dimediasi secara sosial. Positivisme mengabaikan pengaruh peneliti dalam memahami realitas sosial dan secara salah menggambarkan objek studinya dengan menjadikan realitas sosial sebagai objek yang eksis secara objektif dan tidak dipengaruhi oleh orang-orang yang tindakannya berpengaruh pada kondisi yang diteliti. Kritik kedua menunjuk positivisme tidak memiliki elemen refleksif yang mendorongnya berkarakter konservatif. Karakter konservatif ini membuatnya populer di lingkaran politik tertentu.





















BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
            Positivism Comte merupakan sebuah filsafat untuk mencapai suatu ilmu pengetahuan. Yang mana ilmu pengetahuan itu merupakan hasil dari pengalaman yang berasal dari gejala-gejala. Segala hal yang tidak termasuk dalam hal-hal yang positif tidak dapat disandarkan sebagai ilmu pengetahuan, dan tidak bisa diterima, seperti metafisika dan segala kepercayaan religious.
            Cita-cita Comte yaitu membuat suatu masyarakat yang sesuai dengan filsafatnya yaitu masyarakat yang berpegangan pada hal-hal yang positif, sehingga masyarakat tersebut akan berpegang teguh pada ilmu pengetahuan sehingga dapat meningkatkan dunia material dari masyarakat. tanpa ada unsur religious ataupun unsur metafisik, yang mana tidak percaya akan ada yang supranatural dibalik yang nyata. Comte mengganti masyarakat yang bersifat religious menjadi masyarakat yang berpegang teguh pada kemanusian dan kemajuan social.
Comte adalah seorang yang radikal tetapi, bukanlah seorang yang revolusioner, Comte seorang yang progresiv namun bukan seorang yang militansinya tinggi (walaupun, sempat mengalami kegilaan/paranoid). Comte berjalan di tengah-tengah, mencari jalan alternatif melalui ilmu pengetahuan yang dikembangkannya guna menyiasati kemungkinan besar yang akan terjadi.













DAFTAR PUSTAKA

Akhmadi, Asmoro, Filsafat Umum, Jakarta: RajaGrafindo Persada, Cet. IV, 2001
Wibisono, Koento, Arti Perkembangan menurut Positivisme Comte, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, Cet. II, 1996
Abu Rayyan, Muhammad Ali. Aslamah al-Ma’rifah, al-Ulum al-Insaniyah wa Manahijiha min Wijhah Nazhr Islamiyah. -. (Dar al-Ma’rifah al-Jami’iyah).
Comte, Auguste. The Positive Philosophy. terj. Harriet Martineau. 1896. (George Bell & Sons: London).
Oxford Learner’s Pocket Dictionary. 2005. (Oxford University Press: Oxford).
Stoke, Philip. Philosophy, 100 Essential Thinkers. 2006. (Enchanted Lion Books: New York).
Ten, C. L. Routledge History of Philosophy, The Nineteeth Century. 1994. (Routledge: London dan New York).
Macherey, Pierre. Comte, al-Falsafah wa al-Ulum. terj. Sami Adham. 1994. (al- Muassasah al-Jami’iyah li al-Dirasat wa al-Nasyr wa al-Tawzi’: Beirut).
http://en.wikipedia.org/wiki/Auguste_Comte
http://fajar13.co.cc/index.php?p=1_10
http://fajar13.co.cc/web_documents/auguste_comte.pdf
http://en.wikipedia.org/wiki/Positivism






[1]               Oxford Learner’s Pocket Dictionary, hal. 333.
[2]               Muhammad Ali Abu Rayyan, Aslamah al-Ma’rifah, al-Ulum al-Insaniyah wa Manahijiha min Wijhah Nazhr Islamiyah, hal. 225 dan 227-228.
[3]               Robert Brown, Comte and Positivism, dalam C. L. Ten, Routledge History of Philosophy, vol. VII, The Nineteeth Century, hal. 123
[4]               Ibid
[5]               Philip Stoke, Philosophy 100 Essential Thinkers, hal. 117
[6]               Penggunaan kata positivistik sebagai ajektifa bagi filsafat sebenarnya kurang tepat, yang tepat seharusnya filsafat positiv (dengan ’v’ alih-alih ’f’). Penggunaan ini semata untuk menghindari kesalahpahaman yang ditimbulkan dari kata positif dalam bahasa Indonesia. Dalam bahasa Inggris kata positif (dengan ’f’) memiliki arti berbeda dengan positive (positive).
[7]               http://en.wikipedia.org/wiki/Positivism
[8]               Auguste Comte, The Positive Philosophy, terj. Harriet Martineau, v. I, hal. 27.
[9]               Ibid., v. I, hal. 28.
[10]             Koento Wibisono, Op. Cit., hlm. 27
[11]             Ali Maksum, Loc. Cit
[12]             Asmoro Akhmadi, Filsafat Umum, Jakarta: RajaGrafindo Persada, Cet. IV, 2001, hlm. 117
[13]             Koento Wiisono, Loc. Cit.
[14]             Bernard Deltgauw, Sejarah Ringkas Filsafat Barat, terj. Soejono Soemargono, Yogyakarta: Tiara Wacana, 1992, hlm. 67
[15]             Mary Pickering, Auguste Comte: An Intellectual Biography, v. I, h. 566 dalam http://en.wikipedia.org/wiki/Positivism

No comments:

Post a Comment