Saturday, 21 December 2013

KAPITALISME PENDIDIKAN

PENDAHULUAN 
Manusia yang dihasilkan oleh ideologi kapitalisme adalah manusia yang dalam pikiran dan perhatian selalu dikerubungi oleh pencarian strategi untuk menghasilkan keuntungan diri sendiri yang sebesar-besarnya. Motto yang dikembangkan adalah pengeluaran atau modal (kapital) yang sangat sedikit, tapi harus mendapatkan keuntungan dan pendapatan yang luar biasa besarnya. Meskipun dengan cara-cara yang sangat tidak manusiawi. Misalnya meberi upah yang sangat rendah, membeli dengan harga yang sangat rendah, namun nilai kerja dari para pekerjanya dan nilai jual dari komoditas tersebut menghasilkan keuntungan yang sangat besar. Keluarbiasaan besarnya keuntungan tidak pernah dijadikan sebagai tolok ukur bagi kesejahteraan pekerja atau para petani yang denga lugunya terus memenuhi keinginan para pemilik modal. Manusia yang kaya, efisien, egois, ahli negosiasi, jaringan kuat, dan akses luas adalah karakteristik yang berideologi kapitalisme ini. Hukum yang berlaku adalah “hukum rimba” dalam arti yang berkuasa dan survive adalah orang yang memiliki kekuatan dan kekayaan yang sangat besar. Segala sesuatu dapat dibeli dengan dan dilicinkan dengan kekayaan atau uang.[1]

A.    Hakikat Pendidikan dan Pengertian Kapitalisme
Pendidikan merupakan upaya memanusiakan manusia. Manusia akan menjadi manusia seutuhnya hanya jika ia dididik dengan sebenar-benarnya, yaitu dengan pendidikan yang sebenarnya. Kemudian akan muncul pertanyaan, seperti apakah pendidikan yang sebenarnya itu? Untuk mengetahui wujud pendidikan yang sebenarnya, perlu dikembalikan pada hakikat dari pendidikan itu sendiri.
Pendidikan merupakan proses yang dilakukan oleh suatu masyarakat dalam upaya menyiapkan generasi penerusnya yang mampu bersosialisasi dan beradaptasi terhadap budaya yang mereka anut, yang mana hal tersebut sudah merupakan suatu tradisi umat manusia sejak adanya manusia itu sendiri. Dengan kata lain, pendidikan sesungguhnya dapat dikatakan merupakan salah satu bentuk strategi budaya tertua bagi manusia untuk mempertahankan keberlangsungan eksistensi mereka.[2]
Secara bahasa kata kapitalisme berasal dari capital yang berarti modal, dengan yang dimaksud modal adalah alat produksi seperti misal tanah, dan uang. Dan kata isme berarti suatu paham atau ajaran. Jadi arti kapitalisme itu sendiri adalah suatu ajaran atau paham tentang modal atau segala sesuatu dihargai dan diukur dengan uang.
Dalam sejarahnya, seperti yang diungkap oleh Dudley Dillard, kapitalisme adlah istilah yang dipakai untuk menamai system ekonomi yang mendominasi dunia barat sejak runtuhnya feodalisme. Sebagai dasar bagi setiap system, yang disebut “kapitalis” ialah hubungan-hubungan di antara pemilik pribadi atas alat-alat produksi yang bersifat nonpribadi (tanah, tambang, instalasi industry, dan sebagainya yang secara keseluruhan disebut modal atau kapital) dengan para pekerja yang iarpun bebas namun tak punya modal, yang menjual jasa tenaga kerjanya kepada majikan. Di bawah kapitalisme, keputusan yang menyangkut produksi dibuat oleh kaum bisnis swasta dan diarahkan demi keuntungan pribadi. Para pekerja itu bebas dalam arti bahwa secara hukum mereka tidak dipaksa untuk bekerja kepada para pemilik alat produksi itu. Namun demikian, karena para pekerja itu tidak memiliki alat produksi yang diperlukan untuk bekerja sendiri, mereka dipaksa oleh kenisccayaan ekonomis untuk menawarkan jasa, dengan syarat tertentu kepada para majikan yang mengendalikan alat produksi. Hasil tawar-menawar yang menyangkut upah akan menentukan proporsi di mana produksi total masyarakat akan di bagi antara kelas pekerja dengan kelas wiraswasta kapitalis.[3]
Ideologi kapitalisme adalah ideologi pendidikan yang didasarkan pada nilai-nilai kapital dan permodalan. Nilai-nilai yang dikembangkan oleh ideologi ini adalah nilai persaingan tanpa batas, atau yang sering disebut dengan hukum rimba. Kompetisi adalah hal pokok dalam kehidupan. Tanpa adanya kompetisi, kehidupan tidak akan pernah ada. Karana hidup pada dasarnya adalah sebuah persaingan, maka muncullah stigma bahwa dalam masyarakat yang beridiologi kapitalisme, pihak yang terkuat, baik secara ekonomi, intelektual, politik, maupun militer adalah yang survive dan berkuasa.[4] Individualisme dan personalisme adalah sebagian sikap yang melekat pada masyarakat kapitalis. Hak individu tidak dapat diganggu gugat walaupun oleh pemerintah yang sedang berkuasa sekalipun.

B.     Implementasi Kapitalisme dalam Pendidikan
Kapitalisme pendidikan di Indonesia bisa dilacak dari tindak tanduk dan tunduknya pemerintah pada WTO. Badan imperialisme ini bermula dari dirumuskannya general agreement of tariffs and trade (gatt),[5] atau kesepakatan umum tentang tarif-tarif dan perdagagan. Gatt ini didirikan atas dasar  perjanjian di Jenewa, Swiss pasca perang dunia berakhir, tepatnya pada oktober oktober 1947. Gatt lahir untuk membobol dinding-dinding yang menghalangi perdagangan antar negara baik berupa proteksi-proteksi maupun tarif bea cukai. Ini lantas dirumuskannya The Washington Consensus  atau konsensus Washington (1989-1990) yang salah satu butir dari 10 butir rumusannya berbunyi “public expenditure” yang intinya mengarahkan kembali pengeluaran masyarakat untuk bidang pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur, sehingga beban tanggung jawab pemerintah berkurang. Demi membentuk badan yang lebih perkarsa, gatt ini lantas berevolusi menjadi WTO pada 1 januari 1995. Sebelumnya indonesia sudah memberikan restu melalui UU no. 7 tahun 1994. UU yang ditanda tangani saat zaman pemerintahan soeharto merupakan persetujuan sekaligus pengesahan atas Agreement Establishing World Trade Organization (WTO) atau kesepakatan pendirian organisasi perdagangan dunia.
Indonesia pada tahun yang sama juga menerima program World Bank atau bank dunia yang merambah dunia pendidikan,  proyek itu bernama University Research For Graduate Education (URGE). Proyek ini diteruskan dengan proyek-proyek lain yaitu, Development Of Undergraduate Education (DUE), Quality Of Undergraduate Education (QUE). Proyek-proyek ini dilaksanakan bukan untuk tujuan amal atau derma sosial melainkan untuk meliberalisasi pendidikan. Proyek liberalisasi ini disusul dengan proyek yang disponsori unesco yaitu Higher Educations For Competitiveness Project (Hecp). Hecp ini dikemudian hari berevolusi menjadi Indonesia Managing Higher Education For Relevance And Efficiency (IMHERE).
Dari perjalanan masuknya kapitalisme ke dunia pendidikan  di indonesia ini, maka muncul praktek-praktek yang nyata mengenai kapitalisme yaitu dengan munculnya privatisasi pendidikan mulai merambah dunia pendidikan indonesia pada tahun 2003 dengan kemunculan undang undang no. 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional dan perubahan status empat perguruan tinggi negeri (PTN) menjadi Badan Hukum Milik Negara (BHMN). PTN yang berubah statusnya tersebut adalah UI, ITB, IPB, dan UGM. Wasana yang digulirkan berkenaan dengan perubahan status ptn tersebut adalah otonomi kampus. Padahal jika dirunut secara kronologis, otonomi kampus yang dimaksud hanya merupakan eufemisme dari privatisasi. Hal ini bisa dimengerti, kerena pemerintah tidak ingin terjadi gejolak dalam pelaksanaan privatisasi di kampus-kampus tersebut. Akibat yang ditimbulkan dari privatisasi ptn tersebut diantaranya adalah komodifikasi kampus dan kenaikan biaya operasional yang eksesnya langsung dirasakan oleh mahasiswa dan calon mahasiswa. Wacana privatisasi pendidikan ini makin menemukan momentumnya di indonesia, tatkala pemerintah mengajukan ruu badan hukum pendidikan. Sedangakan komoditasi merupakan proses transformasi yang menjadikan sesuatu menjadi komoditi atau barang untuk diperdagangkan demi mendapatkan keuntungan. Maka komoditi pendidikan jelaslah merupakan implikasi dari privatisasi pendidikan yang mana pendidikan difungsikan untuk mencari keuntungan sebanyak-banyaknya. Maka implikasinya pendidikan sebagai privatisas bercirikan:
1.      Tujuan pendidikan dimakanai proses pemebentukan manusia siap pakai untuk mengisi ruang-ruang usaha publik.
2.      Peserta didik dianggap sebgai konsumen pembeli produk pendidikan sebagai syarat  masuk memasuki dunia kerja.
3.      Fungsi pendidik atau guru dianggap sebagai pekerja.
4.      Pengelola pendidikan dianggap sebagai manajer bisnis pendidikan.
5.      Yayasan pendidikan, sekolah atau perguruan tinggi dianggap sebagai investor.
6.      SPP dianggap sebagai income dan sumber penghasilan.
7.      Kurikulum dianggap pesanan dari pemilik modal.[6]

C.    Dampak Kapitalisme dalam Pendidikan
Peter Mclaren, sebagaimana yang dikutip Barton (2001), mengemukakan tiga dampak kapitalisme terhadap pendidikan:[7]
1.      Hubungan antara kapitalisme dan pendidikan urban telah menyebabkan praktek-praktek sekolah yang lebih mendukung kontrol ekonomi oleh kelas-kelas elit.
2.      Hubungan antara kapitalisme dan ilmu pengetahuan telah mendorong berkembangnya ilmu pengetahuan yang hanya bertujuan mendapatkan profit material dibanding untuk menciptakan kehidupan global yang lebih baik.
3.      Perkawinan antara kapitalisme dan pendidikan dan kapitalisme dan ilmu pengetahuan telah menciptakan fondasi bagi ilmu pendidikan yang menekankan nilai-nalai korporasi dengan mengorbankan nilai-nilai keadilan sosial dan martabat kemanusiaan.

D.    Menuju Pendidikan yang Memanusiakan dan Memerdekakan
Bilamana tata pendidikan yang berkeadilan dapat tercipta? Jawabnya bila kita kita semua serius untuk mentransformasikan pendidikan ini menuju ke pendidikan yang memanusiakan dan memerdekakan manusia yang terlibat dalam pendidikan itu. Ada beberapa saran yang merupakan tindak lanjut dari hasil telaah penulis buku kapitaisme pendidikan antara kommpetisi dan keadilan, Francis Wahono dan sebagai hasil diskusi paper dengan bab viii buku darmaningtyas. 1999. Pendidikan pada dan setelah krisis. (Yogyakarta: pustaka pelajar dan lpist), hal. 151-193. Saran utama adalah menyangkut perubahan paradigma dan pendekatan pendidikan. Perubahan paradigma dan pendekatan, dari paradigma pendidikan “kompetitif” berpendekatan “sumber daya manusia” diganti dengan paradigma pendidikan “keadilan sosial “ berpendekatan “pemberdayaan manusia”. Yang mana hal itu tidak hanya merubah kebijakan pendidikan nasional, tetapi juga menuntut diadakannya penuisan kembali uu pendidikan nasional baru.pendidikan bukann sekedar system persekolahan tetapi juga pendidikan terbuka masyarakat luas, dalam hal ini pendidikan bangsa yang amat diperlukan, terlebih berhubungan dengan melanjutkan dan mengembangkan momen reformasi, yang dalam artian sesungguhnya adalah transformasi cara bernalar dan bertindak bangsa.
Saran kedua berasal dari telaah tentang beratnya tanggungan dan seriusnyna ketimpangan ekonomi sosial kependidikan Indonesia. Implikasi beratnya tanggungan dan seriusnya ketimpangan ekonomi sosila bangsa yang menimpa dan yang menantang penyelenggara, penyelenggaraan, rumah tangga pelaku dan peserta didik harus menjadi perhatian dan mempengaruhi kebijakan dan praktek kependidikan nasional, regional maupun tingkat desa dan kampong. Pendekatan bottom-up yang demokratis harus diterjemahkan dengan mendayakan dan mengisi sekolah-sekolah dasar khususnya yang di desa-desa atau pelosok kampung dengan sistem pembelajaran yang adil, terbuka dan menguatkan watak dan ketrampilan peserta didik. Selain itu juga didisi sebagian besar  dengan pembelajaran dan pelatihan yang bermanfaat untuk tidak hanya berprodulsi tetapi juga untuk hidup. Hidup ditandai dengan kesadaran akan eksistensi diri dan kontrol atas apa yang diucapkan dan dikerjakan sehingga menuju ke semakin membuat membuat manusia beradab.
Saran ketiga sebagai hasil diskusi paper dengan kesimpulan buku Darmaningtyas.[8] Saran yang ketiga ini berkaitan dengan hal yang menyatakan bahwa sekolah bukanlah tampat bisnis. Sinyalemen Darmaningtyas (1999:158-159) bahwa sekolah kita yang mempunyai jumah siswa dari TK sampai SMA per tahun rata-rata 37 juta adalah pasar besar untuk perusahaan-perusahaan swasta (penerbit buku pelajaran, alat-alat tulis, kain seragam, biro wisata dlsb) adalah benar adanya. Guru dan lembaga sekolah juga ikut berbisnis, dengan menjadi rekanan perusahaan, tetapi juga dengan membisniskan kursi pendidikan melalui dana sumbangn pembangunan lenngkap dengan  tawar-menawarnya serta dengan jual beli nilai oleh sementara oknum guru, melalui les maupun langsung di atas kertas garapan. Kalau kesejahteraan guru betul-betul ditingkatkan ke layak dan anggaran pendidikan pemerintah meningkat drastis, maka secara otomatis pembisnisan kependidikan dapat amat dikurangi dalam waktu singkat.
DAFTAR PUSTAKA
Dawam, Ainurrofiq. Emoh sekolah, menolak “komersialisasi pendidikan dan kanibalisme intelektual” menuju pendidikan multikultural. Inspeal ahimsakarya press. Yogyakarta, 2003.

Wahono, Francis. Kapitalisme Pendidikan antara kompetisi dan keadilan. Iinsist Press. Yogyakarta, 2001.

Rahardjo, Dawam, Kapitalisme dulu dan sekarang, Jakarta: lp3es, 1987.

op., cit, imam machali, editor, pendidikan islam dan tantangan globalisasi.

Nuryatno, Agus.  Madzhab pendidikan kritis, menyingkap relasi pengetahuan, politik, dan kekuasaan. Yogyakarta : Resist Book, 2008.





[1] Ainurrofiq Dawam, Emoh sekolah, menolak “komersialisasi pendidikan dan kanibalisme intelektual” menuju pendidikan multikultural. (Yogyakarta : Inspeal Ahimsakarya Press, 2003), Hlm. 119-120.
[2] Francis Wahono, Kapitalisme pendidikan antara kompetisi dan keadilan, (Yogyakarta : Insist Press, 2001) hlm. 3.
[3] Dawam rahardjo, editor, kapitalisme dulu dan sekarang, (jakarta: lp3es, 1987), hlm. 19.
[4] Ainurrofiq Dawam,  Emoh sekolah, .......... hlm. 118.
[5] Francis Wahono, Kapitalisme pendidikan .........  hlm. 22.
[6] op., cit, Imam Machali, editor, pendidikan islam dan tantangan globalisasi, Hlm. 124.
[7] Agus Nuryatno,  Madzhab pendidikan kritis, menyingkap relasi pengetahuan, politik, dan kekuasaan. (Yogyakarta : Resist Book, 2008), hlm. 57.
[8] Francis Wahono, Kapitalisme pendidikan, ......... Hlm. 106.

No comments:

Post a Comment