PENDAHULUAN
Manusia yang dihasilkan oleh ideologi kapitalisme adalah manusia yang dalam
pikiran dan perhatian selalu dikerubungi oleh pencarian strategi untuk
menghasilkan keuntungan diri sendiri yang sebesar-besarnya. Motto yang
dikembangkan adalah pengeluaran atau modal (kapital) yang sangat sedikit, tapi
harus mendapatkan keuntungan dan pendapatan yang luar biasa besarnya. Meskipun
dengan cara-cara yang sangat tidak manusiawi. Misalnya meberi upah yang sangat
rendah, membeli dengan harga yang sangat rendah, namun nilai kerja dari para
pekerjanya dan nilai jual dari komoditas tersebut menghasilkan keuntungan yang
sangat besar. Keluarbiasaan besarnya keuntungan tidak pernah dijadikan sebagai
tolok ukur bagi kesejahteraan pekerja atau para petani yang denga lugunya terus
memenuhi keinginan para pemilik modal. Manusia yang kaya, efisien, egois, ahli
negosiasi, jaringan kuat, dan akses luas adalah karakteristik yang berideologi
kapitalisme ini. Hukum yang berlaku adalah “hukum rimba” dalam arti yang
berkuasa dan survive adalah orang yang memiliki kekuatan dan kekayaan
yang sangat besar. Segala sesuatu dapat dibeli dengan dan dilicinkan dengan
kekayaan atau uang.[1]
A.
Hakikat Pendidikan dan Pengertian Kapitalisme
Pendidikan merupakan upaya memanusiakan manusia. Manusia akan menjadi
manusia seutuhnya hanya jika ia dididik dengan sebenar-benarnya, yaitu dengan
pendidikan yang sebenarnya. Kemudian akan muncul pertanyaan, seperti apakah pendidikan
yang sebenarnya itu? Untuk mengetahui wujud pendidikan yang sebenarnya, perlu
dikembalikan pada hakikat dari pendidikan itu sendiri.
Pendidikan merupakan proses yang dilakukan oleh suatu masyarakat dalam
upaya menyiapkan generasi penerusnya yang mampu bersosialisasi dan beradaptasi
terhadap budaya yang mereka anut, yang mana hal tersebut sudah merupakan suatu
tradisi umat manusia sejak adanya manusia itu sendiri. Dengan kata lain,
pendidikan sesungguhnya dapat dikatakan merupakan salah satu bentuk strategi
budaya tertua bagi manusia untuk mempertahankan keberlangsungan eksistensi
mereka.[2]
Secara bahasa kata kapitalisme berasal dari capital yang berarti
modal, dengan yang dimaksud modal adalah alat produksi seperti misal tanah, dan
uang. Dan kata isme berarti suatu paham atau ajaran. Jadi arti kapitalisme itu
sendiri adalah suatu ajaran atau paham tentang modal atau segala sesuatu
dihargai dan diukur dengan uang.
Dalam sejarahnya, seperti yang diungkap oleh Dudley Dillard, kapitalisme
adlah istilah yang dipakai untuk menamai system ekonomi yang mendominasi dunia
barat sejak runtuhnya feodalisme. Sebagai dasar bagi setiap system, yang
disebut “kapitalis” ialah hubungan-hubungan di antara pemilik pribadi atas
alat-alat produksi yang bersifat nonpribadi (tanah, tambang, instalasi
industry, dan sebagainya yang secara keseluruhan disebut modal atau kapital)
dengan para pekerja yang iarpun bebas namun tak punya modal, yang menjual jasa
tenaga kerjanya kepada majikan. Di bawah kapitalisme, keputusan yang menyangkut
produksi dibuat oleh kaum bisnis swasta dan diarahkan demi keuntungan pribadi.
Para pekerja itu bebas dalam arti bahwa secara hukum mereka tidak dipaksa untuk
bekerja kepada para pemilik alat produksi itu. Namun demikian, karena para
pekerja itu tidak memiliki alat produksi yang diperlukan untuk bekerja sendiri,
mereka dipaksa oleh kenisccayaan ekonomis untuk menawarkan jasa, dengan syarat
tertentu kepada para majikan yang mengendalikan alat produksi. Hasil
tawar-menawar yang menyangkut upah akan menentukan proporsi di mana produksi
total masyarakat akan di bagi antara kelas pekerja dengan kelas wiraswasta
kapitalis.[3]
Ideologi kapitalisme adalah ideologi pendidikan yang didasarkan pada
nilai-nilai kapital dan permodalan. Nilai-nilai yang dikembangkan oleh ideologi
ini adalah nilai persaingan tanpa batas, atau yang sering disebut dengan hukum
rimba. Kompetisi adalah hal pokok dalam kehidupan. Tanpa adanya kompetisi,
kehidupan tidak akan pernah ada. Karana hidup pada dasarnya adalah sebuah
persaingan, maka muncullah stigma bahwa dalam masyarakat yang beridiologi
kapitalisme, pihak yang terkuat, baik secara ekonomi, intelektual, politik,
maupun militer adalah yang survive dan berkuasa.[4] Individualisme
dan personalisme adalah sebagian sikap yang melekat pada masyarakat kapitalis.
Hak individu tidak dapat diganggu gugat walaupun oleh pemerintah yang sedang
berkuasa sekalipun.
B.
Implementasi Kapitalisme dalam Pendidikan
Kapitalisme pendidikan di Indonesia bisa dilacak dari tindak tanduk dan
tunduknya pemerintah pada WTO. Badan imperialisme ini bermula dari
dirumuskannya general agreement of tariffs and trade (gatt),[5] atau
kesepakatan umum tentang tarif-tarif dan perdagagan. Gatt ini didirikan atas
dasar perjanjian di Jenewa, Swiss pasca perang dunia berakhir, tepatnya
pada oktober oktober 1947. Gatt lahir untuk membobol dinding-dinding yang
menghalangi perdagangan antar negara baik berupa proteksi-proteksi maupun tarif
bea cukai. Ini lantas dirumuskannya The Washington Consensus atau
konsensus Washington (1989-1990) yang salah satu butir dari 10 butir rumusannya
berbunyi “public expenditure” yang intinya mengarahkan kembali
pengeluaran masyarakat untuk bidang pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur,
sehingga beban tanggung jawab pemerintah berkurang. Demi membentuk badan yang
lebih perkarsa, gatt ini lantas berevolusi menjadi WTO pada 1 januari 1995.
Sebelumnya indonesia sudah memberikan restu melalui UU no. 7 tahun 1994. UU
yang ditanda tangani saat zaman pemerintahan soeharto merupakan persetujuan
sekaligus pengesahan atas Agreement Establishing World Trade
Organization (WTO) atau kesepakatan pendirian organisasi perdagangan
dunia.
Indonesia pada tahun yang sama juga menerima program World Bank atau
bank dunia yang merambah dunia pendidikan, proyek itu bernama University
Research For Graduate Education (URGE). Proyek ini diteruskan dengan
proyek-proyek lain yaitu, Development Of Undergraduate Education (DUE),
Quality Of Undergraduate Education (QUE). Proyek-proyek ini
dilaksanakan bukan untuk tujuan amal atau derma sosial melainkan untuk
meliberalisasi pendidikan. Proyek liberalisasi ini disusul dengan proyek yang
disponsori unesco yaitu Higher Educations For Competitiveness Project (Hecp).
Hecp ini dikemudian hari berevolusi menjadi Indonesia Managing Higher
Education For Relevance And Efficiency (IMHERE).
Dari perjalanan masuknya kapitalisme ke dunia pendidikan di
indonesia ini, maka muncul praktek-praktek yang nyata mengenai kapitalisme
yaitu dengan munculnya privatisasi pendidikan mulai merambah dunia
pendidikan indonesia pada tahun 2003 dengan kemunculan undang undang no. 20
tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional dan perubahan status empat
perguruan tinggi negeri (PTN) menjadi Badan Hukum Milik Negara (BHMN). PTN yang
berubah statusnya tersebut adalah UI, ITB, IPB, dan UGM. Wasana yang digulirkan
berkenaan dengan perubahan status ptn tersebut adalah otonomi kampus. Padahal
jika dirunut secara kronologis, otonomi kampus yang dimaksud hanya merupakan
eufemisme dari privatisasi. Hal ini bisa dimengerti, kerena pemerintah tidak
ingin terjadi gejolak dalam pelaksanaan privatisasi di kampus-kampus tersebut.
Akibat yang ditimbulkan dari privatisasi ptn tersebut diantaranya adalah
komodifikasi kampus dan kenaikan biaya operasional yang eksesnya langsung
dirasakan oleh mahasiswa dan calon mahasiswa. Wacana privatisasi pendidikan ini
makin menemukan momentumnya di indonesia, tatkala pemerintah mengajukan ruu
badan hukum pendidikan. Sedangakan komoditasi merupakan proses transformasi
yang menjadikan sesuatu menjadi komoditi atau barang untuk diperdagangkan demi
mendapatkan keuntungan. Maka komoditi pendidikan jelaslah merupakan implikasi
dari privatisasi pendidikan yang mana pendidikan difungsikan untuk mencari
keuntungan sebanyak-banyaknya. Maka implikasinya pendidikan sebagai privatisas
bercirikan:
1. Tujuan pendidikan dimakanai proses
pemebentukan manusia siap pakai untuk mengisi ruang-ruang usaha publik.
2. Peserta didik dianggap sebgai konsumen
pembeli produk pendidikan sebagai syarat masuk memasuki dunia kerja.
3. Fungsi pendidik atau guru dianggap sebagai
pekerja.
4. Pengelola pendidikan dianggap sebagai
manajer bisnis pendidikan.
5. Yayasan pendidikan, sekolah atau perguruan
tinggi dianggap sebagai investor.
6. SPP dianggap sebagai income dan
sumber penghasilan.
7. Kurikulum dianggap pesanan dari pemilik
modal.[6]
C.
Dampak Kapitalisme dalam Pendidikan
Peter Mclaren, sebagaimana yang dikutip Barton (2001), mengemukakan tiga
dampak kapitalisme terhadap pendidikan:[7]
1. Hubungan antara kapitalisme dan pendidikan
urban telah menyebabkan praktek-praktek sekolah yang lebih mendukung kontrol
ekonomi oleh kelas-kelas elit.
2. Hubungan antara kapitalisme dan ilmu
pengetahuan telah mendorong berkembangnya ilmu pengetahuan yang hanya bertujuan
mendapatkan profit material dibanding untuk menciptakan kehidupan global yang
lebih baik.
3. Perkawinan antara kapitalisme dan
pendidikan dan kapitalisme dan ilmu pengetahuan telah menciptakan fondasi bagi
ilmu pendidikan yang menekankan nilai-nalai korporasi dengan mengorbankan
nilai-nilai keadilan sosial dan martabat kemanusiaan.
D.
Menuju Pendidikan yang Memanusiakan dan Memerdekakan
Bilamana tata pendidikan yang berkeadilan dapat tercipta? Jawabnya bila
kita kita semua serius untuk mentransformasikan pendidikan ini menuju ke
pendidikan yang memanusiakan dan memerdekakan manusia yang terlibat dalam
pendidikan itu. Ada beberapa saran yang merupakan tindak lanjut dari hasil
telaah penulis buku kapitaisme pendidikan antara kommpetisi dan keadilan,
Francis Wahono dan sebagai hasil diskusi paper dengan bab viii buku
darmaningtyas. 1999. Pendidikan pada dan setelah krisis. (Yogyakarta:
pustaka pelajar dan lpist), hal. 151-193. Saran utama adalah menyangkut
perubahan paradigma dan pendekatan pendidikan. Perubahan paradigma dan
pendekatan, dari paradigma pendidikan “kompetitif” berpendekatan “sumber daya
manusia” diganti dengan paradigma pendidikan “keadilan sosial “ berpendekatan
“pemberdayaan manusia”. Yang mana hal itu tidak hanya merubah kebijakan
pendidikan nasional, tetapi juga menuntut diadakannya penuisan kembali uu
pendidikan nasional baru.pendidikan bukann sekedar system persekolahan tetapi
juga pendidikan terbuka masyarakat luas, dalam hal ini pendidikan bangsa yang
amat diperlukan, terlebih berhubungan dengan melanjutkan dan mengembangkan
momen reformasi, yang dalam artian sesungguhnya adalah transformasi cara
bernalar dan bertindak bangsa.
Saran kedua berasal dari telaah tentang beratnya tanggungan dan seriusnyna
ketimpangan ekonomi sosial kependidikan Indonesia. Implikasi beratnya
tanggungan dan seriusnya ketimpangan ekonomi sosila bangsa yang menimpa dan
yang menantang penyelenggara, penyelenggaraan, rumah tangga pelaku dan peserta
didik harus menjadi perhatian dan mempengaruhi kebijakan dan praktek
kependidikan nasional, regional maupun tingkat desa dan kampong. Pendekatan bottom-up yang
demokratis harus diterjemahkan dengan mendayakan dan mengisi sekolah-sekolah
dasar khususnya yang di desa-desa atau pelosok kampung dengan sistem
pembelajaran yang adil, terbuka dan menguatkan watak dan ketrampilan peserta
didik. Selain itu juga didisi sebagian besar dengan pembelajaran dan
pelatihan yang bermanfaat untuk tidak hanya berprodulsi tetapi juga untuk
hidup. Hidup ditandai dengan kesadaran akan eksistensi diri dan kontrol atas
apa yang diucapkan dan dikerjakan sehingga menuju ke semakin membuat membuat
manusia beradab.
Saran ketiga sebagai hasil diskusi paper dengan kesimpulan buku Darmaningtyas.[8] Saran
yang ketiga ini berkaitan dengan hal yang menyatakan bahwa sekolah bukanlah
tampat bisnis. Sinyalemen Darmaningtyas (1999:158-159) bahwa sekolah kita yang
mempunyai jumah siswa dari TK sampai SMA per tahun rata-rata 37 juta adalah
pasar besar untuk perusahaan-perusahaan swasta (penerbit buku pelajaran,
alat-alat tulis, kain seragam, biro wisata dlsb) adalah benar adanya. Guru dan
lembaga sekolah juga ikut berbisnis, dengan menjadi rekanan perusahaan, tetapi
juga dengan membisniskan kursi pendidikan melalui dana sumbangn pembangunan
lenngkap dengan tawar-menawarnya serta dengan jual beli nilai oleh
sementara oknum guru, melalui les maupun langsung di atas kertas garapan. Kalau
kesejahteraan guru betul-betul ditingkatkan ke layak dan anggaran pendidikan pemerintah
meningkat drastis, maka secara otomatis pembisnisan kependidikan dapat amat
dikurangi dalam waktu singkat.
DAFTAR PUSTAKA
Dawam, Ainurrofiq. Emoh sekolah, menolak
“komersialisasi pendidikan dan kanibalisme intelektual” menuju pendidikan
multikultural. Inspeal ahimsakarya press. Yogyakarta, 2003.
Wahono, Francis. Kapitalisme Pendidikan
antara kompetisi dan keadilan. Iinsist Press. Yogyakarta, 2001.
Rahardjo, Dawam, Kapitalisme dulu dan
sekarang, Jakarta: lp3es, 1987.
op., cit, imam machali, editor, pendidikan
islam dan tantangan globalisasi.
Nuryatno, Agus. Madzhab
pendidikan kritis, menyingkap relasi pengetahuan, politik, dan kekuasaan. Yogyakarta
: Resist Book, 2008.
[1] Ainurrofiq Dawam, Emoh sekolah, menolak “komersialisasi pendidikan dan kanibalisme
intelektual” menuju pendidikan multikultural. (Yogyakarta : Inspeal Ahimsakarya
Press, 2003), Hlm. 119-120.
[2] Francis
Wahono, Kapitalisme pendidikan antara
kompetisi dan keadilan, (Yogyakarta : Insist Press, 2001) hlm. 3.
[7] Agus Nuryatno, Madzhab pendidikan kritis, menyingkap relasi pengetahuan,
politik, dan kekuasaan. (Yogyakarta : Resist Book, 2008), hlm. 57.