Saturday, 21 December 2013

KAPITALISME PENDIDIKAN

PENDAHULUAN 
Manusia yang dihasilkan oleh ideologi kapitalisme adalah manusia yang dalam pikiran dan perhatian selalu dikerubungi oleh pencarian strategi untuk menghasilkan keuntungan diri sendiri yang sebesar-besarnya. Motto yang dikembangkan adalah pengeluaran atau modal (kapital) yang sangat sedikit, tapi harus mendapatkan keuntungan dan pendapatan yang luar biasa besarnya. Meskipun dengan cara-cara yang sangat tidak manusiawi. Misalnya meberi upah yang sangat rendah, membeli dengan harga yang sangat rendah, namun nilai kerja dari para pekerjanya dan nilai jual dari komoditas tersebut menghasilkan keuntungan yang sangat besar. Keluarbiasaan besarnya keuntungan tidak pernah dijadikan sebagai tolok ukur bagi kesejahteraan pekerja atau para petani yang denga lugunya terus memenuhi keinginan para pemilik modal. Manusia yang kaya, efisien, egois, ahli negosiasi, jaringan kuat, dan akses luas adalah karakteristik yang berideologi kapitalisme ini. Hukum yang berlaku adalah “hukum rimba” dalam arti yang berkuasa dan survive adalah orang yang memiliki kekuatan dan kekayaan yang sangat besar. Segala sesuatu dapat dibeli dengan dan dilicinkan dengan kekayaan atau uang.[1]

A.    Hakikat Pendidikan dan Pengertian Kapitalisme
Pendidikan merupakan upaya memanusiakan manusia. Manusia akan menjadi manusia seutuhnya hanya jika ia dididik dengan sebenar-benarnya, yaitu dengan pendidikan yang sebenarnya. Kemudian akan muncul pertanyaan, seperti apakah pendidikan yang sebenarnya itu? Untuk mengetahui wujud pendidikan yang sebenarnya, perlu dikembalikan pada hakikat dari pendidikan itu sendiri.
Pendidikan merupakan proses yang dilakukan oleh suatu masyarakat dalam upaya menyiapkan generasi penerusnya yang mampu bersosialisasi dan beradaptasi terhadap budaya yang mereka anut, yang mana hal tersebut sudah merupakan suatu tradisi umat manusia sejak adanya manusia itu sendiri. Dengan kata lain, pendidikan sesungguhnya dapat dikatakan merupakan salah satu bentuk strategi budaya tertua bagi manusia untuk mempertahankan keberlangsungan eksistensi mereka.[2]
Secara bahasa kata kapitalisme berasal dari capital yang berarti modal, dengan yang dimaksud modal adalah alat produksi seperti misal tanah, dan uang. Dan kata isme berarti suatu paham atau ajaran. Jadi arti kapitalisme itu sendiri adalah suatu ajaran atau paham tentang modal atau segala sesuatu dihargai dan diukur dengan uang.
Dalam sejarahnya, seperti yang diungkap oleh Dudley Dillard, kapitalisme adlah istilah yang dipakai untuk menamai system ekonomi yang mendominasi dunia barat sejak runtuhnya feodalisme. Sebagai dasar bagi setiap system, yang disebut “kapitalis” ialah hubungan-hubungan di antara pemilik pribadi atas alat-alat produksi yang bersifat nonpribadi (tanah, tambang, instalasi industry, dan sebagainya yang secara keseluruhan disebut modal atau kapital) dengan para pekerja yang iarpun bebas namun tak punya modal, yang menjual jasa tenaga kerjanya kepada majikan. Di bawah kapitalisme, keputusan yang menyangkut produksi dibuat oleh kaum bisnis swasta dan diarahkan demi keuntungan pribadi. Para pekerja itu bebas dalam arti bahwa secara hukum mereka tidak dipaksa untuk bekerja kepada para pemilik alat produksi itu. Namun demikian, karena para pekerja itu tidak memiliki alat produksi yang diperlukan untuk bekerja sendiri, mereka dipaksa oleh kenisccayaan ekonomis untuk menawarkan jasa, dengan syarat tertentu kepada para majikan yang mengendalikan alat produksi. Hasil tawar-menawar yang menyangkut upah akan menentukan proporsi di mana produksi total masyarakat akan di bagi antara kelas pekerja dengan kelas wiraswasta kapitalis.[3]
Ideologi kapitalisme adalah ideologi pendidikan yang didasarkan pada nilai-nilai kapital dan permodalan. Nilai-nilai yang dikembangkan oleh ideologi ini adalah nilai persaingan tanpa batas, atau yang sering disebut dengan hukum rimba. Kompetisi adalah hal pokok dalam kehidupan. Tanpa adanya kompetisi, kehidupan tidak akan pernah ada. Karana hidup pada dasarnya adalah sebuah persaingan, maka muncullah stigma bahwa dalam masyarakat yang beridiologi kapitalisme, pihak yang terkuat, baik secara ekonomi, intelektual, politik, maupun militer adalah yang survive dan berkuasa.[4] Individualisme dan personalisme adalah sebagian sikap yang melekat pada masyarakat kapitalis. Hak individu tidak dapat diganggu gugat walaupun oleh pemerintah yang sedang berkuasa sekalipun.

B.     Implementasi Kapitalisme dalam Pendidikan
Kapitalisme pendidikan di Indonesia bisa dilacak dari tindak tanduk dan tunduknya pemerintah pada WTO. Badan imperialisme ini bermula dari dirumuskannya general agreement of tariffs and trade (gatt),[5] atau kesepakatan umum tentang tarif-tarif dan perdagagan. Gatt ini didirikan atas dasar  perjanjian di Jenewa, Swiss pasca perang dunia berakhir, tepatnya pada oktober oktober 1947. Gatt lahir untuk membobol dinding-dinding yang menghalangi perdagangan antar negara baik berupa proteksi-proteksi maupun tarif bea cukai. Ini lantas dirumuskannya The Washington Consensus  atau konsensus Washington (1989-1990) yang salah satu butir dari 10 butir rumusannya berbunyi “public expenditure” yang intinya mengarahkan kembali pengeluaran masyarakat untuk bidang pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur, sehingga beban tanggung jawab pemerintah berkurang. Demi membentuk badan yang lebih perkarsa, gatt ini lantas berevolusi menjadi WTO pada 1 januari 1995. Sebelumnya indonesia sudah memberikan restu melalui UU no. 7 tahun 1994. UU yang ditanda tangani saat zaman pemerintahan soeharto merupakan persetujuan sekaligus pengesahan atas Agreement Establishing World Trade Organization (WTO) atau kesepakatan pendirian organisasi perdagangan dunia.
Indonesia pada tahun yang sama juga menerima program World Bank atau bank dunia yang merambah dunia pendidikan,  proyek itu bernama University Research For Graduate Education (URGE). Proyek ini diteruskan dengan proyek-proyek lain yaitu, Development Of Undergraduate Education (DUE), Quality Of Undergraduate Education (QUE). Proyek-proyek ini dilaksanakan bukan untuk tujuan amal atau derma sosial melainkan untuk meliberalisasi pendidikan. Proyek liberalisasi ini disusul dengan proyek yang disponsori unesco yaitu Higher Educations For Competitiveness Project (Hecp). Hecp ini dikemudian hari berevolusi menjadi Indonesia Managing Higher Education For Relevance And Efficiency (IMHERE).
Dari perjalanan masuknya kapitalisme ke dunia pendidikan  di indonesia ini, maka muncul praktek-praktek yang nyata mengenai kapitalisme yaitu dengan munculnya privatisasi pendidikan mulai merambah dunia pendidikan indonesia pada tahun 2003 dengan kemunculan undang undang no. 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional dan perubahan status empat perguruan tinggi negeri (PTN) menjadi Badan Hukum Milik Negara (BHMN). PTN yang berubah statusnya tersebut adalah UI, ITB, IPB, dan UGM. Wasana yang digulirkan berkenaan dengan perubahan status ptn tersebut adalah otonomi kampus. Padahal jika dirunut secara kronologis, otonomi kampus yang dimaksud hanya merupakan eufemisme dari privatisasi. Hal ini bisa dimengerti, kerena pemerintah tidak ingin terjadi gejolak dalam pelaksanaan privatisasi di kampus-kampus tersebut. Akibat yang ditimbulkan dari privatisasi ptn tersebut diantaranya adalah komodifikasi kampus dan kenaikan biaya operasional yang eksesnya langsung dirasakan oleh mahasiswa dan calon mahasiswa. Wacana privatisasi pendidikan ini makin menemukan momentumnya di indonesia, tatkala pemerintah mengajukan ruu badan hukum pendidikan. Sedangakan komoditasi merupakan proses transformasi yang menjadikan sesuatu menjadi komoditi atau barang untuk diperdagangkan demi mendapatkan keuntungan. Maka komoditi pendidikan jelaslah merupakan implikasi dari privatisasi pendidikan yang mana pendidikan difungsikan untuk mencari keuntungan sebanyak-banyaknya. Maka implikasinya pendidikan sebagai privatisas bercirikan:
1.      Tujuan pendidikan dimakanai proses pemebentukan manusia siap pakai untuk mengisi ruang-ruang usaha publik.
2.      Peserta didik dianggap sebgai konsumen pembeli produk pendidikan sebagai syarat  masuk memasuki dunia kerja.
3.      Fungsi pendidik atau guru dianggap sebagai pekerja.
4.      Pengelola pendidikan dianggap sebagai manajer bisnis pendidikan.
5.      Yayasan pendidikan, sekolah atau perguruan tinggi dianggap sebagai investor.
6.      SPP dianggap sebagai income dan sumber penghasilan.
7.      Kurikulum dianggap pesanan dari pemilik modal.[6]

C.    Dampak Kapitalisme dalam Pendidikan
Peter Mclaren, sebagaimana yang dikutip Barton (2001), mengemukakan tiga dampak kapitalisme terhadap pendidikan:[7]
1.      Hubungan antara kapitalisme dan pendidikan urban telah menyebabkan praktek-praktek sekolah yang lebih mendukung kontrol ekonomi oleh kelas-kelas elit.
2.      Hubungan antara kapitalisme dan ilmu pengetahuan telah mendorong berkembangnya ilmu pengetahuan yang hanya bertujuan mendapatkan profit material dibanding untuk menciptakan kehidupan global yang lebih baik.
3.      Perkawinan antara kapitalisme dan pendidikan dan kapitalisme dan ilmu pengetahuan telah menciptakan fondasi bagi ilmu pendidikan yang menekankan nilai-nalai korporasi dengan mengorbankan nilai-nilai keadilan sosial dan martabat kemanusiaan.

D.    Menuju Pendidikan yang Memanusiakan dan Memerdekakan
Bilamana tata pendidikan yang berkeadilan dapat tercipta? Jawabnya bila kita kita semua serius untuk mentransformasikan pendidikan ini menuju ke pendidikan yang memanusiakan dan memerdekakan manusia yang terlibat dalam pendidikan itu. Ada beberapa saran yang merupakan tindak lanjut dari hasil telaah penulis buku kapitaisme pendidikan antara kommpetisi dan keadilan, Francis Wahono dan sebagai hasil diskusi paper dengan bab viii buku darmaningtyas. 1999. Pendidikan pada dan setelah krisis. (Yogyakarta: pustaka pelajar dan lpist), hal. 151-193. Saran utama adalah menyangkut perubahan paradigma dan pendekatan pendidikan. Perubahan paradigma dan pendekatan, dari paradigma pendidikan “kompetitif” berpendekatan “sumber daya manusia” diganti dengan paradigma pendidikan “keadilan sosial “ berpendekatan “pemberdayaan manusia”. Yang mana hal itu tidak hanya merubah kebijakan pendidikan nasional, tetapi juga menuntut diadakannya penuisan kembali uu pendidikan nasional baru.pendidikan bukann sekedar system persekolahan tetapi juga pendidikan terbuka masyarakat luas, dalam hal ini pendidikan bangsa yang amat diperlukan, terlebih berhubungan dengan melanjutkan dan mengembangkan momen reformasi, yang dalam artian sesungguhnya adalah transformasi cara bernalar dan bertindak bangsa.
Saran kedua berasal dari telaah tentang beratnya tanggungan dan seriusnyna ketimpangan ekonomi sosial kependidikan Indonesia. Implikasi beratnya tanggungan dan seriusnya ketimpangan ekonomi sosila bangsa yang menimpa dan yang menantang penyelenggara, penyelenggaraan, rumah tangga pelaku dan peserta didik harus menjadi perhatian dan mempengaruhi kebijakan dan praktek kependidikan nasional, regional maupun tingkat desa dan kampong. Pendekatan bottom-up yang demokratis harus diterjemahkan dengan mendayakan dan mengisi sekolah-sekolah dasar khususnya yang di desa-desa atau pelosok kampung dengan sistem pembelajaran yang adil, terbuka dan menguatkan watak dan ketrampilan peserta didik. Selain itu juga didisi sebagian besar  dengan pembelajaran dan pelatihan yang bermanfaat untuk tidak hanya berprodulsi tetapi juga untuk hidup. Hidup ditandai dengan kesadaran akan eksistensi diri dan kontrol atas apa yang diucapkan dan dikerjakan sehingga menuju ke semakin membuat membuat manusia beradab.
Saran ketiga sebagai hasil diskusi paper dengan kesimpulan buku Darmaningtyas.[8] Saran yang ketiga ini berkaitan dengan hal yang menyatakan bahwa sekolah bukanlah tampat bisnis. Sinyalemen Darmaningtyas (1999:158-159) bahwa sekolah kita yang mempunyai jumah siswa dari TK sampai SMA per tahun rata-rata 37 juta adalah pasar besar untuk perusahaan-perusahaan swasta (penerbit buku pelajaran, alat-alat tulis, kain seragam, biro wisata dlsb) adalah benar adanya. Guru dan lembaga sekolah juga ikut berbisnis, dengan menjadi rekanan perusahaan, tetapi juga dengan membisniskan kursi pendidikan melalui dana sumbangn pembangunan lenngkap dengan  tawar-menawarnya serta dengan jual beli nilai oleh sementara oknum guru, melalui les maupun langsung di atas kertas garapan. Kalau kesejahteraan guru betul-betul ditingkatkan ke layak dan anggaran pendidikan pemerintah meningkat drastis, maka secara otomatis pembisnisan kependidikan dapat amat dikurangi dalam waktu singkat.
DAFTAR PUSTAKA
Dawam, Ainurrofiq. Emoh sekolah, menolak “komersialisasi pendidikan dan kanibalisme intelektual” menuju pendidikan multikultural. Inspeal ahimsakarya press. Yogyakarta, 2003.

Wahono, Francis. Kapitalisme Pendidikan antara kompetisi dan keadilan. Iinsist Press. Yogyakarta, 2001.

Rahardjo, Dawam, Kapitalisme dulu dan sekarang, Jakarta: lp3es, 1987.

op., cit, imam machali, editor, pendidikan islam dan tantangan globalisasi.

Nuryatno, Agus.  Madzhab pendidikan kritis, menyingkap relasi pengetahuan, politik, dan kekuasaan. Yogyakarta : Resist Book, 2008.





[1] Ainurrofiq Dawam, Emoh sekolah, menolak “komersialisasi pendidikan dan kanibalisme intelektual” menuju pendidikan multikultural. (Yogyakarta : Inspeal Ahimsakarya Press, 2003), Hlm. 119-120.
[2] Francis Wahono, Kapitalisme pendidikan antara kompetisi dan keadilan, (Yogyakarta : Insist Press, 2001) hlm. 3.
[3] Dawam rahardjo, editor, kapitalisme dulu dan sekarang, (jakarta: lp3es, 1987), hlm. 19.
[4] Ainurrofiq Dawam,  Emoh sekolah, .......... hlm. 118.
[5] Francis Wahono, Kapitalisme pendidikan .........  hlm. 22.
[6] op., cit, Imam Machali, editor, pendidikan islam dan tantangan globalisasi, Hlm. 124.
[7] Agus Nuryatno,  Madzhab pendidikan kritis, menyingkap relasi pengetahuan, politik, dan kekuasaan. (Yogyakarta : Resist Book, 2008), hlm. 57.
[8] Francis Wahono, Kapitalisme pendidikan, ......... Hlm. 106.

PEMIKIRAN PENDIDIKAN ISLAM MENURUT IKHWAN AL SAFA



A. Ikhwan Al Safa
Ikhwan Al Safa adalah sebuah perkumpulan para mujtahidin yang bergerak dalam lapangan ilmu pengetahuan. Sesuai dengan namanya, Ikhwan Al Safa berarti persaudaraan yang suci dan bersih. Maka asas utama perkumpulan ini adalah persaudaraan yang dilakukan secara tulus dan ikhlas, kesekawanan yang suci, dalam menuju ridlo Ilahi. Perkumpulan ini dibentuk di kota Bashrah Irak sekitar tahun 340/941 olah Zayd Ibn Rifa'ah dan berkembang pada abad ke dua Hijriah.[1]
Informasi lain menyebutkan bahwa perkumpulan ini lahir pada abad ke 10 M. di kota Bashrah, pada masa pemerintahan Al Mansur, khalifah kedua pemerintahan Bani Abbas. Dari Bashrah, Ikhwan Al Safa terus berkembang ke berbagai daerah seperti Iran dan Quwait. Organisasi ini mengajarkan tentang dasar-dasar agama Islam yang didasarkan atas persaudaraan Islamiyah (Ukhuwah Islamiyah), yaitu sikap saling mencintai sesama saudara muslim dan kepedulian yang tinggi terhadap orang muslim.[2] Semua anggota perkumpulan ini wajib menjadi guru dan muballigh bagi masyarakatnya.
Kemunculan Ikhwan Al Safa dilatarbelakangi oleh keprihatinan terhadap pelaksanaan ajaran Islam yang telah tercemar oleh ajaran-ajaran luar Islam, serta untuk membangkitkan kembali rasa cinta pada ilmu pengetahuan. Organisasi ini sangat merahasiakan anggotanya. Mereka bekerja dan bergerak secara rahasia, disebabkan kekhawatiran akan tindak penguasa waktu itu yang cenderung menindas gerakan-gerakan yang timbul.[3]
Dalam perkembangannya, perkumpulan ini menggunakan cara yang halus dan bercorak kebatinan. Mereka sangat mengutamakan pribadi, jiwa dan akidah manusia.
Dalam aktifitas Ikhwan Al Safa, banyak juga memfokus untuk mempelajari bidang kefilsafatan. Karena di antara pendiri perkumpulan ini terdiri dari para filosof sehingga pemikirannya banyak dipengaruhi oleh filsafat yang berkembang saat itu seperti filsafat Yunani dan Persia. Dan kemudian dipadukan dengan ajaran Islam. Sehingga menjadi satu ikhtisar dan madzhab filsafat tersendiri. Dari sinilah akhirnya Ikhwan al Safa menyusun sebuah buku yang terdiri dari sejumlah risalah yang berjudul "Rasail Ikhwan al Safa wa al Kullah al Wafa” yang membahas tentang pengetahuan dan mencakup semua objek studi manusia, seperti salah satunya tentang masalah pendidikan.
Di samping itu juga, kelompok Ikhwan Al Safa mengklaim dirinya sebagai kelompok non partisan, objektif, ahli pencita kebenaran, elit intelektual dan solid kooperatif. Mereka mengajak masyarakat untuk menjadi kelompok orang-orang mu'min yang militan untuk beramar ma'ruf nahi mungkar. Dan sebagian sejarawan komtemporer menganggap bahwa perkumpulan ini merupakan kelompok terorganisir terdiri dari para filosof moralis yang menganggap bahwa pangkal perseteruan sosial politik dan keagamaan terdapat para keragaman agama dan aliran dan etnik kesukuan, sehingga mereka berusaha untuk mengilangkan dan mewadahi dalam satu madzhab yang inklusif dan berpijak pada ajaran yang disarikan dari semua agama dan aliran ada.[4]
Dalam konteks demikian, dapat kami kemukakan bahwa kelompok Ikhwan al Safa pada realitanya adalah organisasi yang juga mempunyai tujuan-tujuan politis untuk melakukan transformasi sosial namun tidak melalui cara radikal, revolusioner, melainkan melalui cara transformasi pola pikir masyarakat luas. Namun dalam hal hal ini kami tidak membahas banyak, yang kami fokuskan adalah pembahasan pemikiran Ikhwan al Safa dalam pendidikan.

B. Pemikiran Ikhwan Al Safa
1.      Konsep Pendidikan Ikhwan Al Safa
Dalam sejarah Islam, kelompok ini tampil eksklusif dalam gerakan reformatif pendidikannya, karena itu mereka adalah ta'limiyyun (pengajaran) dalam melangsungkan kegiatan keilmuannya organisasi ini memandang pendidikan dengan pandangan yang bersifat rasional dan empiris, atau perpaduan antara pandangan yang bersifat intelektual dan faktual. Mereka memandang ilmu sebagai gambaran dari sesuatu yang diketahui dari ala mini. Dengan kata lain yang dihasilan dari pemikiran manusia itu terjadi karena mendapat bahan informasi yang dikirim oleh panca indra.[5]
Teori Ikhwan al Safa tentang pendidikan didasarkan atas gagasan filsafat Yunani. Menurut Ikhwan al Safa bahwa setiap anak lahir dengan membawa sejumlah bakat (potensi) yang perlu diaktualisasikan. Oleh karena itu seorang pendidik tidak boleh menjejali otak peserta didik dengan ide-ide dan keinginannya sendiri, pendidik hendaknya mengangkat potensi laten yang terdapt dalam peserta didik.
Menurut Ikhwan al Safa, hakekat manusia adalah terletak pada jiwanya, sementara jasad merupakan penjara bagi jiwa, oleh karena itu kelompok ini membuat perumpamaan bagi orang yang beluk dididik dengan ilmu aqidah, ibarat kertas putih bersih, belum ternoda apapun juga. Apabila kertas ini ditulis sesuatu, maka kertas tersebut telah memiliki bekas yang tidak akan dihilangkan.
Ketika lahiri jiwa tidak memiliki pengetahuan sedikitpun, proses perolehan pengetahuan manusia digambarkan Ikhwan al Safa secara dramatis dilakukan melalui perlimpahan. Proses perlimpahan itu bermula dari jiwa universal kepada jiwa manusia setelah terlebih dahulu melalui proses imanasi, secara berproses manusia mulai menerima rangsangan dari alam sekitarnya, sehingga dapat disimpulkan bahwa ilmu pengetahuan itu dapat dicari melalui dua cara, pertama dengan cara mempergunakan panca indra terhadap objek alam semesta yang bersifat empirik, dan kedua dengan cara menyampaikan informasi yang disampaikan oleh orang lain.[6]
Pada bagian lain Ikhwan berpendapat bahwa pada dasarnya semua ilmu itu harus diusahakan (muktasabah) bukan dari pemberian tanpa usaha. Ilmu yang demikian dapat didengan dengan menggunakan panca indra. Sesuatu yang terlukis dalam pemikiran itu bukanlah sesuatu yang hekekatnya telah ada dalam pemikiran, melainkan lukisan tersebut merupakan pantulan yang terjadi karena adanya kiriman dari panca indra. Jadi  bukan karena ide dari alam pikiran. Dengan panca indra itulah manusia dapat mengetahui sesuatu pandangan seperti dihasilkan melalui penafsiran terhadap ayat An Nahl 16:78

ª!$#ur Nä3y_t÷zr& .`ÏiB ÈbqäÜç/ öNä3ÏF»yg¨Bé& Ÿw šcqßJn=÷ès? $\«øx© Ÿ@yèy_ur ãNä3s9 yìôJ¡¡9$# t»|Áö/F{$#ur noyÏ«øùF{$#ur   öNä3ª=yès9 šcrãä3ô±s? ÇÐÑÈ  

Meskipun ia lebih menekankan pada kekuatan akal dalam proses pencarian ilmu, akan tetapi menurutnya panca indra dan akal memiliki keterbatasan dan tidak mungkin sesuai sampai pada pengetahuan tentang esensi Tuhan. Oleh karena itu diperlukan pendekatan inisiasi yaitu bimbingan/otoritas ajaran agama.
Oleh karena itu Ikhwan al Safa menolak pendapat yang mengatakan bahwa pengetahuan adalah markuzah (harta tersembunyi) sebagaimana pendapat Plato yang beraliran idealisme. Plato mengatakan bahwa jiwa manusia hidup bersama alam ide yang dapat mengetahui segala sesuatu yang ada. Karena itu untuk dapat mendapatkan ilmu pengetahuan seseorang harus berhubungan dengan alam ide. Aliran idealisme inilah yang ditentang oleh Ikhwan al Safa.
Aliran Ikhwan al Safa lebih dekat dengan aliran John Locke yang bersifat empirisme. Aliran ini menilai bahwa awal pengetahuan terjadi karena panca indra berinteraksi dengan alam nyata. Begitu juga dengan cara mendapatkan ilmu itu harus diusahakan dengan cara membiasakan berpegang pada pembiasaan dan perenungan. Hal inilah yang dapat memperkuat daya ingatan dan kedalaman ilmu seseorang.
2.      Tujuan Pendidikan menurut Ikhwan al Safa
Sesuai dengan karakteristik dasar pemikiran Ikhwan al Safa terefleksikan dalam pandangan pendidikannya, mereka mengawali pengkajiannya dengan merumuskan tujuan-tujuan individual dan sosial yang ingin direalisasikan melalui aktivitas pendidikan. Secara nyata mereka memberi porsi lebih terhadap tujuan sosial dibanding tujuan individual. Mereka mengkritisi merebaknya pemikiran-pemikiran merusak yang banyak dianut oleh mayoritas masyarakat.
Berangkat dari pemikiran tersebut Ikhwan al Safa mengkonsepsikan ilmu bukan sebagai sesuatu yang mengandung tujuan dalam dirinya sendiri, sebagaimana konsep dari beberapa kalangan. Menurut Ikhwan ilmu harus difungsikan untuk pelayanan tujuan luhur kependidikan yakni pengenalan diri. Akan tetapi keharusan mengenali dirinya sendiri bukanlah suatu tujuan akhir, melainkan sebagai sarana menuju kesamaan dan keluhuran manusia secara umum. Sebab tujuan akhir pendidikan adalah peningkatan harkat manusia kepada tingkatan malaikat yang suci agar dapat meraih ridlo Allah.
Menurut Ikhwan al Safa, pendidikan merupakan suatu aktivitas yang berhubungan dengan kebijaksanaan. Hal itu terjadi karena proses pendidikan akan memberikan pendidikan yang terbaik untuk dapat melatih keterampilan juga membekali dengan akhlak yang mulia, dan akhirnya dapat mendekatkan diri pada Tuhan.



3.      Pendidik menurut Ikhwan al Safa
Ikhwan al Safa menempatkan pendidik (guru) pada posisi strategis dan inti dalam kegiatan pendidikan, mereka mempersyaratkan kecerdasan, kedewasaan, keluhuran moral, ketulusan hati, kejernihan pikir, etos keilmuan dan tidak fanatik buta pada diri pendidik. Mereka menganggap bahwa mendidik sama dengan menjalan fungsi Bapak kedua kerena orang tua adalah pembentuk rupa fisik biologis, sedang guru adalah pembentuk rupa mental rohani.
Oleh karena itu nilai seorang guru menurutnya tergantung kepada caranya menyampaikan ilmu pengetahuan, untuk itu mereka mensyaratkan agar guru memiliki syarat-syarat yang sesuai dengan sikap dan pandangan politik Ikhwan al Safa serta sesuai dengan tujuan penyiaran dakwahnya sebagaimana syarat yang telah diuraikan di atas.
Syarat-syarat yang demikian hanya muncul dari orang-orang yang berada di organisasinya. Oleh karena itu mereka memiliki aturan tentang seorang guru yang mereka istilahkan dengan nama Ashlab al Numus. Mereka itu adalah muallim, ustadz dan muaddib. Guru Ashalab al Numus adalah malaikat, dan guru malaikat adalah jiwa yang universal, dan guru jiwa universal adalah akal aktual dan akhirnya Allah lah sebagai guru dari segala sesuatu.

4.      Keistemewaan Pemikiran Ikhwan al Safa dalam Etos Keilmuan
Bahwa Ikhwan al Safa di dalam etos keilmuannya tidak membatasi diri hanya pada satu sumber, melainkan dari berbagai pandangan yang luas dan menyeluruh tentang sumber-sumber pengetahuan. Selain itu keistimewaan yang paling menonjol, bahwa mereka menolak fanatisme dan berpegang pada kebebasan berfikir kritis untuk mencari kebenaran, sehingga mereka mampu untuk mempengaruhi generasinya untuk memahami keragaman dan perbedaan pemikiran, serta pluraritas aliran pemikiran dalam pengembangan dinameka keilmuan dan akselerasi derap langkah kemajuan intelektual sosialnya melalui sistem pendidikan yang efektif.
Kelompok ini mampu memerankan fungsi strategis dalam sejarah gerakan pemikiran Islam, dan memberikan pengaruh yang positif serta kontribusi yang besar dalam memacu perkembangan pemikiran Islam, yaitu berupa :
1)      Totalitas kelompok Ikhwan dalam mengabdi untuk kehidupan intelektual di abad ke 4 H. sehingga merekalah yang paling lantang dan fasih berbicara tentang masalah ini.
2)      Perintisan program penyusunan karya eksiklopedis pemikiran keislaman, yaitu dengan risalah-risalah mereka yang populer.
3)      Pencerdasan dan pencerahan masyarakat luas melalui program pengajaran aneka ragam ilmu dan filsafat.







KESIMPULAN
Dari uraian di atas, nampak bahwa pandangan Ikhwan al Safa mengenai pendidikan sangat dipengaruhi oleh pandangan kelompoknya dan terkesan eksklusif dan berorientasi pada pemenuhan kebutuhan spiritual belaka, kurang banyak membicarakan mengenai proyeksi kehidupan di dunia. Namun demikian sebagai sebuah organisasi ini nampak militant dan solid dalam menggalang misi dakwah yang dianutnya. Sikap solid ini sebagai sebuah organisasi perlu dipejalari secara seksama untuk dicarikan cara-cara yang perlu ditempuh dalam mencapai tujuan.
Demikian juga tentang pendidikan dan tujuan-tujuannya yang bersifat social dan intelektual, mungkin hal ini merupakan teori terpadu sistematik dan berdasarkan analisa rasional. Mereka membingkai teori-teori tersebut dengan kerangka moral utama berupa keharusan menguasai ilmu pengetahuan untuk sarana peningkatan kualitas/kemuliaan diri, sehinga akhirnya dapat menjadikan tanggung jawab individu terhadap diri sendiri, masyarakat dan Tuhannya.
Di dalam pemikiran Ikhwan al Safa, secara signifikan tercetus “Rekonsiliasi antara definisi rasional, psikologis, moral, etik dan sosiologis bagi keilmuan pendidikan. Namun demikian kelompok ini lebih mengedepankan rasionalisasi religius yaitu berpikiran idealistis, sehingga memasukkan semua disiplin keilmuan yang nyata dan terkait dengan kebutuhan langsung manusia baik kebutuhan rohani maupun kebutuhan jasmani, yang tidak menjadi pemikiran Ibn Khaldun.
Dari pemikiran-pemikiran Islam para tokoh baik al Ghazali, Ibn Khaldun maupun Ikhwan al Safa terdapat kelebihan dan kekurangan, yang satu sama lain saling melengkapi, maka kewajiban bagi kita adalah melihat pemikiran pendidikan mereka dengan perspektif masa mereka hidup dan mengeksplorasi intelektualnya hingga menghasilkan buah pemikiran sebaik mungkin dengan demikian kita akan mampu memetik serangkaian prinsip utama pendidikan dalam beberapa karya tulis mereka, lalu menatanya dalam konstruksi yang utuh sehingga membentuk teori pendidikan yang betul-betul komprehensif.

DAFTAR PUSTAKA
 Ansiklopedia

Al Ahwani, Ahmad Fuad, Al Tarbiyah fi Al Islam. Mesir : Dar Al Maarif.

Hizah, Samsul, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta : Ciputat Pers, 2002.

Nata, Abuddin,  Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta : Logos Wacana Ilmu.

Nizar, Syamsur, Op Cit.

Ridlo, Muhamad Jawad, Tiga Aliran Utama Teori Pendidikan Islam; Jogjakarta. PT. Tiara Wacana 2002.




[1] Ansiklopedia
[2] Ahmad Fuad Al Ahwani, Al Tarbiyah fi Al Islam. Mesir, Dar Al Maarif Hl. 227
[3] Samsul Hizah,  Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta. Ciputat Pers, 2002, Hal. 96.
[4] Muhamad Jawad Ridlo, Tiga Aliran Utama Teori Pendidikan Islam; Jogjakarta. PT. Tiara Wacana 2002, hal. 146.
[5] Abuddin Nata, Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta, Logos Wacana Ilmu. hal. 182
[6] Syamsur Nizar, Op Cit. hal. 98-99.