Thursday 8 March 2012

Makalah Pribumisasi Islam di Indonesia

PRIBUMISASI ISLAM
ABDURRAHMAN WAHID (GUS DUR)
Makalah Ini Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah PMDI, Dosen Pengampu Malik Utsman M, Ag










Oleh:
1. Afdol Abdul Hanaf (1041005 )
2. Dedi Nur Hidayat (10410061)
3. Anji Fathunaja (10410075)
4. Elok Faikoh (1041007 )

FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGRI SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
2012
BAB I
PENDAHULUAN
Di tengah-tengah situasi reformasi yang menghendaki dilakukannya penataan ulang terhadap berbagai masalah: ekonomi, politik, social, dan budaya, sangat dibutuhkan adnya pemikiran-pemikiran kreatif, inovatif, dan solutif. KH. Abdurrahman Wahid atau yang biasa dipanggil Gus Dur termasuk tokoh yang banyak memiliki gagasan kreatif, inovatif, dan solutif tersebut. Pemikirannya yang terkadang keluar dari tradisi Ahl Sunnah Wal Jama’ah menyebabkan Ia menjadi tokoh kontroversial. Perannya menjadi Presiden RI yang keempat menyebabkan Ia memiliki kesempatan dan peluang untuk memperjuangkan tercapainya gagasan-gagasan itu. Sebagai seorang ilmuan yang genius dan cerdas, Ia juga melihat bahwa untuk memberdayakan umat Islam, harus dilakukan dengan cara memperbaharui pesantren. Atas dasar ini, Ia dapat dimasukkan ke dalam tokoh pembaharu Islam.
















BAB II
“PRIBUMISASI ISLAM”
Gus Dur mengusulkan suatu gagasan yang bernama “Pribumisasi Islam” atau kontekstualisasi Islam. Dengan cara ini, Ia ingin menggabungkan nilai-nilai dan keyakinan Islam dengan Kultur setempat. “sumber Islam adalah wahyu yang mempunyai norma-norma sendiri, karena sifatnya yang permanent. Di sisi lain, budaya merupakan ciptaan manusia dan oleh karena itu berkembang sesuai dengan perubahan social, tetapi hal ini tidak menghalangi manifestasi kehidupan kehidupan beragama dalam bentuk budaya.
Menurut Gus Dur, Pribumisasi Islam adalah suatu pemahaman Islam yang mempertimbangkan kebutuhan-kebutuhan local di dalam merumuskan hokum-hukum Negara, tetapi agar norma-norma itu menampung kebutuhan-kebutuhan dari budaya dengan mempergunakan peluangyang disediakan oleh variasiushul fiqh dan qowaid al-fiqh.
Dalam proses ini Gus Dur pembauran Islam dengan budaya tidak boleh terjadi, sebab berbaur berarti hilangnya sifat-sifat asli. Islam harus tetpa pada sifat keIslamannnya. Al-qur’an harus tetap dalam bahasa arab, terutama dalam sholat, sebab hal ini merupakan norma. Sedangkan terjemahan Al-qur’an hanyalah untuk mempermudah pamahaman bukan menggantikan Al-qur’an itu sendiri.
Jika dilihat dari segi cultural, Gus Dur melintasi 3 cultural, yaitu:
1. Kultural dunia pesantren yang sangat hirarkis, penuh dengan etika yang serba formal.
2. Budaya timur tengah yang terbuka dank eras.
3. Lapisan budaya barat yang liberal, rasional, dan sekuler.
Pola pemikiran Abdurahman Wahid, yaitu:
1. Keyakinan bahwa Islam harus secara aktif dan substantive ditafsirkan ulang agar tanggap terhadap tuntunan kehidupan modern.
2. Dalam konteks Indonesia, Islam tidak boleh menjadi Agama Negara.
3. Islam harus menjadi kekuatan yang Inklusif, demokratis dan pluralis , bukan ideology Negara yang inklusif.
Legalisme islam merupakan produk masa lalu, suatu realitas sejarah yang dibolehkan yang kemudian menjadi agenda reformasi Islam kontemporer.. Islam historis menyibukkangerakan atau tradisi dari dinamisme ke formalism legal.. karena Islam menjadi dilembagakan terutama melaalui hokum. Gus Dur yakin bahwa Islam bermula dari suatu reformasi dinamis yang menggunakan status manusia sebagai Khalifah Allah di muka bumi yang bertanggung jawab untuk menyaksikan, menyebarkan, dan menerapkan cara hidup yang dibenarkan Tuhan.
Gus Dur berpendapat, Perlunya agama diterjemahkan kedalam budaya setempat, sesuai dengan tradisi dan lingkungan NU yang dekat dengan budaya setempat. Pandangan Gus Dur menekankan korelasi antara pemahaman agama dan realitas social budaya. Dengan kata ain, dalam pengembangan pemahaman Agama, Aspek kontekstual harus ikut dipertimbangkan. Pandangan ini sejalan dengan sikap para kiai tradisionaldi Jawa, yang selalu dihadapkan pada kenyataan bahwainteraksi antara agama dan budaya setempat tidak dapat dielakkan. Walaupun demikian, Gus Dur mengingatkan bahwa penerjemahan agama ke dalam budaya setempat harus dikontrol supaya ciri khas Islam tidak hilang, hal itu berarti “Jawanisasi Islam” ataupun “Islamisasi Jawa”





Pemikiran Gus Dur
1. Pluralisme dan Demokrasi
`Pandangannya tentang ini sudah terlihat ketika ia menjabat sebagai ketua PBNU sekitar era 1980an. Ketika itu menguatnya pola pemerintah dalam menerapkan kebijakan yang sektariat banyak pemikiran dan perjuangannya dalam mengawalai pluralism dan demokrasi di tanah air.








BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Dilihat dari corak gagasan dan pemikirannya, tampak bahwa Gus Dur dapat dikategorikan sebagai pemikir multi warna. Karena dalam pemikirannyaterdapat gagasan-gagasan yang unik yang dibangun atas dasar pandangan keagamaan, kemodernnan dan kerasionalannya yang membawanya menjadi orang yang mempunyai pemikiran tradisional, rasional, liberal, dan sekaligus kultural dan aktual.




















DAFTAR PUSTAKA
Bisri Mustofa, Beyond The Simbol, Bandung : PT. Remaja Rosdakarya, 2000, cet.1
Jhon Esposito. L-Jhon Vall, O, Tokoh Kunci Gerakan Islam Kontemporer, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2002 cet.1





A. Kritik terhadap Pemikiran Gus Dur
Jika dilihat dari segi pemikiran seorang Gus Dur, maka akan kita lihat berbagai kritik yang dilontarkan oleh para pemikir lain. Berikut ini adalah sekilas kritik pemikiran yang disampaikan oleh para pemikir lainnya. Menurut Hajriyanto Y. Thohari-ketua umum PP Muhammadiyah 1994-1997, Gus Dur dianggap terlalu lentur, luwes, selentur karet dalam memberikan justifikasi dan legitimasi dalam penentuan sikapnya. Seolah-olah segalanya dapat dicarikan pembenaran ketika menggunakan kaidah fiqh yang menyertai sikapnya. Misalnya dalam menggunakan kaidah fiqh :
1. al-hukmu yaduru ma’a illati wujudan wa ‘adaman (ada atau tidaknya hukum itu tergantung sebab yang menjadi alasan),
2. dar’ul mafashid muqaddamu ala jalbi al-mashalih (menutup kemudharatan lebih di dahulukan daripada mendatangkan kemashlahatan),
3. ma la yudraku kulluhu, la yudraku kulluhu (apa yang tidak dapat dicapai seluruhnya janganlah ditinggalkan seluruhnya).
Hasilnya dia bisa menari-nari lincah dari satu panggung ke panggung lainnya , tanpa sebuah identitas yang jelas. Sependapat dengan Thohari, Amirsyah-anggota Lembaga Kajian Agama dan Masyarakat PP Pemuda Muhammadiyah 1998-2002, menyatakan bahwa Gus Dur adalah pribadi yang enigma, yaitu pribadi yang dikenal dengan cermin banyak gambar dan bias intrepretasi



Biografi

Abdurrahman Wahid lahir pada hari ke-4 dan bulan ke-8 kalender Islam atau 4 Sya'ban (7 September 1940) di Denanyar Jombang, Jawa Timur dari pasangan Wahid Hasyim dan Solichah. Ia lahir dengan nama Abdurrahman Addakhil. "Addakhil" berarti Sang Penakluk. Kata "Addakhil" tidak cukup dikenal dan diganti nama "Wahid", dan kemudian lebih dikenal dengan panggilan Gus Dur.
Gus Dur adalah putra pertama dari enam bersaudara. Gus Dur lahir dalam keluarga yang sangat terhormat dalam komunitas Muslim Jawa Timur. K.H. Hasyim Asyari yang merupakan kakek dari ayahnya adalah pendiri Nahdlatul Ulama (NU), sementara K.H. Bisri Syansuri, kakek dari pihak ibu adalah pengajar pesantren pertama yang mengajarkan kelas pada perempuan. K.H. Wahid Hasyim yang merupakan ayah Gus Dur pernah menjadi Menteri Agama tahun 1949. Ny. Hj. Solichah (ibunya) adalah putri pendiri Pondok Pesantren Denanyar Jombang. Saudaranya adalah Salahuddin Wahid dan Lily Wahid. Ia menikah dengan Sinta Nuriyah dan dikaruniai empat putri yaitu Alisa, Yenny, Anita, dan Inayah.
Pada tahun 1944 Gus Dur pindah Jakarta, tempat ayahnya terpilih menjadi Ketua pertama Partai Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi). Setelah deklarasi kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus 1945, Gus Dur kembali ke Jombang dan tetap berada di sana selama perang kemerdekaan Indonesia melawan Belanda. Pada akhir perang tahun 1949, Gus Dur pindah ke Jakarta dan ayahnya ditunjuk sebagai Menteri Agama. Gus Dur belajar di Jakarta, masuk ke SD KRIS sebelum pindah ke SD Matraman Perwari. Gus Dur terus tinggal di Jakarta dengan keluarganya meskipun ayahnya sudah tidak menjadi menteri agama pada tahun 1952. Pada April 1953, ayah Gus Dur meninggal dunia akibat kecelakaan mobil.
Pendidikan Gus Dur berlanjut dan pada tahun 1954, ia masuk ke Sekolah Menengah Pertama. Pada tahun itu, ia tidak naik kelas. Ibunya lalu mengirim Gus Dur ke Yogyakarta untuk meneruskan pendidikannya dengan mengaji kepada KH. Ali Maksum di Pondok Pesantren Krapyak dan belajar di SMP. Setelah lulus dari SMP pada tahun 1957, Gus Dur pindah ke Magelang untuk memulai Pendidikan Muslim di Pesantren Tegalrejo. Ia mengembangkan reputasi sebagai murid berbakat, menyelesaikan pendidikan pesantren dalam waktu dua tahun (seharusnya empat tahun). Pada tahun 1959, Gus Dur pindah ke Pesantren Tambakberas di Jombang. Selain melanjutkan pendidikannya sendiri, Gus Dur juga menerima pekerjaan pertamanya sebagai guru dan nantinya sebagai kepala sekolah madrasah.
Pada tahun 1963, Gus Dur menerima beasiswa dari Kementrian Agama untuk belajar di Universitas Al Azhar di Kairo, Mesir. Ia pergi ke Mesir pada November 1963. Meskipun ia mahir berbahasa Arab, Gus Dur diberitahu oleh pihak universitas bahwa ia harus mengambil kelas remedial sebelum belajar Islam dan bahasa Arab. Karena tidak mampu memberikan bukti bahwa ia memiliki kemampuan bahasa Arab, Gus Dur terpaksa mengambil kelas remedial.
Di Mesir, Gus Dur dipekerjakan di Kedutaan Besar Indonesia. Pada saat ia bekerja, peristiwa Gerakan 30 September (G30S) terjadi. Mayor Jenderal Soeharto menangani situasi di Jakarta dan upaya pemberantasan komunis dilakukan. Sebagai bagian dari upaya tersebut, Kedutaan Besar Indonesia di Mesir diperintahkan untuk melakukan investigasi terhadap pelajar universitas dan memberikan laporan kedudukan politik mereka. Perintah ini diberikan pada Gus Dur, yang ditugaskan menulis laporan.
Gus Dur mengalami kegagalan di Mesir. Ia tidak setuju akan metode pendidikan serta pekerjaannya setelah G30S sangat mengganggu dirinya. Pada tahun 1966, ia diberitahu bahwa ia harus mengulang belajar. Pendidikan prasarjana Gus Dur diselamatkan melalui beasiswa di Universitas Baghdad. Gus Dur pindah ke Irak dan menikmati lingkungan barunya. Meskipun ia lalai pada awalnya, Gus Dur dengan cepat belajar. Gus Dur juga meneruskan keterlibatannya dalam Asosiasi Pelajar Indonesia dan juga menulis majalah asosiasi tersebut.
Setelah menyelesaikan pendidikannya di Universitas Baghdad tahun 1970, Gus Dur pergi ke Belanda untuk meneruskan pendidikannya. Gus Dur ingin belajar di Universitas Leiden, karena kecewa pendidikannya di Universitas Baghdad kurang diakui. Dari Belanda, Gus Dur pergi ke Jerman dan Perancis sebelum kembali ke Indonesia tahun 1971.
Meskipun memiliki karier yang sukses pada saat itu, Gus Dur masih merasa sulit hidup hanya dari satu sumber pencaharian dan ia bekerja untuk mendapatkan pendapatan tambahan dengan menjual kacang dan mengantarkan es. Pada tahun 1974 Gus Dur mendapat pekerjaan tambahan di Jombang sebagai guru di Pesantren Tambakberas dan segera mengembangkan reputasi baik. Satu tahun kemudian Wahid menambah pekerjaannya dengan menjadi Guru Kitab Al Hikam. Pada tahun 1977, Gus Dur bergabung ke Universitas Hasyim Asyari sebagai dekan Fakultas Praktek dan Kepercayaan Islam dan Universitas ingin agar Gus Dur mengajar subyek tambahan seperti Syariat Islam dan misiologi.

2 comments: