Thursday 8 March 2012

MAKALAH TEKNIK PENILAIAN UNTUK RANAH KOGNITIF

TEKNIK PENILAIAN UNTUK RANAH KOGNITIF
Makalah ini disusun guna memenuhi tugas mata kuliah Pengantar Evaluasi Pendidikan
Dosen Pengampu : Dra. Sri Sumarni












DISUSUN OLEH :
Dedi Nur Hidayat (10410061)





PRODI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
2012

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Penilaian adalah upaya atau tindakan untuk mengetahui sejauh mana tujuan yang telah ditetapkan itu tercapai atau tidak. Dengan kata lain, penilaian berfungsi sebagai alat untuk mengtahui keberhasilan proses dan hasil belajar siswa. Dalam sistem pendidikan nasional rumusan tujuan pendidikan, baik tujuan kurikuler maupun tujuan instruksional, menggunakan klasifikasi hasil belajar dari Benyamin Bloom yang secara garis besar membaginya menjadi tiga ranah, yakni ranah kognitif, ranah afektif, dan ranah psikomotorik.
Salah satu prinsip dasar yang harus senantiasa diperhatikan dan dipegangi dalam rangka evaluasi hasil belajar adalah prinsip kebulatan, dengan prinsip evaluator dalam melaksanakan evaluasi hasil belajar dituntut untuk mengevaluasi secara menyeluruh terhadap peserta didik, baik dari segi pemahamannya terhadap materi atau bahan pelajaran yang telah diberikan (aspek kognitif), maupun dari segi penghayatan (aspek afektif), dan pengamalannya (aspek psikomotor).
Ketiga aspek atau ranah kejiwaan itu erat sekali dan bahkan tidak mungkin dapat dilepaskan dari kegiatan atau proses evaluasi hasil belajar. Benjamin S. Bloom dan kawan-kawannya itu berpendapat bahwa pengelompokkan tujuan pendidikan itu harus senantiasa mengacu kepada tiga jenis domain (daerah binaan atau ranah) yang melekat pada diri peserta didik, yaitu:
a) Ranah proses berfikir (cognitive domain)
b) Ranah nilai atau sikap (affective domain)
c) Ranah keterampilan (psychomotor domain)
Dalam konteks evaluasi hasil belajar, maka ketiga domain atau ranah itulah yang harus dijadikan sasaran dalam setiap kegiatan evaluasi hasil belajar. Sasaran kegiatan evaluasi hasil belajar adalah:
1) Apakah peserta didik sudah dapat memahami semua bahan atau materi pelajaran yang telah diberikan pada mereka?
2) Apakah peserta didik sudah dapat menghayatinya?
3) Apakah materi pelajaran yang telah diberikan itu sudah dapat diamalkan secara kongkret dalam praktek atau dalam kehidupannya sehari-hari?
Ketiga ranah tersebut menjadi obyek penilaian hasil belajar. Diantara ketiga ranah itu, ranah kognitiflah yang paling banyak dinilai oleh para guru disekolah karena berkaitan dengan kemampuan para siswa dalam menguasai isi bahan pengajaran.

B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian ranah penilaian kognitif?
2. Apasaja Ciri-ciri Ranah Penilaian Kognitif?
3. Bagaimana Contoh Pengukuran Ranah Penilaian Kognitif?






















BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Ranah Penilaian Kognitif,
1 Pengertian Ranah Penilaian Kognitif
Ranah kognitif adalah ranah yang mencakup kegiatan mental (otak). Menurut Bloom, segala upaya yang menyangkut aktivitas otak adalah termasuk dalam ranah kognitif. Ranah kognitif berhubungan dengan kemampuan berfikir, termasuk didalamnya kemampuan menghafal, memahami, mengaplikasi, menganalisis, mensintesis, dan kemampuan mengevaluasi. Dalam ranah kognitif itu terdapat enam aspek atau jenjang proses berfikir, mulai dari jenjang terendah sampai dengan jenjang yang paling tinggi. Keenam jenjang atau aspek yang dimaksud adalah:
• Pengetahuan/hafalan/ingatan (knowledge)
Adalah kemampuan seseorang untuk mengingat-ingat kembali (recall) atau mengenali kembali tentang nama, istilah, ide, rumus-rumus, dan sebagainya, tanpa mengharapkan kemampuan untuk menggunkannya. Pengetahuan atau ingatan adalah merupakan proses berfikir yang paling rendah.
Salah satu contoh hasil belajar kognitif pada jenjang pengetahuan adalah dapat menghafal surat al-‘Ashar, menerjemahkan dan menuliskannya secara baik dan benar, sebagai salah satu materi pelajaran kedisiplinan yang diberikan oleh guru Pendidikan Agama Islam di sekolah.
• Pemahaman (comprehension)
Adalah kemampuan seseorang untuk mengerti atau memahami sesuatu setelah sesuatu itu diketahui dan diingat. Dengan kata lain, memahami adalah mengetahui tentang sesuatu dan dapat melihatnya dari berbagai segi. Seseorang peserta didik dikatakan memahami sesuatu apabila ia dapat memberikan penjelasan atau memberi uraian yang lebih rinci tentang hal itu dengan menggunakan kata-katanya sendiri. Pemahaman merupakan jenjang kemampuan berfikir yang setingkat lebih tinggi dari ingatan atau hafalan.
Salah satu contoh hasil belajar ranah kognitif pada jenjang pemahaman ini misalnya: Peserta didik atas pertanyaan Guru Pendidikan Agama Islam dapat menguraikan tentang makna kedisiplinan yang terkandung dalam surat al-‘Ashar secara lancar dan jelas.
• Penerapan (application)
Adalah kesanggupan seseorang untuk menerapkan atau menggunakan ide-ide umum, tata cara ataupun metode-metode, prinsip-prinsip, rumus-rumus, teori-teori dan sebagainya, dalam situasi yang baru dan kongkret. Penerapan ini adalah merupakan proses berfikir setingkat lebih tinggi ketimbang pemahaman.
Salah satu contoh hasil belajar kognitif jenjang penerapan misalnya: Peserta didik mampu memikirkan tentang penerapan konsep kedisiplinan yang diajarkan Islam dalam kehidupan sehari-hari baik dilingkungan keluarga, sekolah, maupun masyarakat.
• Analisis (analysis)
Adalah kemampuan seseorang untuk merinci atau menguraikan suatu bahan atau keadaan menurut bagian-bagian yang lebih kecil dan mampu memahami hubungan di antara bagian-bagian atau faktor-faktor yang satu dengan faktor-faktor lainnya. Jenjang analisis adalah setingkat lebih tinggi ketimbang jenjang aplikasi.
Contoh: Peserta didik dapat merenung dan memikirkan dengan baik tentang wujud nyata dari kedisiplinan seorang siswa dirumah, disekolah, dan dalam kehidupan sehari-hari di tengah-tengah masyarakat, sebagai bagian dari ajaran Islam.
• Sintesis (syntesis)
Adalah kemampuan berfikir yang merupakan kebalikan dari proses berfikir analisis. Sisntesis merupakan suatu proses yang memadukan bagian-bagian atau unsur-unsur secara logis, sehingga menjelma menjadi suatu pola yang yang berstruktur atau bebrbentuk pola baru. Jenjang sintesis kedudukannya setingkat lebih tinggi daripada jenjang analisis. Salah satu jasil belajar kognitif dari jenjang sintesis ini adalah: peserta didik dapat menulis karangan tentang pentingnya kedisiplinan sebagiamana telah diajarkan oleh islam.
• Penilaian/penghargaan/evaluasi (evaluation)
Adalah merupakan jenjang berpikir paling tinggi dalam ranah kognitif dalam taksonomi Bloom. Penilian/evaluasi disini merupakan kemampuan seseorang untuk membuat pertimbangan terhadap suatu kondisi, nilai atau ide, misalkan jika seseorang dihadapkan pada beberapa pilihan maka ia akan mampu memilih satu pilihan yang terbaik sesuai dengan patokan-patokan atau kriteria yang ada.
Salah satu contoh hasil belajar kognitif jenjang evaluasi adalah: peserta didik mampu menimbang-nimbang tentang manfaat yang dapat dipetik oleh seseorang yang berlaku disiplin dan dapat menunjukkan mudharat atau akibat-akibat negatif yang akan menimpa seseorang yang bersifat malas atau tidak disiplin, sehingga pada akhirnya sampai pada kesimpulan penilaian, bahwa kwdisiplinan merupakan perintah Allah SWT yang waji dilaksanakan dalam sehari-hari.
Keenam jenjang berpikir yang terdapat pada ranah kognitif menurut Taksonomi Bloom itu, jika diurutkan secara hirarki piramidal adalah sebagai tertulis pada gambar 1.
Keenam jenjang berpikir ranah kognitif bersifat kontinum dan overlap (tumpang tindih), dimana ranah yang lebih tinggi meliputi semua ranah yang ada dibawahnya. Overlap di antara enam jenjang berfikir itu akan lebih jelas terlihat pada gambar 2.


Penilaian (Evaluation)
Sintesis (Syntesis)
Analisis (Analysis)
Penerapan (Aplikation)
Pemahaman (Comprehensi)
Pengetahuan (Knowledge)
GAMBAR 1. Enam jenjang berpikir pada ranah kognitif

6
5
4
3
2
1

GAMBAR 2. Overlap antara enam jenjang pada ranah kognitif.
Keterangan : Pengetahuan (1) adalah merupakan jenjang berpikir paling dasar. Pemahaman (2) mencakup pengetahuan (1). Aplikasi atau penerapan (3) mencakup pemahaman (2)dan pengetahuan (1). Sintesis (5) meliputi juga analisis (4), aplikasi (3), pemahaman (2) dan pengetahuan (1). Evaluasi (6) meliputi juga sintesis (5) , analisis (4), aplikasi (3), pemahaman (2) dan pengetahuan (1).
Tujuan aspek kognitif berorientasi pada kemampuan berfikir yang mencakup kemampuan intelektual yang lebih sederhana, yaitu mengingat, sampai pada kemampuan memecahkan masalah yang menuntut siswa untuk menghubungakan dan menggabungkan beberapa ide, gagasan, metode atau prosedur yang dipelajari untuk memecahkan masalah tersebut. Dengan demikian aspek kognitif adalah subtaksonomi yang mengungkapkan tentang kegiatan mental yang sering berawal dari tingkat pengetahuan sampai ke tingkat yang paling tinggi yaitu evaluasi.
B. Ciri-ciri Ranah Penilaian Kognitif
Aspek kognitif berhubungan dengan kemampuan berfikir termasuk di dalamnya kemampuan memahami, menghafal, mengaplikasi, menganalisis, mensistesis dan kemampuan mengevaluasi. Menurut Taksonomi Bloom (Sax 1980), kemampuan kognitif adalah kemampuan berfikir secara hirarki yang terdiri dari pengetahuan, pemahaman, aplikasi, analisis, sintesis dan evaluasi.
Pada tingkat pengetahuan, peserta didik menjawab pertanyaan berdasarkan hafalan saja. Pada tingkat pemahaman peserta didik dituntut juntuk menyatakan masalah dengan kata-katanya sendiri, memberi contoh suatu konsep atau prinsip. Pada tingkat aplikasi, peserta didik dituntut untuk menerapkan prinsip dan konsep dalam situasi yang baru. Pada tingkat analisis, peserta didik diminta untuk untuk menguraikan informasi ke dalam beberapa bagian, menemukan asumsi, membedakan fakta dan pendapat serta menemukan hubungan sebab—akibat. Pada tingkat sintesis, peserta didik dituntut untuk menghasilkan suatu cerita, komposisi, hipotesis atau teorinya sendiri dan mensintesiskan pengetahuannya. Pada tingkat evaluasi, peserta didik mengevaluasi informasi seperti bukti, sejarah, editorial, teori-teori yang termasuk di dalamnya judgement terhadap hasil analisis untuk membuat kebijakan.
Tujuan aspek kognitif berorientasi pada kemampuan berfikir yang mencakup kemampuan intelektual yang lebih sederhana, yaitu mengingat, sampai pada kemampuan memecahkan masalah yang menuntut siswa untuk menghubungkan dan menggabungkan beberapa ide, gagasan, metode atau prosedur yang dipelajari untuk memecahkan masalah tersebut.
Dengan demikian aspek kognitif adalah sub-taksonomi yang mengungkapkan tentang kegiatan mental yang sering berawal dari tingkat pengetahuan sampai ke tingkat yang paling tinggi yaitu evaluasi. Aspek kognitif terdiri atas enam tingkatan dengan aspek belajar yang berbeda-beda. Keenam tingkat tersebut yaitu:
1. Tingkat pengetahuan (knowledge), pada tahap ini menuntut siswa untuk mampu mengingat (recall) berbagai informasi yang telah diterima sebelumnya, misalnya fakta, rumus, terminologi strategi problem solving dan lain sebagianya.
2. Tingkat pemahaman (comprehension), pada tahap ini kategori pemahaman dihubungkan dengan kemampuan untuk menjelaskan
pengetahuan, informasi yang telah diketahui dengan kata-kata sendiri. Pada tahap ini peserta didik diharapkan menerjemahkan atau menyebutkan kembali yang telah didengar dengan kata-kata sendiri.
3. Tingkat penerapan (application), penerapan merupakan kemampuan untuk menggunakan atau menerapkan informasi yang telah dipelajari kedalam situasi yang baru, serta memecahlcan berbagai masalah yang timbuldalam kehidupan sehari-hari.
4. Tingkat analisis (analysis), analisis merupakan kemampuan
mengidentifikasi, memisahkan dan membedakan komponen-komponen atau elemen suatu fakta, konsep, pendapat, asumsi, hipotesa atau kesimpulan, dan memeriksa setiap komponen tersebut untuk melihat ada atau tidaknya kontradiksi. Dalam tingkat ini peserta didik diharapkan menunjukkan hubungan di antara berbagai gagasan dengan cara membandingkan gagasan tersebut dengan standar, prinsip atau prosedur yang telah dipelajari.
5. Tingkat sintesis (synthesis), sintesis merupakan kemampuan seseorang dalam mengaitkan dan menyatukan berbagai elemen dan unsur pengetahuan yang ada sehingga terbentuk pola baru yang lebih menyeluruh.
6. Tingkat evaluasi (evaluation), evaluasi merupakan level tertinggi yang mengharapkan peserta didik mampu membuat penilaian dan keputusan tentang nilai suatu gagasan, metode, produk atau benda dengan menggunakan kriteria tertentu.
Apabila melihat kenyataan yang ada dalam sistem pendidikan yang diselenggarakan, pada umumnya baru menerapkan beberapa aspek kognitif tingkat rendah, seperti pengetahuan, pemahaman dan sedikit penerapan. Sedangkan tingkat analisis, sintesis dan evaluasi jarang sekali diterapkan. Apabila semua tingkat kognitif diterapkan secara merata dan terus-menerus maka hasil pendidikan akan lebih baik.
Tabel Kaitan antara kegiatan pembelajaran dengan domain tingkatan aspek kognitif
No Tingkatan Deskripsi
1 Pengetahuan Arti: Pengetahuan terhadap fakta, konsep, definisi, nama, peristiwa, tahun, daftar, teori, prosedur,dll.
Contoh kegiatan belajar:
• Mengemukakan arti
• Menentukan lokasi
• Mendriskripsikan sesuatu
• Menceritakan apa yang terjadi
• Menguraikan apa yang terjadi
2 Pemahaman Arti:pengertian terhadap hubungan antar-faktor, antar konsep, dan antar data hubungan sebab akibat penarikan kesimpulan
Contoh kegiatan belajar:
¨ Mengungkapakan gagasan dan pendapat dengan kata-kata sendiri
¨ Membedakan atau membandingkan
¨ Mengintepretasi data
¨ Mendriskripsikan dengan kata-kata sendiri
¨ Menjelaskan gagasan pokok
¨ Menceritakan kembali dengan kata-kata sendiri

3 Aplikasi Arti: Menggunakan pengetahuan untuk memecahkan masalah atau menerapkan pengetahuan dalam kehidupan sehari-hari
Contoh kegiatan:
• Menghitung kebutuhan
• Melakukan percobaan
• Membuat peta
• Membuat model
• Merancang strategi
4 Analisis Artinya: menentukan bagian-bagian dari suatu masalah, penyelesaian, atau gagasan dan menunjukkan hubungan antar bagian tersebut
Contoh kegiatan belajar:
• Mengidentifikasi faktor penyebab
• Merumuskan masalah
• Mengajukan pertanyaan untuk mencari informasi
• Membuat grafik
• Mengkaji ulang
5 Sintesis Artinya: menggabungkan berbagai informasi menjadi satu kesimpulan/konsepatau meramu/merangkai berbagai gagasan menjadi suatu hal yang baru
Contoh kegiatan belajar:
v Membuat desain
v Menemukan solusi masalah
v Menciptakan produksi baru,dst.
6 Evaluasi Arti: mempertimbangkan dan menilai benar-salah, baik-buruk, bermanfaat-tidak bermanfaat
Contoh kegiatan belajar:
Mempertahankan pendapat
Membahas suatu kasus
Memilih solusi yang lebih baik
Menulis laporan,dst.

C. Contoh Pengukuran Ranah Penilaian Kognitif
Apabila melihat kenyataan yang ada dalam sistem pendidikan yang diselenggarakan, pada umumnya baru menerapkan beberapa aspek kognitif tingkat rendah, seperti pengetahuan, pemahaman dan sedikit penerapan. Sedangkan tingkat analisis, sintesis dan evaluasi jarang sekali diterapkan. Apabila semua tingkat kognitif diterapkan secara merata dan terus-menerus maka hasil pendidikan akan lebih baik. Pengukuran hasil belajar ranah kognitif dilakukan dengan tes tertulis.
Bentuk tes kognitif diantaranya; (1) tes atau pertanyaan lisan di kelas, (2) pilihan ganda, (3) uraian obyektif, (4) uraian non obyektif atau uraian bebas, (5) jawaban atau isian singkat, (6) menjodohkan, (7) portopolio dan (8) performans.
Cakupan yang diukur dalam ranah Kognitif adalah:
a. Ingatan (C1) yaitu kemampuan seseorang untuk mengingat. Ditandai dengan kemampuan menyebutkan simbol, istilah, definisi, fakta, aturan, urutan, metode.
b. Pemahaman (C2) yaitu kemampuan seseorang untuk memahami tentang sesuatu hal. Ditandai dengan kemampuan menerjemahkan, menafsirkan, memperkirakan, menentukan, menginterprestasikan.
c. Penerapan (C3), yaitu kemampuan berpikir untuk menjaring & menerapkan dengan tepat tentang teori, prinsip, simbol pada situasi baru/nyata. Ditandai dengan kemampuan menghubungkan, memilih, mengorganisasikan, memindahkan, menyusun, menggunakan, menerapkan, mengklasifikasikan, mengubah struktur.
d. Analisis (C4), Kemampuan berfikir secara logis dalam meninjau suatu fakta/ objek menjadi lebih rinci. Ditandai dengan kemampuan membandingkan, menganalisis, menemukan, mengalokasikan, membedakan, mengkategorikan.
e. Sintesis (C5), Kemampuan berpikir untuk memadukan konsep-konsep secara logis sehingga menjadi suatu pola yang baru. Ditandai dengan kemampuan mensintesiskan, menyimpulkan, menghasilkan, mengembangkan, menghubungkan, mengkhususkan.
f. Evaluasi (C6), Kemampuan berpikir untuk dapat memberikan pertimbangan terhadap sustu situasi, sistem nilai, metoda, persoalan dan pemecahannya dengan menggunakan tolak ukur tertentu sebagai patokan. Ditandai dengan kemampuan menilai, menafsirkan, mempertimbangkan dan menentukan.
Contohnya siswa dibina kompetensinya menyangkut kemampuan melukis jaring-jaring kubus. Namun, untuk dapat melukis jaring-jaring kubus setidaknya diperlukan pengetahuan (kognitif) tentang bentuk-bentuk jaring kubus dan cara-cara melukis garis-garis tegak lurus.

















BAB III
KESIMPULAN

Ranah kognitif adalah ranah yang mencakup kegiatan mental (otak). Menurut Bloom, segala upaya yang menyangkut aktivitas otak adalah termasuk dalam ranah kognitif. Ranah kognitif berhubungan dengan kemampuan berfikir, termasuk didalamnya kemampuan menghafal, memahami, mengaplikasi, menganalisis, mensintesis, dan kemampuan mengevaluasi. Dalam ranah kognitif itu terdapat enam aspek atau jenjang proses berfikir, mulai dari jenjang terendah sampai dengan jenjang yang paling tinggi. Keenam jenjang atau aspek yang dimaksud adalah:
1. Penilaian (Evaluation)
2. Sintesis (Syntesis)
3. Analisis (Analysis)
4. Penerapan (Aplikation)
5. Pemahaman (Comprehensi)
6. Pengetahuan (Knowledge)














DAFTAR PUSTAKA
Anonymous. 2009. “Aspek Penilaian dalam KTSP Bag 1 (Aspek Kognitif)”. (Online) http://massofa.wordpress.com/feed/. Diakses Tanggal 10 Oktober 2009
Anonymous. 2009. “Sistem Penilaian”. (Online) http://smak.yski.info/. Diakses Tanggal 10 Oktober 2009
Anonymous. 2009. “Pengembnagan Perangkat Penilaian Psikomotor dan Prosedur Penilaian”.(Online) http://nurmanspd.wordpress.com/2009/09/17/pengembangan-perangkat-penilaian-psikomotor/. Diakses Tanggal 10 Oktober 2009
Anonymous. 2009. “Pengukuran Ranah Kognitif, Afektif, dan Psikomotor”. (Online) http://hadirukiyah.blogspot.com/2009/08/pengukuran-ranah-kognitif-afektif-dan.html. Diakses Tanggal 10 Oktober 2009
Anonymous. 2009. “Pengembangan Perangkat Penilaian Afektif”. (Online) http://akhmadsudrajat.wordpress.com/2008/08/15/pengertian-fungsi-dan-mekanisme-penetapan-kriteria-ketuntasan-minimal-kkm/. Diakses Tanggal 10 Oktober 2009
Anonymous. 2009. “Penilaian Ranah Psikomotorik Siswa”. (Online) http://delapanratus.blogspot.com/2009/04/penilaian-ranah-psikomotorik-siswa.html. Diakses Tanggal 10 Oktober 2009
Sudjana, Nana. 1989. Penilaian Hasil Proses Belajar. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya Offset
Sri Wardani. 2004. Penilaian Pembelajaran Matematika Berbasis Kompetensi. Yogyakarta: Departemen Pendidikan Nasional
Sudjono, Anas. 2008. Pengantar Evaluasi Pendidikan. Jakarta: PT.RajaGrafindo Persada.

MAKALAH POPULASI DAN SAMPEL

POPULASI DAN SAMPEL
Makalah Ini Disusun Guna Memenuhi Tugas Mandiri Mata Kuliah Pengantar Metode Penelitian
Dosen Pengampu : Dr. Karwadi




Disusun Oleh :
Dedi Nurhidayat (10410061)



JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
2011/2012




BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Penelitian adalah pekerjaan ilmiah yang bermaksud mengungkapkan rahasia ilmu secara obyektif, dengan dibentengi bukti-bukti yang lengkap dan kokoh. Penelitian merupakan proses kreatif untuk mengungkapkan suatu gejala melalui cara tersendiri sehingga diperoleh suatu informasi. Pada dasarnya, informasi tersebut merupakan jawaban atas masalah-masalah yang dipertanyakan sebelumnya. Oleh karena itu, penelitian juga dapat dipandang sebagai usaha mencari tahu tentang berbagai masalah yang dapat merangsang pikiran atau kesadaran seseorang.
Sebagian dari kualitas hasil suatu penelitian bergantung pada teknik pengumpulan data yang digunakan. Pengumpulan data dalam penelitian ilmiah dimaksudkan untuk memperoleh bahan-bahan yang relevan, akurat, dan reliable. Untuk memperoleh data seperti itu, peneliti dapat menggunakan metode, teknik, prosedur, dan alat-alat yang dapat diandalkan. Ketidaktepatan dalam penggunaan intrumen penelitian tersebut dapat menyebabkan rendahnya kualitas penelitian.
Penelitian bertujuan menemukan jawaban atas pertanyaan melalui aplikasi prosedur ilmiah. Prosedur ini dikembangkan untuk meningkatkan taraf kemungkinan yang paling relevan dengan pertanyaan serta menghindari adanya bias. Sebab, penelitian ilmiah pada dasarnya merupakan usaha memperkecil interval dugaan peneliti melalui pengumpulan dan penganalisaan data atau informasi yang diperolehnya.
Dalam penelitian, salah satu bagian dalam langkah-langkah penelitian adalah menentukan populasi dan sampel penelitian. Seorang peneliti dapat menganalisa data keseluruhan objek yang diteliti sebagai kumpulan atau komunitas tertentu. Seorang peneliti juga dapat mengidentifikasi sifat-sifat suatu kumpulan yang menjadi objek penelitian hanya dengan mengamati dan mempelajari sebagian dari kumpulan tersebut. Kemudian, peneliti akan mendapatkan metode atau langkah yang tepat untuk memperoleh keakuratan penelitian dan penganalisaan data terhadap objek.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian sebagaimana dikemukakan di atas, maka makalah ini bermaksud mengkaji masalah diantaranya sebagai berikut :
1. Bagaimana pengertian populasi penelitian?
2. Bagaimana pengertian sampel penelitian?
3. Bagaimana tekhnik sampel dalam suatu penelitian?
C. Tujuan
1. Mengetahui pengertian populasi dalam suatu penelitian.
2. Untuk mengetahui pengertian sampel dalam suatu penelitian
3. Mengetahui teknik sampel dalam penelitian.
















BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
1. Populasi
Menurut kamus riset karangan Drs. Komaruddin, yang dimaksud dengan populasi adalah semua individu yang menjadi sumber pengambilan sampel, yang terdiri atas obyek/ subyek yang memiliki kualitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan ditarik kesimpulan. Jadi populasi bukan hanya orang tetapi juga obyek dan benda-benda alam yang lainnya ). Misalnya akan melakukan penelitian di sekolah X, maka sekolah X ini merupakan populasi. Sekolah X ini memiliki subyek dan obyek di dalamnya, hal tersebut berarti populasi dalam arti jumlah/ kuantitas. Sedangkan populasi dalam arti karakteristik dapat ditunjukkan dari motivasi kerjanya, disiplin kerjanya, kepemimpinannya, dan lain-lain.
Sedangkan menurut Dr. Siswojo definisi dari populasi adalah sejumlah kasus yang memenuhi seperangkat kriteria yang ditentukan peneliti ). Disini peneliti dapat menentukan kriterianya sendiri di dalam populasi yang akan diteliti.
Pengertian lainnya, diungkapkan oleh Nawawi yang menyebutkan bahwa populasi adalah keseluruhan objek penelitian yang terdiri dari manusia, benda-benda, hewan, tumbuh-tumbuhan, gejala-gejala, nilai tes, atau peristiwa-peristiwa sebagai sumber data yang memiliki karaktersitik tertentu di dalam suatu penelitian. Kaitannya dengan batasan tersebut, populasi dapat dibedakan berikut ini :
1. Populasi terbatas atau populasi terhingga, yakni populasi yang memiliki batas kuantitatif secara jelas karena memilki karakteristik yang terbatas. Misalnya 5.000 orang dai pada awal tahun 1999, dengan karakteristik; masa belajar di pesantren 10 tahun, lulusan pendidikan Timur Tengah, dan lain-lain.
2. Populasi tak terbatas atau populasi tak terhingga, yakni populasi yang tidak dapat ditemukan batas-batasnya, sehingga tidak dapat dinyatakan dalam bentuk jumlah secara kuantitatif. Misalnya dai di Indonesia, yang berarti jumlahnya harus dihitung sejak dai pertama ada sampai sekarang dan yang akan datang.
Dalam keadaan seperti itu jumlahnya tidak dapat dihitung, hanya dapat digambarkan suatu jumlah objek secara kualitas dengan karakteristik yang bersifat umum yaitu orang-orang, dahulu, sekarang dan yang akan menjadi dai.Selain itu, menurut Margono populasi dapat dibedakan ke dalam hal berikut ini:
1. Populasi teoretis (teoritical population), yakni sejumlah populasi yang batas-batasnya ditetapkan secara kualitatif. Kemudian agar hasil penelitian berlaku juga bagi populasi yang lebih luas, maka ditetapkan terdiri dari dai berumur 25 tahun sampai dengan 40 tahun, lulusan Mesir, dan lain-lain.
2. Populasi yang tersedia (accessible population), yakni sejumlah populasi yang secara kuantitatif dapat dinyatakan dengan tegas. Misalnya, dai sebanyak 250 di kota Bandung terdiri dari dai yang memiliki karakteristik yang telah ditetapkan dalam populasi teoretis. Margono pun menyatakan bahwa persoalan populasi penelitian harus dibedakan ke dalam sifat berikut ini:
a. Populasi yang bersifat homogen, yakni populasi yang unsur-unsurnya memiliki sifat yang sama, sehingga tidak perlu dipersoalkan jumlahnya secara kuantitatif. Misalnya, seorang dokter yang akan melihat golongan darah seseorang, maka ia cukup mengambil setetes darah saja. Dokter itu tidak perlu satu botol, sebab setetes dan sebotol darah, hasilnya akan sama saja.
b. Populasi yang bersifat heterogen, yakni populasi yang unsur-unsurnya memiliki sifat atau keadaan yang bervariasi, sehingga perlu ditetapkan batas-batasnya, baik secara kualitatif maupun secara kuantitatif. Penelitian di bidang sosial yang objeknya manusia atau gejala-gejala dalam kehidupan manusia menghadapi populasi yang heterogen.
Meskipun banyak populasi yang anggotanya terbatas jumlahnya seperti jumlah muballigh di Jakarta, jumlah mahasiswa Islam di Yogyakarta, di mana keduanya sebenarnya dapat dapat dihitung namun karena hal itu sulit dilakukan maka dianggap tidak terbatas.



2. Sampel
Menurut Wardi Bachtiar menyatakan bahwa sampel adalah bagian kecil dari anggota populasi yang diambil menurut prosedur tertentu sehingga dapat mewakili populasinya atau sebagai percontohan yang diambil dari populasi. Percontohan mempunyai karakteristik yang mencerminkan karakteristik populasi. Karena itu sampel merupakan perwakilan dari populasi. Untuk itu sampel yang diambil dari populasi harus betul-betul representatif.Suatu sampel dikatakan representative apabila ciri-ciri sampel yang berkaitan dengan tujuan penelitian sama atau hampir sama dengan ciri-ciri populasinya. Dengan sampel yang representatif ini, maka informasi yang dikumpulkan dari sampel hampir sama dengan informasi yang dapat dikumpulkan dari populasinya.
Sampel atau sampling berarti contoh, yaitu sebagian dari seluruh individu yang menjadi objek penelitian. ) Apabila populasi besar dan peneliti tidak mungkin mempelajari semuanya, misalnya karena keterbatasan dana, tenaga, dan waktu, maka peneliti dapat menggunakan sampel yang diambil dari populasi itu. Dalam menentukan sampel hendaknya dipenuhi syarat-syarat utama dalam menentukannya, maksudnya bahwa sampel yang diambil harus betul-betul mewakili (representative) populasi yang telah dikemukakan. Apabila sampel tidak mewakili, maka ibarat orang buta disuruh menyimpulkan karakteristik gajah. Orang pertama yang memegang telinga gajah akan menyimpulkan bahwa gajah itu seperti kipas. Orang kedua yang memegang badan gajah, maka kesimpulannya gajah itu seperti tembok besar. Satu orang lagi memegang ekornya, maka ia menyimpulkan bahwa gajah itu kecil seperti seutas tali. Begitulah jika sampel yang dipilih tidak representative, maka ibarat 3 orang buta itu yang membuat kesimpulan salah tentang gajah.

B. Tekhnik Sampling
Secara garis besar ada dua macam tekhnik sampling, yaitu: Probability sampling yaitu sampling yang memberi kemungkinan yang sama bagi setiap unsur populasi untuk dipilih dan Non-Probability sampling yaitu sampling yang tidak memberi kemungkinan yang sama bagi setiap unsur populasi untuk dipilih.

a. Probability sampling
Dalam probability sampling ada empat macam sampling yang termasuk di dalamnya, yaitu:
1) Sampling Acakan Sederhana (Simple Random Samping)
Yang dimaksud dengan acakan atau random ialah setiap individu atau subyek memiliki kesempatan yang sama untuk dipilih dalam keseluruhan populasi. Selain itu kesempatan harus independent, artinya kesempatan bagi suatu subyek untuk dipilih tidak mempengaruhi kesempatan subyek-subyek lain untuk dipilih.
Kelemahan sampling acakan ialah karena sukar, ada kalanya tidak mungkin memperoleh data lengkap tentang keseluruhan populasi itu. Sampling acakan juga kurang sesuai bila peneliti memerlukan sample yang mempunyai cirri-ciri tertentu, misalnya tingkat pendidikan, kedudukan sosial, dsb.

2) Sampling Acakan Proporsional dengan Stratifikasi (Proportionate Stratified Random Sampling)
Pada prosedur pengambilan sampel berstrata dengan pendekatan proporsional, banyaknya subyek dalam setiap subkelompok atau strata harus diketahui perbandingannya lebih dahulu. Kemudian ditentukan persentase besarnya sampel dari keseluruhan populasi. Persentase atau proporsi ini diterapkan dalam pengambilan sampel bagi setiap subkelompok atau stratanya.

Strata/Sub-kelompok Kelas 1 Kelas 2 Jumlah Kelas
SES Tinggi 268 342 610
SES Sedang 243 444 687
SES Rendah 122 101 223
Jumlah SES 633 887 N=1520

Tabel 1. Data Fiktif Distribusi Subjek dalam Strata Populasi
Sebagai ilustrasi, dari populasi yang berjumlah 1520 orang subyek ditetapkan untuk diambil 20% sebagai sampel. Distribusi populasi subyek menurut strata atau subkelompok diumpamakan sebagai dalam Tabel 1. dengan mengambil secara random 20% subyek dari setiap subkelompok sebagai sampel maka distribusi subyek sampel adalah seperti dalam Tabel 2.

Strata/Sub-kelompok Kelas 1 Kelas 2 Jumlah Kelas
SES Tinggi 54 68 122
SES Sedang 49 89 138
SES Rendah 24 20 44
Jumlah SES 127 177 n=304

Tabel 2. Distribusi Sampel Berstrata Proporsional dari Populasi dalam Tabel 1.


Perhatikan bahwa meskipun proporsi subyek diambil 20% dari masing-masing strata namun jumlah sampel keseluruhan (n=30) juga merupakan 20% dari seluruh populasi (N=1520).
Keuntungan sampling ini adalah sampel yang diperoleh lebih representatif daripada sampel yang diperoleh dengan sampling acakan yang sederhana, dengan jumlah yang sama bagi setiap strata. Sampling ini lebih menggambarkan keadaan populasi yang sesungguhnya karena telah memperhatikan ciri-ciri tertentu.
Sedangkan kelemahannya ialah cara ini lebih banyak memerlukan usaha dan pengenalan lebih dulu tentang populasi. Peneliti harus sanggup memperoleh keterangan yang lebih terperinci tenyang distribusi ciri-ciri itu di kalangan populasi.

3) Sampling Acakan Tak Proporsional dengan Stratifikasi (Disproportionate Stratified Random Sampling)
Prosedur ini biasanya dilakukan karena alas an statistic yang kadang-kadang analisisnya meminta jumlah subyek yang sama dari masing-masing subkelompok. Dalam cara disproporsional, penentuan sampel dilakukan tidak dengan mengambil proporsi yang sama bagi setiap subkelompok atau strata akan tetapi dimaksudkan untuk mencapai jumlah tertentu dari masing-masing strata. Sebagai ilustrasi, dari data populasi dalam Tabel 1 misalkan diambil sampel sebagaimana dalam Tabel 3. Tampak bahwa cara ini menghasilkan jumlah yang sama bagi sampel subyek untuk masing-masing subkelompok populasi.

Strata/Sub-kelompok Kelas 1 Kelas 2 Jumlah Kelas
SES Tinggi 75 = 28% × 268 75 = 22% × 342 150
SES Sedang 75 = 31% × 143 75 = 17% × 444 150
SES Rendah 75 = 61% × 122 75 = 74% × 101 150
Jumlah SES 225 225 n=450

Tabel 2. Distribusi Sampel Berstrata Disproporsional dari Populasi dalam Tabel 1.

Sampling ini tidak begitu banyak memakan waktu dibandingkan dengan sampling secara proporsional. Namunkelemahannya ialah justru dengan cara ini proporsi tiap strata yang sebenarnya menurut populasi menjadi terganggu.
Dibandingkan dengan cara random sederhana, maka cara pengambilan sampel stratifikasi ini akan menghasilkan eror standar yang lebih kecil dan karenanya akan menghasilkan estimasi yang lebih cermat mengenai karakteristik populasinya.

4) Sampling Daerah / Wilayah (Cluster)
Sampling daerah mempergunakan wilayah geografik sebagai titik tolak. Terutama dalam studi yang tidak memungkinkan peyelidik untuk lebih dahulu mengetahui besarnya populasi, yang dijadikan pegangan ialah pola geografik tempat populasi itu. Misalnya satui wilayah dibagi lebuh dahulu atas sekian banyak kabupaten. Setiap wilayah diwakili oleh sampel-sampel kabupaten-kabupaten yang secara random ditarik menjadi menjadi wilayah. Dari kabupaten-kabupaten itu, ditetapkan lagi jumlah kecamatan dan dari kabupaten=kabupaten itu ditarik sampel-sampel kecamatan yang menjadi sampel wilayah. Begitu seterusnya sampai misalnya kita sampai pada RT atau pada kesatuan-kesatuan lain yang menjadi pusat peyelidikan.
Keuntungan sampling ini adalah sesuai bagi peneliti yang melibatkan populasi yang besar yang tersebar di daerah yang luas. Pelaksanaannya lebih mudah daripada metode sampling lainnya dan biayanya lebih murah karena sampel terpusat pada daerah yang terbatas.
Sedangkan kelemahannya adalah bahwa jumlah individu dalam tiap daerah pilihan tidak sama, ada pula kemungkinan orang pindah atau berjalan dari daerah pilihan yang satu ke daerah pilihan satu lagi sehingga ia dapat dua kali masuk sampel bila penelitian tidak dilakukan serempak.

b. Non-Probability sampling
Non-Probability sampling dilakukan misalnya untuk sekedar mentes reliabilitas alat pengukur tertentu. Dilakukan juga untuk memperoleh suatu kesan umum tentang ciri-ciri manusia yang tinggal di suatu daerah. Berdasarkan studi ini peneliti mendapat keterangan yang lebih banyak tentang populasi, dan karena itu dapat dilakukan studi yang lebih sistematis kemudian dengan menggunakan sampling acakan.
Yang termasuk non-probability sampling antara lain:
1) Sampling Sistematis
Dengan sampling sistematis ini dimaksudkan peneliti memilih sampel dari suatu daftar menurut urutan tertentu, misalnya tiap individu ke-10 atau ke-15, atau ke-n. Metode sampling ini dikatakan sistematis karena mengikuti sistematika tertentu.
Keuntungan metode ini ialah, bahwa cara ini mudah dalam pelaksanannya dan juga dapat cepat diselesaikan. Kesalahan tentang memilih individu yang kesekian mudah diketahui, dan kalaupun salah tidak begitu mempengaruhi hasilnya.
Sedangkan kelemahannya ialah bahwa individu yang berada di antara yang kesekian dan kesekian dikesampingkan, sehingga cara ini tidak sebaik sampling acakan.
2) Sampling kuota
Sampling kuota adalah metode memilih sampel yang mempunyai ciri-ciri tertentu dalam jumlah atau kuota yang diinginkan, misalnya sejumlah guru dalam bidang-bidang studi tertentu yang pernah mendapat penataran misalnya untuk meminta pendapat mereka tentang manfaat penataran itu bagi peningkatan mutu pengajaran. Peneliti dapat menentukan bidang studinya serta jumlah guru atau kuota tiap bidang studi yang diinginkannya untuk misalnya diwawancarai.
Keuntungan metode ini ialah bahwa melaksanakannya mudah, murah, dan cepat. Hasilnya berupa kesan-kesan umum yang masih kasar yang tidak dapat dipandang sebagai generalisasi umum. Dalam sampel dapat dengan sengaja dimasukkan orang-orang yang mempunyai ciri-ciri yang diinginkan oleh peneliti.
Kelemahannya ialah kecenderungan memilih orang yang mudah didekati bahkan yang dekat dengan peneliti yang mungkin ada biasnya dan memiliki ciri-ciri yang tidak dimiliki populasi dalam keseluruhannya. Ciri-ciri yang dipilih dalam penggolongan sampel tidak berdasarkan ciri-ciri yang esensial dari populasi. Oleh sebab sampel itu tidak representatif, maka kesimpulan peneliti ini hanya dapat memberi kesan-kesan yang sangat umum.

3) Sampel Aksidental (kebetulan)
Sampel aksidental adalah sampel yang diambil dari siapa saja yang kebetulan ada, misalnya bertanya pada siapa saja yang dijumpai oleh peneliti di tengah jalan untuk meminta pendapat mereka tentang sesuatu yang akan diteliti.
Keuntungan dari metode ini adalah sangat mudah, murah, dan cepat dilakukan. Sedangkan kelemahannya sampel ini sama sekali tidak representatif sehingga tidak mungkin diambil suatu kesimpulan yang bersifat generalisasi.

4) Purposive Sampling (menurut pertimbangan)
Sampling purposive dilakukan dengan mengambil orang-orang yang benar-benar terpilih oleh peneliti menurut ciri-ciri spesifik yang dimiliki oleh sampel tersebut. Misalnya orang yang mempunyai tingkat pendidikan tertentu, jabatan tertentu, mempunyai usia tertentu yang pernah aktif dalam kegiatan masyarakat tertentu.
Sampling yang purposive adalah sampel yang dipilih dengan cermat hingga relevan dengan desain peneliti. Peneliti akan berusaha agar dalam sampel itu terdapat wakil-wakil dari segala lapisan populasi. Dengan demikian diusahakan agar sampel itu memiliki cirri-ciri yang esensial dari populasi sehingga dapat dianggap cukup representatif. Ciri-ciri apa yang esensial, strata apa yang harus diwakili bergantung pada penilaian dan pertimbangan atau judgment peneliti. Oleh karena itu purposive sampling disebut juga judgment sampling.
Keuntungan sampel ini ialah bahwa sampel ini dipilih sedemikian rupa sehingga relevan dengan desain peneliti. Selain itu cara ini relatif mudah dan murah untuk dilaksanakan. Sampel yang dipilih adalah individu yang menurut pertimbangan peneliti dapat didekati.
Kelemahannya ialah bahwa tidak ada jamonan sepenuhnya bahwa sampel itu representatif seperti halnya sampel acakan atau random. Pertimbangan yang dilakukan oleh peniliti juga tidak terlepas dari subyektifitas peneliti.

5) Snowball Sampling
Dalam sampling ini peneliti mulai dengan kelompok kecil yang diminta untuk menunjuk kawan masing-masing. Kemudian kawan-kawan itu diminta pula menunjuk kawan masing-masing, dan begitu seterusnya sehingga kelompok itu semakin bertambah besar bagaikan bola salju yang menggelinding dari puncak bukit ke bawah. Sampling ini dipilih bila bila peneliti ingin menyelidiki hubungan antar manusia dalam kelompok yang akrab, atau menyelidiki cara-cara informasi tersebar di kalangan tertentu.
Kelemahan metode ini adalah dalam penentuan kelompok kecil ada unsur subyektif, jadi tidak dipilih secara random atau acakan. Bila jumlah sampel melebihi 100 orang penanganannya sudah sulit dikendalikan.

6) Sampling Jenuh dan Padat (Saturation Sampling)
Sampling dikatakan jenuh (tuntas) bila seluruh populasi dijadikan sampel, misalnya semua guru di suatu sekolah. Sedangkan sampling dikatakan padat bila jumlah sampel lebih dari setengan dari populasi, misalnya 250-300 orang dari populasi 500 orang.
Populasi dikatakan kecil bila jumlahnya jauh di bawah 1000 orang. Sampling jenuh dapat dilakukan bagi kelompok yang kecil. Akan tetapi bila jumlahnya besar misalnya lebih dari 1000 orang, maka sampling jenuh tidak lagi praktis karena biaya dan waktu terlampau banyak untuk misalnya melakukan wawancara dan pengolahannya.






















BAB III
KESIMPULAN
Populasi adalah seluruh data yang menjadi perhatian kita dalam suatu ruang lingkup dan waktu yang kita tentukan sebagai objek penelitian. Jadi populasi berhubungan dengan data, bukan manusianya. Kalau setiap manusia memberikan suatu data maka, banyaknya atau ukuran populasi akan sama dengan banyaknya manusia. Sedangkan sampel adalah sebagai wakil populasi yang diteliti atau bagian dari populasi yang akan diteliti dan yang dianggap dapat menggambarkan populasi, atau sebagai contoh yang diambil dengan menggunakan cara-cara tertentu. Adapun tekhnik-tekhnik dalam pengampilan sampel yaitu, Probability sampling dan Non-Probability Sampling.






















DAFTAR PUSTAKA

Asep Saeful Muhtadi, dkk. 2003. Metode Penelitian Dakwah, Cet.1, Bandung : Pustaka Setia

A. Furchan. 2004. Pengantar Penelitian dalam Pendidikan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Mardalis. 1995. Metode Penelitian : Suatu Pendekatan Proposal. Jakarta : Bumi aksara.

Nasution. 1996. Metode Research (Penelitian Ilmiah). Jakarta : Bumi Aksara.
Nazir. 2005. Metode Penelitian, Jakarta: Ghalia Indonesia.
Soehartono, Irawan. 2000. Metode Penelitian Sosial : Suatu Teknik Penelitian Bidang Kesejahteraan Sosial dan Ilmu Sosial Lainnya, Cet.4, Bandung: Remaja Rosdakarya.

S. Arikunto. 2006. Prosedur Penelitian: Suatu Pengantar Praktik, Jakarta: Rineka Cipta
S.Margono. 2007. Metodologi Penelitian Pendidikan. Cet.7, Jakarta: Rineka Cipta.
Sugiyono. 2005.Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung: Alfabeta
Sugiyono. 2010.Metode Penelitian Pendidikan : Pendekatan kuantitatif, kualitatif, dan R & D. Bandung : Alfabeta
Sumadi Suryabrata. 2010. Metodologi Penelitian. Jakarta: Rajawali Press

MAKALAH PERILAKU MEROKOK PADA REMAJA

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Fenomena merokok di kalangan ramaja usia sekolah bukan pemandangan asing lagi. Berdasarkan data Direktorat Jenderal Penyakit Tidak Menular Kementerian Kesehatan, sebelum tahun 1995 prevalensi remaja terhadap rokok hanya tujuh persen. Pada 2010 naik menjadi 19 persen. 54,1 persen orang di atas usia 15 tahun merokok dan 43,3 persen dari jumlah keseluruhan perokok mulai merokok pada rentang usia 14-19 tahun. Jumlah perokok usia remaja di Indonesia terus meningkat. Secara keseluruhan, Indonesia menempati peringkat lima di dunia sebagai jumlah perokok terbanyak di bawah China, AS, Jepang, dan Rusia.
Merokok merupakan salah satu masalah yang sulit dipecahkan. Apalagi sudah menjadi masalah nasional, dan bahkan internasional. Hal ini menjadi sulit, karena berkaitan dengan banyak faktor yang saling memicu, sehingga seolah- olah sudah menjadi lingkaran setan. Di tinjau dari segi kesehatan, merokok harus dihentikan karena menyebabkan kanker dan penyumbatan pembuluh darah yang mengakibatkan kematian, oleh karena itu merokok harus dihentikan sebagai usaha pencegahan sedini mungkin. Terlebih diketahui bahwa sebagian besar perokok adalah remaja sehingga perlu adanya pencegahan dini yang dimulai dari pihak sekolah.
Para perokok merasakan nikmatnya merokok begitu nyata, sampai dirasa memberikan rasa menyenangkan dan menyegarkan sehingga setiap harinya harus menyisihkan uang untuk merokok. Kelompok lain, khususnya remaja pria, mereka menganggap bahwa merokok adalah merupakan ciri kejantanan yang membanggakan, sehingga mereka yang tidak merokok malah justru diejek. Padahal mereka sadar bahwa merokok dapat membahayakan kesehatan bahkan menimbulkan banyak penyakit serius.
Berkaitan dengan fenomena di atas, maka perlu adanya penelitian mengenai perilaku merokok pada remaja agar bisa menambah wawasan tentang perilaku merokok dan cara menanggulanginya sehingga dapat mencegah timbulnya perilaku merokok pada remaja.
Penelitian ini adalah penelitian lapangan yang bersifat kualitatif dengan pendekatan psikologi perkembangan. Penelitian ini dilakukan di SMK Insan Cendekia, Turi, Sleman. Dipilihnya subyek penelitian tersebut dengan pertimbangan pernah didapati beberapa siswa sekolah tersebut sedang merokok disekitar lingkungan sekolah. Alasan lain yaitu karena sekolah tersebut merupakan sekolah yang baru berdiri 4 tahun (2007) maka bagaimana upaya yang dapat dilakukan oleh sekolah agar menjadikan siswanya terbebas dari merokok.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan problematika di atas dapat dirumuskan masalah sebagai berikut:
1. Apa faktor-faktor penyebab perilaku merokok?
2. Mengapa remaja rentan terhadap perilaku merokok?
3. Bagaimana perilaku merokok di kalangan remaja saat ini?
4. Bagaimana mencegah perilaku merokok pada remaja usia sekolah?











BAB II
PEMBAHASAN

A. Sebab-sebab Perilaku Merokok
1. Pengertian Perilaku Merokok
Rokok dibuat dari bahan dasar tembakau. Daun tembakau (nicotiana tabacum) mengandung nikotin dan berbagai senyawa kimia lainnya yang berefek racun. Nikotin yang terdapat pada daun tembakau merupakan zat beracun yang dalam dosis 60 mg saja dapat berakibat fatal.
Menurut kamus Bahasa Indonesia (2008), merokok didefinisikan sebagai menghisap rokok, sedangkan rokok itu sendiri diartikan gulungan tembakau (kira-kira sebesar kelingking) yg dibungkus (daun nipah, kertas, dsb). Armstrong berpendapat bahwa merokok adalah menghisap asap tembakau yang dibakar ke dalam tubuh dan menghembuskannya kembali keluar. Pendapat lain dari Levy menyatakan bahwa perilaku merokok adalah sesuatu yang dilakukan seseorang berupa membakar dan menghisapnya serta dapat menimbulkan asap yang dapat terhisap oleh orang-orang disekitarnya.
Berdasarkan uraian diatas maka dapat disimpulkan bahwa perilaku merokok adalah suatu kegiatan atau aktivitas membakar rokok dan kemudian menghisapnya dan menghembuskannya keluar dan dapat menimbulkan asap yang dapat terhisap oleh orang-orang disekitarnya.

2. Faktor Penyebab Perilaku Merokok
Perilaku merokok merupakan perilaku yang berbahaya bagi kesehatan, tetapi masih banyak orang yang melakukannya. Bahkan orang mulai merokok ketika mereka masih remaja. Asal mulanya, orang yang mengisap rokok merasa tidak nyaman, misalnya kepala pening, mulut kering dan bau. Akan tetapi lama kelamaan jika diteruskan berkali-kali dan dibiasakan maka perokok akan merasa nikmat dan enak. Setelah itu menjadi ketagihan, kecanduan, dan tergantung, baik secara fisik maupun psikis.
Ada berbagai alasan yang dikemukakan oleh para ahli untuk menjawab mengapa seseorang merokok. Menurut Levy setiap individu mempunyai kebiasaan merokok yang berbeda dan biasanya disesuaikan dengan tujuan mereka merokok. Pendapat tersebut didukung oleh Smet yang menyatakan bahwa seseorang merokok karena faktor-faktor sosio cultural seperti kebiasaan budaya, kelas sosial, gengsi, dan tingkat pendidikan.
Secara umum menurut Kurt Lewin, bahwa perilaku merokok merupakan fungsi dari lingkungan dan individu, artinya perilaku merokok selain disebabkan oleh faktor dalam diri, juga disebabkan olah faktor lingkungan.
Adapun faktor dari individu yaitu :
1. Faktor Biologis
Banyak Penelitian menunjukkan bahwa nikotin dalam rokok merupakan salah satu bahan kimia yang berperan penting pada ketergantungan
merokok.
2. Faktor Psikologis
Merokok dapat bermakna untuk meningkatkan konsentrasi, menghalau rasa kantuk, mengakrabkan suasana sehingga timbul rasa persaudaraan,
juga dapat memberikan kesan modern dan berwibawa, sehingga bagi individu yang sering bergaul dengan orang lain, perilaku merokok sulit untuk dihindari.
3. Faktor Demografis
Faktor ini meliputi umur dan jenis kelamin. Orang yang merokok pada usia dewasa semakin banyak akan tetapi pengaruh jenis kelamin zaman sekarang sudah tidak terlalu berperan karena baik pria maupun wanita sekarang sudah merokok.
Faktor lingkungan yaitu :
1. Faktor Lingkungan Sosial
Lingkungan sosial berpengaruh terhadap sikap, kepercayaan dan perhatian individu pada perokok.
2. Faktor Sosial-Kultural
Kebiasaan budaya, kelas sosial, tingkat pendidikan, penghasilan dan gengsi pekerjaan akan mempengaruhi perilaku merokok pada individu.
3. Faktor Sosial Politik
Menambahkan kesadaran umum berakibat pada langkah-langkah politik yang bersifat melindungi bagi orang-orang yang tidak merokok dan usaha melancarkan kampanye-kampanye promosi kesehatan untuk mengurangi perilaku merokok. Merokok menjadi masalah yang bertambah besar di negara-negara berkembang seperti Indonesia.

3. Remaja Rentan Terhadap Perilaku Merokok
Pada umumnya remaja memiiki rasa ingin tahu yang tinggi (high curiosity). Karena didorong oleh rasa ingin tahu yang tinggi remaja cenderung ingin berpetualang menjelajah segala sesuatu dan mencoba segala sesuatu yang belum pernah dialaminya. Selain itu didorong juga oleh keinginan seperti orang dewasa, menyebabkan remaja ingin mencoba melakukan apa yang sering dilakukan oleh orang dewasa. Akibatnya tidak jarang secara sembunyi-sembunyi remaja pria mencoba merokok karena sering meihat orang dewasa melakukannya. Seolah-olah dalam hati kecilnya berkata bahwa remaja ingin membuktikan bahwa seebenarnya dirinya mampu berbuat seperti yang dilakukan orang dewasa. Seringkali remaja melakukan perbuatan-perbuatan menurut normanya sendiri karena terlalu banyak menyaksikan ketidakkonsistenan di masyarakat yang dilakukan oleh orang dewasa atau orang tua antara apa-apa yang sering dikataan dalam berbagai forum dengan kenyataan nyata dilapangan. Kata-kata moral didengungkan dimana-mana tetapi kemaksiatan juga disaksikan dimana-mana oleh remaja.


4. Dampak Perilaku Merokok
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO Pada 1998) melakukan penelitian tentang tembakau dan rokok melontarkan 6 hal:
1. Rokok adalah pintu pertama kematian
2. Rokok merupakan pembunuh nomor 3 setelah jantung dan kanker
3. 1 batang rokok menyebabkan umur seseorang memendek 12 menit
4. Didunia 10 orang perhari mati karena rokok
5. Di Indonesia 57.000 orang mati karena merokok
6. Menurut para ahli seorang perokok atau yang menghisap asap rokok secara sengaja atau tidak sengaja akan mudah terserang penyakit, terutama pernafasan, jantung, paru-paru, kanker, pembuluh darah, impotensi, gangguan kehamilan, dan janin.
Seorang yang kecanduan rokok jika dihentikan akan mengalami gejala ketagihan rokok antara lain:
1. Perasaan tidak pada mulut (kecuten)
2. Emosional
3. Cemas dan gelisah
4. Konsentrasi terganggu
5. Kepala nyeri
6. Mengantuk
7. Pening
8. Gangguan pencernaan


B. Perilaku Merokok di Kalangan Remaja Saat Ini
Berdasarkan penelitian melalui observasi, wawancara, dokumentasi dan pengolahan data angket terhadap 40 siswa SMK Insan Cendekia, yaitu 15 siswa laki-laki dan 25 siswa perempuan kelas X dan XI pada hari Kamis tanggal 6 Desember 2011, berikut ini adalah hasilnya:
1. Siswa yang Merokok
Berdasarkan wawancara secara langsung dan data yang diperoleh dari angket dengan siswa/siswi SMK Insan Cendekia diketahui bahwa terdapat 21 siswa atau 52,5% yang pernah merokok, sedangkan yang belum pernah merokok sebanyak 19 orang atau 47,5%. Hasil itu dapat digambarkan dalam diagram sebagai berikut:

Dari angket ditemukan bahwa tidak hanya siswa laki-laki yang pernah merokok tetapi juga siswa perempuan. Sejumlah 21 siswa yang merokok, terdiri dari 15 siswa laki-laki dan 6 siswa perempuan.
Peneliti mendapati dua alasan pertama kali mereka merokok, yaitu sebagian besar alasan mereka karena penasaran atau sekedar ingin coba-coba dan satu orang karena depresi. Seperti pengakuan dari Fauzul, siswa yang diwawancarai, mengaku merokok pertama kali karena coba-coba. “saya merokok karena ingin coba-coba saja, lagian juga kata temen ga ngrokok ga gaul”. Dia merokok hanya satu tahun karena memiliki motivasi untuk berhenti merokok. Setelah peneliti tanya apa motivasinya, dia menjawab dengan senyum ringan “ya, motivasinya karena cewek”. Akhirnya sampai sekarang dia tidak merokok lagi.
Peneliti mengkategorikan siswa menjadi 3 yaitu: Perokok pasif, perokok aktif, perokok pecandu. Perokok pasif adalah orang yang tidak merokok tapi terpaksa ikut menghirup asap rokok karena tidak bisa menghindar lagi. Adapun indikator dari perokok pasif:
1. Belum pernah merokok.
2. Merasa terganggu dengan lingkungan perokok.
3. Mengetahui bahaya merokok.
Perokok aktif adalah orang yang merokok tetapi tidak merasa rokok menjadi kebutuhan. Adapun indikator dari perokok aktif:
1. Merokok tidak menjadi kebutuhan.
2. Tahan jika tidak merokok dalam sehari.
3. Dapat menahan diri jika tidak mempunyai rokok.
Perokok pecandu adalah orang yang merokok karena kecanduan dan sudah menjadi kebutuhan. Adapun indikator dari perokok pecandu:
1. Merokok merupakan kebutuhan.
2. Setiap hari pasti merokok.
3. Jika kehabisan rokok, maka tidak tahan sampai memperolehnya.
Berdasarkan indikator di atas, maka siswa dikategorikan dalam diagram berikut ini.

Dapat dilihat dalam diagram bahwa perokok pasif sebanyak 47,5%, perokok aktif sebanyak 35% dan perokok pecandu sebanyak 17,5%.
Salah satu perokok pasif adalah Dian. Dia mengaku tidak pernah merokok karena merokok dapat merusak kesehatan. Dia mengatakan “Merokok kan merusak kesehatan, seperti merusak paru-paru, dan banyak sih, merugikan orang lain juga”. Dia merasa terganggu apabila disekitarnya ada yang merokok. Sama halnya dengan Dian, yaitu Ilya. Ilya juga tidak merokok karena mengetahui sebab-akibat merokok. Meskipun dia sering diejek temannya karena tidak merokok, dia tetap bisa mengontrol diri untuk tidak merokok.
Sedangkan siswa yang dikategorikan dalam perokok aktif adalah Juhari dan Fauzul. Juhari pertama kali merokok karena coba-coba. Dia hanya merokok jika ditawari temannya sebagai rasa menghargai. Pernyataan dia “Awalnya dulu nggak ngrokok, tapi lihat temen-temen pada ngrokok ya jadi ikut-ikutan gimana rasanya ngrokok”. Fauzul sama dengan Juhari, yaitu merokok karena mencoba-coba. Dia sempat mengatakan “nggak ngrokok nggak gaul”, meskipun saat ini dia telah berhenti merokok.
Salah satu perokok pecandu adalah Anto. Dia setiap hari merokok. Bahkan dalam satu hari minimal menghabiskan 6 batang rokok. Dia merasa lemas badannya dan sulit berkonsentrasi jika menahan diri untuk tidak merokok. “Kalau nggak ngrokok rasanya lemes, nggak kuat ngapa-ngapain” ujar dia. Dia menambahkan “Kalau di pelajaran ya menjadi kurang konsen”. Merokok sudah menjadi kebiasaan rutinnya. “Kalau ngrokok sih udah biasa” kata Anto.

2. Menikmati Merokok
Ada sebagian siswa yang menikmati rokok, tetapi ada sebagian pula yang tidak menikmati rokok. Dari 52,5% siswa yang merokok, hanya sedikit yang mengaku merokok itu menyenangkan dan menyegarkan, yaitu hanya sekitar 24%, selebihnya tidak merasa merokok itu menyenangkan dan menyegarkan.
Jika digambarkan dalam diagram maka tergambar sebagai berikut:

Berdasarkan wawancara dengan siswa secara mendalam, didapati satu siswa yang merasa merokok itu menyenangkan dan menyegarkan, yaitu Anto. Dia mengatakan bahwa dengan merokok dia bisa lebih fresh dan bisa berkonsentrasi.

3. Merokok Ketika Marah
Dalam pertanyaan angket “Apakah Anda merokok ketika merasa marah?” mendapatkan hasil 29% yang merokok ketika merasa marah dan selebihnya ketika tidak merasa marah.
Dalam diagram dapat digambarkan:

Sebagian remaja merokok ketika merasa marah. Hal ini menunjukkan merokok merupakan jalan atau penenang bagi sebagian perokok yang mengalami rasa marah. Dengan kata lain, merokok dapat mengurangi rasa marah bagi mereka.
4. Merokok Menambah Percaya Diri dan Mudah Bergaul
Merokok dapat menambah percaya diri dan mudah bergaul, seperti kata dari siswa yang merokok yaitu Fauzul, “nggak ngrokok nggak gaul”. Ilya juga sering diejek temannya kalau nggak ngrokok itu nggak gaul. Namun meskipun demikian Ilya tetap tidak merokok. “nggak gaul kalau nggak ngrokok itu cuma masalah gengsi, kalau saya sih nggak papa nggak gaul” kata Ilya. Kalimat nggak ngrokok nggak gaul benar adanya bagi sepertiga siswa yang merokok. Dari hasil angket, terdapat 33% yang setuju bahwa merokok dapat menambah percaya diri dan mudah bergaul. Dalam diagram digambarkan sebagai berikut:

Memang hanya sepertiga dari perokok yang setuju dengan merokok dapat menambah percaya diri dan mudah bergaul. Dengan realita ini menunjukkan adanya hubungan antara merokok dengan percaya diri dan pergaulan sekalipun prosentasenya tidak terlalu besar.
5. Mengetahui Bahaya Rokok
Dari angket didapati bahwa semua siswa yang pernah merokok ingin berhenti dari berperilaku merokok. Hal ini karena rokok berbahaya bagi kesehatan. Dari 40 siswa, semuanya mengaku mengetahui bahaya rokok. Ironisnya mereka tahu kalau merokok tidak hanya membahayakan diri perokok itu saja, tetapi juga membahayakan orang lain.
Ilya, siswa dari SMK Insan Cendekia mengatakan bahwa dirinya tidak merokok karena mengetahui bahaya dari merokok. “Saya nggak ngorok karena tahu sebab-akibatnya. Menurut pengalaman teman-teman saya, merokok bikin nafasnya sesak, dan juga akibatnya sudah tertulis dibungkusnya itu ,” ujarnya. Selain itu dia menambahkan bahwa merokok itu tidak hanya merugikan diri sendiri tetapi juga merugikan orang lain yang disekitarnya.
Semua siswa mengetahui bahaya merokok tetapi masih saja ada yang merokok. Hal ini membuktikan bahwa perilaku merokok dipengaruhi oleh individu dan lingkungan. Secara individu, mereka tahu merokok itu berbahaya. Namun karena remaja merupakan masa yang labil, mudah terpengaruh, dan masa pencarian identitas maka tetap saja perilaku merokok dilakukan. Besarnya rasa ingin penasaran dan ingin mencoba-coba sering mendorong remaja untuk melakukan hal yang baru, termasuk yang belum pernah merokok ingin merasakan bagaimana merokok itu. Lingkungan teman yang merokok kadang juga memancing diri mereka untuk merokok juga. Selain itu, nikotin dalam rokok juga menyebabkan kecanduan sehingga sulit untuk berhenti merokok meskipun ada keinginan untuk berhenti. Mengetahui bahaya merokok saja tidak cukup untuk menghindarkan diri dari merokok.


C. Pencegahan Perilaku Merokok di Kalangan Remaja
Diperlukan tindakan dan pengarahan untuk mengatasi perilaku merokok pada remaja khususnya di SMK Insan Cendekia. Disinilah peran guru dibutuhkan, terlebih bagi guru BK dan guru agama agar ada pencegahan terhadap perilaku merokok sehingga dapat meminimalisir jumlah pelaku merokok.
Ina Dwiyati, S.Psi, guru BK sekaligus menjabat kepala SMK Insan Cendekia, mengatakan bahwa merokok menjadi masalah tersendiri bagi sekolah. Larangan merokok sudah menjadi aturan sekolah tetapi masih tetap ada yang merokok karena pada usia remaja rasa penasaran dan teman kelompok sangat mempengaruhi. Kata beliau “Sudah menjadi sifat usia SMK yang cenderung trend atau teman-teman yang lain”.
Menurut beliau, siswa yang merokok dapat diketahui melalui ciri-cirinya. Jika bertemu secara face to face tercium dari aromanya, bibirnya terlihat hitam, dan dari giginya ada zat yang menempel di giginya.
Perilaku merokok perlu penanganan khusus. Dari pihak sekolah, setiap awal tahun pasti menekankan aturan sekolah khususnya pelarangan tentang merokok. Pihak sekolah juga mendatangkan narasumber dari dinas kesehatan untuk memberikan penyuluhan atau sosialisasi tentang kesehatan, khususnya bahaya merokok. Selain itu, sekolah bekerja sama dengan puskesmas setempat untuk mengadakan pemeriksaan fisik secara menyeluruh sehingga mengetahui siswa yang merokok. Namun, beliau menambahkan kalau cara ini belum efektif karena siswa hanya sadar beberapa saat setelah penyuluhan. Terlebih sekolah hanya bisa mengontrol pada saat jam belajar di sekolah saja, setelah jam itu sekolah tidak dapat mengontrol. Sekolah juga menerapkan reward and punishment, bagi siswa yang didapati merokok dilingkungan sekolah akan mendapatkan hukuman yang berupa poin kesalahan.
Ridwan, guru agama di SMK Insan Cendekia mengaku sering mendapati siswa yang merokok. Meskipun sudah jelas bahwa ada aturan dilarang merokok tetapi siswa tetap merokok dengan sembunyi-sembunyi. Menurut beliau, siswa yang merokok dapat diketaui ciri-cirinya, yaitu: biasanya tubuhnya kekuru-kuruan, sering sakit, cepat emosi, mudah tersinggung, dan biasanya malas-malasan.
Tindakan dari guru agama mengatasi perilaku merokok remaja, dilakukan dengan memberikan peringatan-peringatan agar siswa benar-benar tau bahaya dari merokok sehingga dapat meninggalkan rokok. Peringatan diberikan satu sampai lima kali. Apabila tidak jera maka diberikan hukuman seperti membersihkan wc dan lingkungan sekolah. Bagi siswa yang di tinggal asrama sekolah didapati merokok, maka tidak akan diberi makan sampai benar-benar jera merokok.
Menurut peneliti tindakan yang dilakukan sekolah cukup efektif. Peneliti menambahkan tindakan yang perlu dilakukan untuk mencegah perilaku merokok di kalangan remaja yaitu perlunya kerjasama antara pihak sekolah dan orangtua untuk mengawasi dan mengarahkan tingkahlaku remaja. Salahsatu kebutuhan khas remaja adalah kebutuhan akan kasih sayang. Perhatian orangtua terhadap anak merupakan salahsatu bentuk kasih sayangnya terhadap anak. Sebaiknya orangtua mengetahui keadaan emosi anak, terutama ketika anak mengalami depresi sehingga tidak sampai melampiaskannya pada perilaku merokok.
Pengawasan terhadap pergaulan remaja oleh orang tua dan sekolah akan memberikan hasil yang maksimal dalam mengatasi perilaku merokok pada remaja. Orang tua seharusnya mengawasi lingkungan bermain anak dan bagaimana teman-teman sebayanya. Karena, saat remaja bergantung pada kelompok teman sebayanya, remaja butuh untuk diterima dan diakui oleh kelompoknya. Apabila berteman dengan kelompok orang yang merokok, maka dengan mudah anak akan merokok juga.
Ditambah perlu adanya keteladanan terutama dari para orangtua dan guru. Karena remaja mempunyai karakteristik ingin mencoba apa yang dilakukan oleh orang dewasa, seolah-olah ingin membuktikan apa yang dilakukan orang dewasa dapat pula dilakukan oleh remaja.
Selain itu penyuluhan tentang bahaya merokok sebaiknya tidak hanya fokus ke jangka panjang saja seperti dapat menyebabkan penyakit serius, tetapi juga harus fokus ke jangka pendek seperti merokok sama dengan membakar uang, calon pacar tidak suka bau dan mengapa mau dibodohi iklan. Ditambah lagi, siswa harus selalu mengingat slogan “matikan rokokmu sebelum rokok mematikanmu”.














BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Perilaku merokok adalah suatu kegiatan atau aktivitas membakar rokok dan kemudian menghisapnya dan menghembuskannya keluar dan dapat menimbulkan asap yang dapat terhisap oleh orang-orang disekitarnya. Perilaku merokok banyak menghinggapi para remaja karena remaja memiliki rasa penasaran atau rasa ingin mencoba-coba yang cenderung tinggi, termasuk ingin mencoba merasakan rokok.
Faktor penyebab timbulnya merokok yaitu faktor individu dan faktor lingkungan. Faktor individu meliputi: faktor biologis, faktor psikologis dan faktor faktor demografis. Sedangkan faktor lingkungan meliputi : faktor lingkungan sosial, faktor sosial-kultural dan faktor sosial politik.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan di SMK Insan Cendekia diketahui bahwa dari 40 siswa terdapat 21 siswa atau 52,5% yang pernah merokok, dan 19 orang atau 47,5% yang belum pernah merokok. Hasil itu menunjukkan adanya perilaku merokok masih relative besar meskipun di SMK Insan Cendekia perbedaannya tidak terlalu jauh.
Untuk menanggulangi perilaku merokok diperlukan tindakan dan pengarahan yang dilakukan oleh sekolah, khususnya guru BK dan guru agama. Tindakan penyuluhan tentang bahaya merokok yang dilakukan sekolah dengan dinas kesehatan merupakan upaya awal dalam menanggulangi perilaku merokok. Tindakan penyuluhan seharusnya melingkupi dampak jangka panjang dan dampak jangka pendek. Bagi siswa yang merokok perlu diberi peringatan. Apabila belum jera, perlu diberikan tindakan hukuman seperti membersihkan wc atau lingkungan sekolah. Selain itu, sekolah juga harus bekerja sama dengan orangtua siswa dalam melakukan pengawasan terhadap siswa sehingga pengawasan menjadi lebih efektif dan siswa tidak salah mengambil tindakan dalam pergaulannya. Hal yang penting juga bahwa orangtua dan guru harus memberikan teladan kepada siswa untuk meninggalkan perilaku merokok karena merokok dapat merugikan diri sendiri dan orang lain.


B. DAFTAR PUSTAKA

Dharmayati. 2011. Jumlah Perokok Remaja Meningkat. Online: www.yudiblablabla-pergaulanremaja.blogspot.com. (diakses pada tanggal 8 Desember 2011 pukul 08.58 WIB).
Hakim, M. Arif. Bahaya Narkoba Alkohol Cara Islam Mencegah, Mengatasi, dan Melawan. Bandung: Nuansa.
Mahanani, Fauzan A. 2011. Hubungan Antara Sikap Terhadap Merokok Dengan Kebiasaan Merokok Pada Remaja. Online: www.fauzan.smkdarunnajah.sch.id. (diakses pada tanggal 8 Desember 2011 pukul 08.58 WIB).
Nasution, Indri Kemala. 2007. Perilaku Merokok pada Remaja, Medan: USU Repository.
Wicaksono, Adi. 2011. Jumlah Perokok di Indonesia Terbanyak Kelima di Dunia. Online: www.news.okezone.com. (diakses pada tanggal 8 Desember 2011 pukul 08.58 WIB).
Ali, Mohammad dan Mohammad Asrori. 2006. Psikologi Remaja perkembangan peserta didik. Jakarta:Bumi Aksara.

Makalah Pribumisasi Islam di Indonesia

PRIBUMISASI ISLAM
ABDURRAHMAN WAHID (GUS DUR)
Makalah Ini Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah PMDI, Dosen Pengampu Malik Utsman M, Ag










Oleh:
1. Afdol Abdul Hanaf (1041005 )
2. Dedi Nur Hidayat (10410061)
3. Anji Fathunaja (10410075)
4. Elok Faikoh (1041007 )

FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGRI SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
2012
BAB I
PENDAHULUAN
Di tengah-tengah situasi reformasi yang menghendaki dilakukannya penataan ulang terhadap berbagai masalah: ekonomi, politik, social, dan budaya, sangat dibutuhkan adnya pemikiran-pemikiran kreatif, inovatif, dan solutif. KH. Abdurrahman Wahid atau yang biasa dipanggil Gus Dur termasuk tokoh yang banyak memiliki gagasan kreatif, inovatif, dan solutif tersebut. Pemikirannya yang terkadang keluar dari tradisi Ahl Sunnah Wal Jama’ah menyebabkan Ia menjadi tokoh kontroversial. Perannya menjadi Presiden RI yang keempat menyebabkan Ia memiliki kesempatan dan peluang untuk memperjuangkan tercapainya gagasan-gagasan itu. Sebagai seorang ilmuan yang genius dan cerdas, Ia juga melihat bahwa untuk memberdayakan umat Islam, harus dilakukan dengan cara memperbaharui pesantren. Atas dasar ini, Ia dapat dimasukkan ke dalam tokoh pembaharu Islam.
















BAB II
“PRIBUMISASI ISLAM”
Gus Dur mengusulkan suatu gagasan yang bernama “Pribumisasi Islam” atau kontekstualisasi Islam. Dengan cara ini, Ia ingin menggabungkan nilai-nilai dan keyakinan Islam dengan Kultur setempat. “sumber Islam adalah wahyu yang mempunyai norma-norma sendiri, karena sifatnya yang permanent. Di sisi lain, budaya merupakan ciptaan manusia dan oleh karena itu berkembang sesuai dengan perubahan social, tetapi hal ini tidak menghalangi manifestasi kehidupan kehidupan beragama dalam bentuk budaya.
Menurut Gus Dur, Pribumisasi Islam adalah suatu pemahaman Islam yang mempertimbangkan kebutuhan-kebutuhan local di dalam merumuskan hokum-hukum Negara, tetapi agar norma-norma itu menampung kebutuhan-kebutuhan dari budaya dengan mempergunakan peluangyang disediakan oleh variasiushul fiqh dan qowaid al-fiqh.
Dalam proses ini Gus Dur pembauran Islam dengan budaya tidak boleh terjadi, sebab berbaur berarti hilangnya sifat-sifat asli. Islam harus tetpa pada sifat keIslamannnya. Al-qur’an harus tetap dalam bahasa arab, terutama dalam sholat, sebab hal ini merupakan norma. Sedangkan terjemahan Al-qur’an hanyalah untuk mempermudah pamahaman bukan menggantikan Al-qur’an itu sendiri.
Jika dilihat dari segi cultural, Gus Dur melintasi 3 cultural, yaitu:
1. Kultural dunia pesantren yang sangat hirarkis, penuh dengan etika yang serba formal.
2. Budaya timur tengah yang terbuka dank eras.
3. Lapisan budaya barat yang liberal, rasional, dan sekuler.
Pola pemikiran Abdurahman Wahid, yaitu:
1. Keyakinan bahwa Islam harus secara aktif dan substantive ditafsirkan ulang agar tanggap terhadap tuntunan kehidupan modern.
2. Dalam konteks Indonesia, Islam tidak boleh menjadi Agama Negara.
3. Islam harus menjadi kekuatan yang Inklusif, demokratis dan pluralis , bukan ideology Negara yang inklusif.
Legalisme islam merupakan produk masa lalu, suatu realitas sejarah yang dibolehkan yang kemudian menjadi agenda reformasi Islam kontemporer.. Islam historis menyibukkangerakan atau tradisi dari dinamisme ke formalism legal.. karena Islam menjadi dilembagakan terutama melaalui hokum. Gus Dur yakin bahwa Islam bermula dari suatu reformasi dinamis yang menggunakan status manusia sebagai Khalifah Allah di muka bumi yang bertanggung jawab untuk menyaksikan, menyebarkan, dan menerapkan cara hidup yang dibenarkan Tuhan.
Gus Dur berpendapat, Perlunya agama diterjemahkan kedalam budaya setempat, sesuai dengan tradisi dan lingkungan NU yang dekat dengan budaya setempat. Pandangan Gus Dur menekankan korelasi antara pemahaman agama dan realitas social budaya. Dengan kata ain, dalam pengembangan pemahaman Agama, Aspek kontekstual harus ikut dipertimbangkan. Pandangan ini sejalan dengan sikap para kiai tradisionaldi Jawa, yang selalu dihadapkan pada kenyataan bahwainteraksi antara agama dan budaya setempat tidak dapat dielakkan. Walaupun demikian, Gus Dur mengingatkan bahwa penerjemahan agama ke dalam budaya setempat harus dikontrol supaya ciri khas Islam tidak hilang, hal itu berarti “Jawanisasi Islam” ataupun “Islamisasi Jawa”





Pemikiran Gus Dur
1. Pluralisme dan Demokrasi
`Pandangannya tentang ini sudah terlihat ketika ia menjabat sebagai ketua PBNU sekitar era 1980an. Ketika itu menguatnya pola pemerintah dalam menerapkan kebijakan yang sektariat banyak pemikiran dan perjuangannya dalam mengawalai pluralism dan demokrasi di tanah air.








BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Dilihat dari corak gagasan dan pemikirannya, tampak bahwa Gus Dur dapat dikategorikan sebagai pemikir multi warna. Karena dalam pemikirannyaterdapat gagasan-gagasan yang unik yang dibangun atas dasar pandangan keagamaan, kemodernnan dan kerasionalannya yang membawanya menjadi orang yang mempunyai pemikiran tradisional, rasional, liberal, dan sekaligus kultural dan aktual.




















DAFTAR PUSTAKA
Bisri Mustofa, Beyond The Simbol, Bandung : PT. Remaja Rosdakarya, 2000, cet.1
Jhon Esposito. L-Jhon Vall, O, Tokoh Kunci Gerakan Islam Kontemporer, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2002 cet.1





A. Kritik terhadap Pemikiran Gus Dur
Jika dilihat dari segi pemikiran seorang Gus Dur, maka akan kita lihat berbagai kritik yang dilontarkan oleh para pemikir lain. Berikut ini adalah sekilas kritik pemikiran yang disampaikan oleh para pemikir lainnya. Menurut Hajriyanto Y. Thohari-ketua umum PP Muhammadiyah 1994-1997, Gus Dur dianggap terlalu lentur, luwes, selentur karet dalam memberikan justifikasi dan legitimasi dalam penentuan sikapnya. Seolah-olah segalanya dapat dicarikan pembenaran ketika menggunakan kaidah fiqh yang menyertai sikapnya. Misalnya dalam menggunakan kaidah fiqh :
1. al-hukmu yaduru ma’a illati wujudan wa ‘adaman (ada atau tidaknya hukum itu tergantung sebab yang menjadi alasan),
2. dar’ul mafashid muqaddamu ala jalbi al-mashalih (menutup kemudharatan lebih di dahulukan daripada mendatangkan kemashlahatan),
3. ma la yudraku kulluhu, la yudraku kulluhu (apa yang tidak dapat dicapai seluruhnya janganlah ditinggalkan seluruhnya).
Hasilnya dia bisa menari-nari lincah dari satu panggung ke panggung lainnya , tanpa sebuah identitas yang jelas. Sependapat dengan Thohari, Amirsyah-anggota Lembaga Kajian Agama dan Masyarakat PP Pemuda Muhammadiyah 1998-2002, menyatakan bahwa Gus Dur adalah pribadi yang enigma, yaitu pribadi yang dikenal dengan cermin banyak gambar dan bias intrepretasi



Biografi

Abdurrahman Wahid lahir pada hari ke-4 dan bulan ke-8 kalender Islam atau 4 Sya'ban (7 September 1940) di Denanyar Jombang, Jawa Timur dari pasangan Wahid Hasyim dan Solichah. Ia lahir dengan nama Abdurrahman Addakhil. "Addakhil" berarti Sang Penakluk. Kata "Addakhil" tidak cukup dikenal dan diganti nama "Wahid", dan kemudian lebih dikenal dengan panggilan Gus Dur.
Gus Dur adalah putra pertama dari enam bersaudara. Gus Dur lahir dalam keluarga yang sangat terhormat dalam komunitas Muslim Jawa Timur. K.H. Hasyim Asyari yang merupakan kakek dari ayahnya adalah pendiri Nahdlatul Ulama (NU), sementara K.H. Bisri Syansuri, kakek dari pihak ibu adalah pengajar pesantren pertama yang mengajarkan kelas pada perempuan. K.H. Wahid Hasyim yang merupakan ayah Gus Dur pernah menjadi Menteri Agama tahun 1949. Ny. Hj. Solichah (ibunya) adalah putri pendiri Pondok Pesantren Denanyar Jombang. Saudaranya adalah Salahuddin Wahid dan Lily Wahid. Ia menikah dengan Sinta Nuriyah dan dikaruniai empat putri yaitu Alisa, Yenny, Anita, dan Inayah.
Pada tahun 1944 Gus Dur pindah Jakarta, tempat ayahnya terpilih menjadi Ketua pertama Partai Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi). Setelah deklarasi kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus 1945, Gus Dur kembali ke Jombang dan tetap berada di sana selama perang kemerdekaan Indonesia melawan Belanda. Pada akhir perang tahun 1949, Gus Dur pindah ke Jakarta dan ayahnya ditunjuk sebagai Menteri Agama. Gus Dur belajar di Jakarta, masuk ke SD KRIS sebelum pindah ke SD Matraman Perwari. Gus Dur terus tinggal di Jakarta dengan keluarganya meskipun ayahnya sudah tidak menjadi menteri agama pada tahun 1952. Pada April 1953, ayah Gus Dur meninggal dunia akibat kecelakaan mobil.
Pendidikan Gus Dur berlanjut dan pada tahun 1954, ia masuk ke Sekolah Menengah Pertama. Pada tahun itu, ia tidak naik kelas. Ibunya lalu mengirim Gus Dur ke Yogyakarta untuk meneruskan pendidikannya dengan mengaji kepada KH. Ali Maksum di Pondok Pesantren Krapyak dan belajar di SMP. Setelah lulus dari SMP pada tahun 1957, Gus Dur pindah ke Magelang untuk memulai Pendidikan Muslim di Pesantren Tegalrejo. Ia mengembangkan reputasi sebagai murid berbakat, menyelesaikan pendidikan pesantren dalam waktu dua tahun (seharusnya empat tahun). Pada tahun 1959, Gus Dur pindah ke Pesantren Tambakberas di Jombang. Selain melanjutkan pendidikannya sendiri, Gus Dur juga menerima pekerjaan pertamanya sebagai guru dan nantinya sebagai kepala sekolah madrasah.
Pada tahun 1963, Gus Dur menerima beasiswa dari Kementrian Agama untuk belajar di Universitas Al Azhar di Kairo, Mesir. Ia pergi ke Mesir pada November 1963. Meskipun ia mahir berbahasa Arab, Gus Dur diberitahu oleh pihak universitas bahwa ia harus mengambil kelas remedial sebelum belajar Islam dan bahasa Arab. Karena tidak mampu memberikan bukti bahwa ia memiliki kemampuan bahasa Arab, Gus Dur terpaksa mengambil kelas remedial.
Di Mesir, Gus Dur dipekerjakan di Kedutaan Besar Indonesia. Pada saat ia bekerja, peristiwa Gerakan 30 September (G30S) terjadi. Mayor Jenderal Soeharto menangani situasi di Jakarta dan upaya pemberantasan komunis dilakukan. Sebagai bagian dari upaya tersebut, Kedutaan Besar Indonesia di Mesir diperintahkan untuk melakukan investigasi terhadap pelajar universitas dan memberikan laporan kedudukan politik mereka. Perintah ini diberikan pada Gus Dur, yang ditugaskan menulis laporan.
Gus Dur mengalami kegagalan di Mesir. Ia tidak setuju akan metode pendidikan serta pekerjaannya setelah G30S sangat mengganggu dirinya. Pada tahun 1966, ia diberitahu bahwa ia harus mengulang belajar. Pendidikan prasarjana Gus Dur diselamatkan melalui beasiswa di Universitas Baghdad. Gus Dur pindah ke Irak dan menikmati lingkungan barunya. Meskipun ia lalai pada awalnya, Gus Dur dengan cepat belajar. Gus Dur juga meneruskan keterlibatannya dalam Asosiasi Pelajar Indonesia dan juga menulis majalah asosiasi tersebut.
Setelah menyelesaikan pendidikannya di Universitas Baghdad tahun 1970, Gus Dur pergi ke Belanda untuk meneruskan pendidikannya. Gus Dur ingin belajar di Universitas Leiden, karena kecewa pendidikannya di Universitas Baghdad kurang diakui. Dari Belanda, Gus Dur pergi ke Jerman dan Perancis sebelum kembali ke Indonesia tahun 1971.
Meskipun memiliki karier yang sukses pada saat itu, Gus Dur masih merasa sulit hidup hanya dari satu sumber pencaharian dan ia bekerja untuk mendapatkan pendapatan tambahan dengan menjual kacang dan mengantarkan es. Pada tahun 1974 Gus Dur mendapat pekerjaan tambahan di Jombang sebagai guru di Pesantren Tambakberas dan segera mengembangkan reputasi baik. Satu tahun kemudian Wahid menambah pekerjaannya dengan menjadi Guru Kitab Al Hikam. Pada tahun 1977, Gus Dur bergabung ke Universitas Hasyim Asyari sebagai dekan Fakultas Praktek dan Kepercayaan Islam dan Universitas ingin agar Gus Dur mengajar subyek tambahan seperti Syariat Islam dan misiologi.