Saturday, 21 December 2013

PEMIKIRAN PENDIDIKAN ISLAM MENURUT IKHWAN AL SAFA



A. Ikhwan Al Safa
Ikhwan Al Safa adalah sebuah perkumpulan para mujtahidin yang bergerak dalam lapangan ilmu pengetahuan. Sesuai dengan namanya, Ikhwan Al Safa berarti persaudaraan yang suci dan bersih. Maka asas utama perkumpulan ini adalah persaudaraan yang dilakukan secara tulus dan ikhlas, kesekawanan yang suci, dalam menuju ridlo Ilahi. Perkumpulan ini dibentuk di kota Bashrah Irak sekitar tahun 340/941 olah Zayd Ibn Rifa'ah dan berkembang pada abad ke dua Hijriah.[1]
Informasi lain menyebutkan bahwa perkumpulan ini lahir pada abad ke 10 M. di kota Bashrah, pada masa pemerintahan Al Mansur, khalifah kedua pemerintahan Bani Abbas. Dari Bashrah, Ikhwan Al Safa terus berkembang ke berbagai daerah seperti Iran dan Quwait. Organisasi ini mengajarkan tentang dasar-dasar agama Islam yang didasarkan atas persaudaraan Islamiyah (Ukhuwah Islamiyah), yaitu sikap saling mencintai sesama saudara muslim dan kepedulian yang tinggi terhadap orang muslim.[2] Semua anggota perkumpulan ini wajib menjadi guru dan muballigh bagi masyarakatnya.
Kemunculan Ikhwan Al Safa dilatarbelakangi oleh keprihatinan terhadap pelaksanaan ajaran Islam yang telah tercemar oleh ajaran-ajaran luar Islam, serta untuk membangkitkan kembali rasa cinta pada ilmu pengetahuan. Organisasi ini sangat merahasiakan anggotanya. Mereka bekerja dan bergerak secara rahasia, disebabkan kekhawatiran akan tindak penguasa waktu itu yang cenderung menindas gerakan-gerakan yang timbul.[3]
Dalam perkembangannya, perkumpulan ini menggunakan cara yang halus dan bercorak kebatinan. Mereka sangat mengutamakan pribadi, jiwa dan akidah manusia.
Dalam aktifitas Ikhwan Al Safa, banyak juga memfokus untuk mempelajari bidang kefilsafatan. Karena di antara pendiri perkumpulan ini terdiri dari para filosof sehingga pemikirannya banyak dipengaruhi oleh filsafat yang berkembang saat itu seperti filsafat Yunani dan Persia. Dan kemudian dipadukan dengan ajaran Islam. Sehingga menjadi satu ikhtisar dan madzhab filsafat tersendiri. Dari sinilah akhirnya Ikhwan al Safa menyusun sebuah buku yang terdiri dari sejumlah risalah yang berjudul "Rasail Ikhwan al Safa wa al Kullah al Wafa” yang membahas tentang pengetahuan dan mencakup semua objek studi manusia, seperti salah satunya tentang masalah pendidikan.
Di samping itu juga, kelompok Ikhwan Al Safa mengklaim dirinya sebagai kelompok non partisan, objektif, ahli pencita kebenaran, elit intelektual dan solid kooperatif. Mereka mengajak masyarakat untuk menjadi kelompok orang-orang mu'min yang militan untuk beramar ma'ruf nahi mungkar. Dan sebagian sejarawan komtemporer menganggap bahwa perkumpulan ini merupakan kelompok terorganisir terdiri dari para filosof moralis yang menganggap bahwa pangkal perseteruan sosial politik dan keagamaan terdapat para keragaman agama dan aliran dan etnik kesukuan, sehingga mereka berusaha untuk mengilangkan dan mewadahi dalam satu madzhab yang inklusif dan berpijak pada ajaran yang disarikan dari semua agama dan aliran ada.[4]
Dalam konteks demikian, dapat kami kemukakan bahwa kelompok Ikhwan al Safa pada realitanya adalah organisasi yang juga mempunyai tujuan-tujuan politis untuk melakukan transformasi sosial namun tidak melalui cara radikal, revolusioner, melainkan melalui cara transformasi pola pikir masyarakat luas. Namun dalam hal hal ini kami tidak membahas banyak, yang kami fokuskan adalah pembahasan pemikiran Ikhwan al Safa dalam pendidikan.

B. Pemikiran Ikhwan Al Safa
1.      Konsep Pendidikan Ikhwan Al Safa
Dalam sejarah Islam, kelompok ini tampil eksklusif dalam gerakan reformatif pendidikannya, karena itu mereka adalah ta'limiyyun (pengajaran) dalam melangsungkan kegiatan keilmuannya organisasi ini memandang pendidikan dengan pandangan yang bersifat rasional dan empiris, atau perpaduan antara pandangan yang bersifat intelektual dan faktual. Mereka memandang ilmu sebagai gambaran dari sesuatu yang diketahui dari ala mini. Dengan kata lain yang dihasilan dari pemikiran manusia itu terjadi karena mendapat bahan informasi yang dikirim oleh panca indra.[5]
Teori Ikhwan al Safa tentang pendidikan didasarkan atas gagasan filsafat Yunani. Menurut Ikhwan al Safa bahwa setiap anak lahir dengan membawa sejumlah bakat (potensi) yang perlu diaktualisasikan. Oleh karena itu seorang pendidik tidak boleh menjejali otak peserta didik dengan ide-ide dan keinginannya sendiri, pendidik hendaknya mengangkat potensi laten yang terdapt dalam peserta didik.
Menurut Ikhwan al Safa, hakekat manusia adalah terletak pada jiwanya, sementara jasad merupakan penjara bagi jiwa, oleh karena itu kelompok ini membuat perumpamaan bagi orang yang beluk dididik dengan ilmu aqidah, ibarat kertas putih bersih, belum ternoda apapun juga. Apabila kertas ini ditulis sesuatu, maka kertas tersebut telah memiliki bekas yang tidak akan dihilangkan.
Ketika lahiri jiwa tidak memiliki pengetahuan sedikitpun, proses perolehan pengetahuan manusia digambarkan Ikhwan al Safa secara dramatis dilakukan melalui perlimpahan. Proses perlimpahan itu bermula dari jiwa universal kepada jiwa manusia setelah terlebih dahulu melalui proses imanasi, secara berproses manusia mulai menerima rangsangan dari alam sekitarnya, sehingga dapat disimpulkan bahwa ilmu pengetahuan itu dapat dicari melalui dua cara, pertama dengan cara mempergunakan panca indra terhadap objek alam semesta yang bersifat empirik, dan kedua dengan cara menyampaikan informasi yang disampaikan oleh orang lain.[6]
Pada bagian lain Ikhwan berpendapat bahwa pada dasarnya semua ilmu itu harus diusahakan (muktasabah) bukan dari pemberian tanpa usaha. Ilmu yang demikian dapat didengan dengan menggunakan panca indra. Sesuatu yang terlukis dalam pemikiran itu bukanlah sesuatu yang hekekatnya telah ada dalam pemikiran, melainkan lukisan tersebut merupakan pantulan yang terjadi karena adanya kiriman dari panca indra. Jadi  bukan karena ide dari alam pikiran. Dengan panca indra itulah manusia dapat mengetahui sesuatu pandangan seperti dihasilkan melalui penafsiran terhadap ayat An Nahl 16:78

ª!$#ur Nä3y_t÷zr& .`ÏiB ÈbqäÜç/ öNä3ÏF»yg¨Bé& Ÿw šcqßJn=÷ès? $\«øx© Ÿ@yèy_ur ãNä3s9 yìôJ¡¡9$# t»|Áö/F{$#ur noyÏ«øùF{$#ur   öNä3ª=yès9 šcrãä3ô±s? ÇÐÑÈ  

Meskipun ia lebih menekankan pada kekuatan akal dalam proses pencarian ilmu, akan tetapi menurutnya panca indra dan akal memiliki keterbatasan dan tidak mungkin sesuai sampai pada pengetahuan tentang esensi Tuhan. Oleh karena itu diperlukan pendekatan inisiasi yaitu bimbingan/otoritas ajaran agama.
Oleh karena itu Ikhwan al Safa menolak pendapat yang mengatakan bahwa pengetahuan adalah markuzah (harta tersembunyi) sebagaimana pendapat Plato yang beraliran idealisme. Plato mengatakan bahwa jiwa manusia hidup bersama alam ide yang dapat mengetahui segala sesuatu yang ada. Karena itu untuk dapat mendapatkan ilmu pengetahuan seseorang harus berhubungan dengan alam ide. Aliran idealisme inilah yang ditentang oleh Ikhwan al Safa.
Aliran Ikhwan al Safa lebih dekat dengan aliran John Locke yang bersifat empirisme. Aliran ini menilai bahwa awal pengetahuan terjadi karena panca indra berinteraksi dengan alam nyata. Begitu juga dengan cara mendapatkan ilmu itu harus diusahakan dengan cara membiasakan berpegang pada pembiasaan dan perenungan. Hal inilah yang dapat memperkuat daya ingatan dan kedalaman ilmu seseorang.
2.      Tujuan Pendidikan menurut Ikhwan al Safa
Sesuai dengan karakteristik dasar pemikiran Ikhwan al Safa terefleksikan dalam pandangan pendidikannya, mereka mengawali pengkajiannya dengan merumuskan tujuan-tujuan individual dan sosial yang ingin direalisasikan melalui aktivitas pendidikan. Secara nyata mereka memberi porsi lebih terhadap tujuan sosial dibanding tujuan individual. Mereka mengkritisi merebaknya pemikiran-pemikiran merusak yang banyak dianut oleh mayoritas masyarakat.
Berangkat dari pemikiran tersebut Ikhwan al Safa mengkonsepsikan ilmu bukan sebagai sesuatu yang mengandung tujuan dalam dirinya sendiri, sebagaimana konsep dari beberapa kalangan. Menurut Ikhwan ilmu harus difungsikan untuk pelayanan tujuan luhur kependidikan yakni pengenalan diri. Akan tetapi keharusan mengenali dirinya sendiri bukanlah suatu tujuan akhir, melainkan sebagai sarana menuju kesamaan dan keluhuran manusia secara umum. Sebab tujuan akhir pendidikan adalah peningkatan harkat manusia kepada tingkatan malaikat yang suci agar dapat meraih ridlo Allah.
Menurut Ikhwan al Safa, pendidikan merupakan suatu aktivitas yang berhubungan dengan kebijaksanaan. Hal itu terjadi karena proses pendidikan akan memberikan pendidikan yang terbaik untuk dapat melatih keterampilan juga membekali dengan akhlak yang mulia, dan akhirnya dapat mendekatkan diri pada Tuhan.



3.      Pendidik menurut Ikhwan al Safa
Ikhwan al Safa menempatkan pendidik (guru) pada posisi strategis dan inti dalam kegiatan pendidikan, mereka mempersyaratkan kecerdasan, kedewasaan, keluhuran moral, ketulusan hati, kejernihan pikir, etos keilmuan dan tidak fanatik buta pada diri pendidik. Mereka menganggap bahwa mendidik sama dengan menjalan fungsi Bapak kedua kerena orang tua adalah pembentuk rupa fisik biologis, sedang guru adalah pembentuk rupa mental rohani.
Oleh karena itu nilai seorang guru menurutnya tergantung kepada caranya menyampaikan ilmu pengetahuan, untuk itu mereka mensyaratkan agar guru memiliki syarat-syarat yang sesuai dengan sikap dan pandangan politik Ikhwan al Safa serta sesuai dengan tujuan penyiaran dakwahnya sebagaimana syarat yang telah diuraikan di atas.
Syarat-syarat yang demikian hanya muncul dari orang-orang yang berada di organisasinya. Oleh karena itu mereka memiliki aturan tentang seorang guru yang mereka istilahkan dengan nama Ashlab al Numus. Mereka itu adalah muallim, ustadz dan muaddib. Guru Ashalab al Numus adalah malaikat, dan guru malaikat adalah jiwa yang universal, dan guru jiwa universal adalah akal aktual dan akhirnya Allah lah sebagai guru dari segala sesuatu.

4.      Keistemewaan Pemikiran Ikhwan al Safa dalam Etos Keilmuan
Bahwa Ikhwan al Safa di dalam etos keilmuannya tidak membatasi diri hanya pada satu sumber, melainkan dari berbagai pandangan yang luas dan menyeluruh tentang sumber-sumber pengetahuan. Selain itu keistimewaan yang paling menonjol, bahwa mereka menolak fanatisme dan berpegang pada kebebasan berfikir kritis untuk mencari kebenaran, sehingga mereka mampu untuk mempengaruhi generasinya untuk memahami keragaman dan perbedaan pemikiran, serta pluraritas aliran pemikiran dalam pengembangan dinameka keilmuan dan akselerasi derap langkah kemajuan intelektual sosialnya melalui sistem pendidikan yang efektif.
Kelompok ini mampu memerankan fungsi strategis dalam sejarah gerakan pemikiran Islam, dan memberikan pengaruh yang positif serta kontribusi yang besar dalam memacu perkembangan pemikiran Islam, yaitu berupa :
1)      Totalitas kelompok Ikhwan dalam mengabdi untuk kehidupan intelektual di abad ke 4 H. sehingga merekalah yang paling lantang dan fasih berbicara tentang masalah ini.
2)      Perintisan program penyusunan karya eksiklopedis pemikiran keislaman, yaitu dengan risalah-risalah mereka yang populer.
3)      Pencerdasan dan pencerahan masyarakat luas melalui program pengajaran aneka ragam ilmu dan filsafat.







KESIMPULAN
Dari uraian di atas, nampak bahwa pandangan Ikhwan al Safa mengenai pendidikan sangat dipengaruhi oleh pandangan kelompoknya dan terkesan eksklusif dan berorientasi pada pemenuhan kebutuhan spiritual belaka, kurang banyak membicarakan mengenai proyeksi kehidupan di dunia. Namun demikian sebagai sebuah organisasi ini nampak militant dan solid dalam menggalang misi dakwah yang dianutnya. Sikap solid ini sebagai sebuah organisasi perlu dipejalari secara seksama untuk dicarikan cara-cara yang perlu ditempuh dalam mencapai tujuan.
Demikian juga tentang pendidikan dan tujuan-tujuannya yang bersifat social dan intelektual, mungkin hal ini merupakan teori terpadu sistematik dan berdasarkan analisa rasional. Mereka membingkai teori-teori tersebut dengan kerangka moral utama berupa keharusan menguasai ilmu pengetahuan untuk sarana peningkatan kualitas/kemuliaan diri, sehinga akhirnya dapat menjadikan tanggung jawab individu terhadap diri sendiri, masyarakat dan Tuhannya.
Di dalam pemikiran Ikhwan al Safa, secara signifikan tercetus “Rekonsiliasi antara definisi rasional, psikologis, moral, etik dan sosiologis bagi keilmuan pendidikan. Namun demikian kelompok ini lebih mengedepankan rasionalisasi religius yaitu berpikiran idealistis, sehingga memasukkan semua disiplin keilmuan yang nyata dan terkait dengan kebutuhan langsung manusia baik kebutuhan rohani maupun kebutuhan jasmani, yang tidak menjadi pemikiran Ibn Khaldun.
Dari pemikiran-pemikiran Islam para tokoh baik al Ghazali, Ibn Khaldun maupun Ikhwan al Safa terdapat kelebihan dan kekurangan, yang satu sama lain saling melengkapi, maka kewajiban bagi kita adalah melihat pemikiran pendidikan mereka dengan perspektif masa mereka hidup dan mengeksplorasi intelektualnya hingga menghasilkan buah pemikiran sebaik mungkin dengan demikian kita akan mampu memetik serangkaian prinsip utama pendidikan dalam beberapa karya tulis mereka, lalu menatanya dalam konstruksi yang utuh sehingga membentuk teori pendidikan yang betul-betul komprehensif.

DAFTAR PUSTAKA
 Ansiklopedia

Al Ahwani, Ahmad Fuad, Al Tarbiyah fi Al Islam. Mesir : Dar Al Maarif.

Hizah, Samsul, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta : Ciputat Pers, 2002.

Nata, Abuddin,  Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta : Logos Wacana Ilmu.

Nizar, Syamsur, Op Cit.

Ridlo, Muhamad Jawad, Tiga Aliran Utama Teori Pendidikan Islam; Jogjakarta. PT. Tiara Wacana 2002.




[1] Ansiklopedia
[2] Ahmad Fuad Al Ahwani, Al Tarbiyah fi Al Islam. Mesir, Dar Al Maarif Hl. 227
[3] Samsul Hizah,  Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta. Ciputat Pers, 2002, Hal. 96.
[4] Muhamad Jawad Ridlo, Tiga Aliran Utama Teori Pendidikan Islam; Jogjakarta. PT. Tiara Wacana 2002, hal. 146.
[5] Abuddin Nata, Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta, Logos Wacana Ilmu. hal. 182
[6] Syamsur Nizar, Op Cit. hal. 98-99.

No comments:

Post a Comment