Thursday, 8 November 2012

MAKALAH PENDIDIKAN SEBAGAI KAPITAL


PENDIDIKAN SEBAGAI KAPITAL
Makalah Ini Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Sosiologi Pendidikan
Dosen Pengampu : Drs. Nur Hamidi, M.A



 








                                                                    
Disusun Oleh :
Hani Septianasari                  (10410054)
Befika Fitriya Dewi              (10410058)
Dedi Nur Hidayat                (10410061)
Za’im Ghufran                      (10410063)
Shubhi Rosyad                     (10410064)


JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
2012






BAB I
PENDAHULUAN

Dalam Era Globalisasi saat sekarang ini, kita dapat melihat sekaligus merasakan  semangkin ketatnya persaingan untuk mendapatkan pekerjaan. hal ini di perburuk dengan keadaan alam yang terasa sudah tidak menyediakan kebutuhan-kebutuhan yang di perlukan oleh manusia pada khususnya. Oleh karena itu, manusia sebagai makhluk yang memiliki kecerdasan yang dapat mengolah Sumber Daya Alam (SDA) yang ada sebagai nilai guna yang lebih. Tidak hanya pada pengolahan alam, namun terlebih lagi pada syarat-syarat atribut yang di gunakan untuk kualifikasi dalam bidang sektor-sektor pekerjaan yang ada. Tolak ukur yang pertama dalam kualifikasi pekerjaan adalah pendidikan. Oleh sebab itu, semangkin tinggi tingkat pendidikan seseorang maka semangkin besar peluang untuk mendapat pekerjaan yang layak dan baik itulah jawaban umum di era global saat ini. Dalam perkembangan nya dahulu, Pendidikan dalam pandangan tradisional selama sekian dekade dipahami sebagai bentuk pelayanan sosial yang harus diberikan kepada masyarakat, dalam konteks ini pelayanan pendidikan sebagai bagian dari public service atau jasa layanan umum dari Negara kepada masyarakat yang tidak memberikan dampak langsung bagi perekonomian masyarakat, sehingga pembangunan pendidikan tidak menarik untuk menjadi tema perhatian, kedudukannya tidak mendapat perhatian menarik dalam gerak langkah pembangunan.
Opini yang berkembang justru pembangunan sektor pendidikan hanyalah sektor yang bersifat memakan anggaran tanpa jelas manfaatnya (terutama secara ekonomi). Pandangan demikian membawa orang pada keraguan bahkan ketidakpercayaan terhadap pembangunan sektor pendidikan sebagai pondasi bagi kemajuan pembangunan disegala sektor. Ketidakyakinan ini misalnya terwujud dalam kecilnya komitmen anggaran untuk sektor pendidikan. Mengalokasikan anggaran untuk sektor pendidikan dianggap buang-buang uang yang tidak bermanfaat. Akibatnya alokasi anggaran sektor pendidikan pun biasanya sisa setelah yang lain terlebih dahulu. Cara pandang seperti itu sekarang sudah mulai tergusur sejalan dengan ditemukannya pemikiran dan bukti ilmiah akan peran dan fungsi vital pendidikan dalam memahami dan memposisikan manusia sebagai kekuatan utama sekaligus prasyarat bagi kemajuan pembangunan dalam berbagai sektor.
Konsep pendidikan sebagai sebuah investasi dalam bentuk Human Capital (Modal Manusia) telah berkambang secara pesat dan semakin diyakini oleh setiap Negara bahwa pembangunan sektor pendidikan untuk meningkatkan modal manusia merupakan prasyarat kunci bagi pertumbuhan sektor-sektor pembangunan lainnya.
  1. Rumusan Masalah
Dari latar belakang di atas dapat di rumuskan suatu masalah yakni:
  1. Apa yang di maksud dengan Human Capital (Modal Manusia)?
  2. Bagaimana perkembangan teori-teori Human capital?
  3. Mengapa pendidikan sebagai Human Capital ?
  4. Bagaimana perkembangan pendidikan sebagai Human Capital ?
  5. Bagaimana pengelolaan pendidikan sebagai Human Capital di indonesia ?











BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Kapital
Secara etimologis, kapital berasal dari kata “capital” yang akar katanya dari kata latin, caput berarti “kepala”. Adapun artinya dipahami adalah dana, persediaan barang, sejumlah uang dan bungan uang pinjaman.[1] Kapital didalam kamus ilmiah adalah utama atau inti (seperti kata capital city yang berarti kota yang utama). Kapital dalam pengertian ekonomi sering diidentikkan dengan modal.[2] Akan tetapi “capital” tidak diterjemahkan sebagai modal seperti lazimnya diartikan banyak orang. Alasan tersebut dikemukakan oleh Lawang (2003:3) dalam bukunya Kapital Sosial: dalam Perspektif Sosiologik Suatu Pengantar.
Alasan yang pertama, capital (inggris) memang berarti modal, boleh dalam bentuk yang biasanya digunakan untuk berbelanja barang kapital fisik yang memungkinkan investasi dapat berjalan. Dalam pengertian ini tampaknya tidak ada keberatan berarti yang menyangkut pengertian kapital. Kedua, dalam bahasa Indonesia orang sering menggunakan istilah “modal dengkul” artinya tidak ada uang untuk dijadikan modal bagi belanja barang kapital fisik, kecuali tenaga orang itu sendiri (tenaga fisik). Tenaga fisik tidak bisa dipisahkan dengan keterampilan, karena keterampilan hanya dapat diwujudkan menggunakan tenaga fisik dalam ukuran penggunaan kalori besar/ kecil. Tetapi tidak semua penggunaan tenaga fisik digabungkan dengan keterampilan. Jalan kaki membutuhkan tenaga fisik, akan tetapi bukanlah suatu keterampilan sebagai bentuk kapital manusia. Alasan itulah maka konsep kapital tidak diterjemahkan sebagai modal. Ketiga,  tmerupakan alasan penulis sendiri, konsep kapital berkait dengan suatu investasi. Oleh karena itu, kapital berhubungan dengan suatu prose yang cukup panjang yang tidak dapat langsung digunakan seperti halnya “dengkul” yang ada di depan mata dan siap digunakan.

B.     Pendidikan Sebagai Kapital Manusia
Konsep capital manusia diperkenalkan oleh Theodore w. Schultz lewat pidatonya yang berjudul “ Investment in human capital” dihadapan kepada para ekonom Amerika pada tahun 1960. Sebelumnya para ekonom hanya mengenal capital fisik berupa alat-alat,mesin dan perlatan produktif lainnya yang diperkirakan memberikan kontribusi kepada pertumbuhan ekonomi dan pembangunan.[3]
Gagasan tersebut mengandung makna bahwa proses perolehan pengetahuan dan keterampilan melalui pendidikan bukan sekedar sebagai suatu kegiatan konsumtif, melainkan suatu bentuk investasi sumber daya manusia. Pendidikan, sebagai suatu sarana pengembangan kualitas manusia, memiliki kontribusi langsung terhadap pertumbuhan pendapatan negara melalui peningkatan keterampilan dan kemampuan produksi tenaga kerja.
Dari gagasan tersebut, mulai berkembang berbagai batasan pengertian tentang kapital manusia. Ace Suryadi (1999: 52) dalam bukunya Pendidikan, Investasi SDM, dan Pembangunan mengemukakan bahwa kapital manusia menunjuk pada tenaga kerja yang merupakan pemegang kapital sebagaimana tercermin di dalam keterampilan, pengetahuan, dan produktivitas kerja seseorang.
Elinor Ostrom (2000: 175) melihat kapital manusia sebagai pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh seseorang yang diperlukan untuk melakukan suatu kegiatan. Sementara Robert M. Z Lawang (2004:10) merumuskan kapital manusia sebagai kemampuan yang dimiliki seseorang melalui pendidikan, pelatihan dan/ atau pengalaman dalam bentuk pengetahuan dan keterampilan yang perlu untuk melakukan kegiatan tertentu.[4]
Capital manusia diciptakan dengan mengubah manusia dengan memberikan mereka keterampilan dan kemampuan yang memampukan mereka bertindak dengan cara-cara baru. Capital fisik berwujud, ia diwujudkan dalam bentuk materi yang jelas. Adapun capital manusia tidak berwujud, diwujudkan dalam keterampilan dan pengetahuan yang dipelajari individu. Capital fisik memudahkan aktivitas produktif, begitu juga capital manusia
Alasan mengapa pendidikan sebagai kapital manusia karena Pendidikan merupakan investasi yang paling penting dalam modal manusia untuk menjawab tantangan global pada saat ini. Oleh karena itu keahlian dan kecakapan seseorang dalam menghadapi persaingan tenaga kerja sangat dipengaruhi oleh seberapa tinggi dan luasnya pendidikan yang dimiliki oleh masing-masing individu. Diperlukannya usaha-usaha dan program-program untuk menciptakan sumber daya manusia yang unggul dan bermutu tinggi untuk menghadapi persaingan internasional karena dunia kerja sangat menunutut untuk memperoleh sumber daya manusia yang bervarietas tinggi.
Pengakuan terhadap capital manusia melalui pendidikan formal diwujudkan dalam bentuk ijazah pendidikan. Sedangkan pengakuan terhadap capital manusia yang didapat melalui pendidikan nonformal ditunjukkan oleh penerimaan terhadap serifikat yang dimiliki. Dan pendidikan informal biasanya tidak melalui ijazah atau sertifikat yang dimiliki, tetapi cenderung bersifat informal. Dengan kata lain, masyarakat mengakui seseorang memiliki suatu pengetahuan, keterampilan, kemampuan atau atribut serupa lainnya yang diperlukan oleh masyarakat seperti kemampuan memijat atau pengobatan alernatif.

C.    Pendidikan sebagai Kapital Sosial
Menurut Piere Bourdieu (1986), kapital sosial sebagai sumber daya aktual dan potensial yang dimiliki oleh seseorang berasal dari jaringan sosial yang terlembaga serta berlangsung terus-menerus dalam bentuk pengakuan dan perkenalan timbal balik (dengan kata lain, keanggotaan dalam kelompok sosial) yang memberikan kepada anggotanya berbagai bentuk dukungan kolektif.
Sementara Robert M.Z lawang (2004) mendefinisikan kapital sosial sebagai semua kekuatan sosial komunitas yang dikonstruksiikan oleh individu atau kelompok dengan mengacu pada struktur sosial yang menurut penilaian mereka dapat mencapai tujuan individual dan/ atau kelompok secara efisien dan efektif dengan kapital lainnya.
Dari berbagai definisi diatas dapat disimpulkan bahwa kapital sosial merupakan investasi sosial, yang meliputi sumber daya sosial seperti jaringan, kepercayaan, nilai, dan norma serta kekuatan menggerakkan dalam struktur hubungan sosial untuk mencapai tujuan individual dan/ atau kelompok secara efektif dan efisien dengan kapital lainnya.
Kapital sosial menurut Coleman (1990) memiliki berbagai bentuk yaitu kewajiban dan harapan, potensi informasi, norma dan sanksi yang efektif, hubungan otoritas, dan organisasi sosial yang dapat digunakan secara tepat. Sedangkan menurut Pratikno, dkk (2001) menemukan berdasarkan studi literatur ada tiga level bentuk kapital sosial, yaitu nilai (terdiri dari simpati, rasa berkewajiban, rasa percaya, resiprositas, dan pengakuan timbal balik), institusi (mencakup keterlibatan umum sebagai warga negara, asosiasi, jaringan), dan mekanisme (meliputi kerjasama dan sinergi antar kelompok)
Dari dua pendapat diatas, dapat dirumuskan secara sederhana bahwa kapital sosial adalah investasi sosial dalam stuktur hubungan sosial untuk meraih tujuan yang diharapkan. Adapun yang dimaksud investasi sosial disini adalah sumber daya sosial seperti jaringan, kepercayaan, nilai, dan norma. Jaringan sosial adalah hubungan antar individu yang memiliki makna subyektif yang berhubungan atau dikaitkan dengan sesuatu berbagai simpul dan ikatan. Zucker (1986) memberi batasan kepercayaan sebagai seperangkat harapan yang dimiliki bersama-sama oleh semua yang berada dalam pertukaran. Sedangkan nilai dipahami sebagai gagasan mengenai apakah sesuatu pengalaman berarti, berharga, bernilai, dan tidak pantas. Dan norma sebagai sumber daya social terakhir, dipahami sebagai aturan main bersama yang menuntun perilaku seseorang. Norma memberikan kita suatu cara dimana kita mengorientasikan diri kita terhadap orang lain.
Ketika sesorang mengikuti  pendidikan formal dan informal, maka dia akan memperoleh segala sumber daya sosial seperti jaringan, kepercayaan, nilai dan norma. Seiring bertambah banyak kita mengikuti pendidikan formal maupun informal, maka jaringan sosial yang kita dapat juga akan semakin banyak dan luas. Terutama dalam pendidikan formal, ketika seseorang menyelesaikan studi disuatu sekolah atau perguruan tinggi, maka ia memperoleh predikat sebagai alumni.  Capital sosial yang diolah dari sumber daya jaringan alumni akan bertambah kuat bila orang tersebut mampu menciptakan suatu derajat kepercayaan antara dirinya dengan para alumni lainnya. Selain itu, ketika dia masih sebagai siswa atau mahasiswa, dia juga memperoleh nilai dan norma tertentu. Biasanya nilai dan norma tentang kerja keras, jujur, santun, dan lainnya yang diperlukan dalam kehidupan sehari-hari. Bila kesemua itu dapat dikelola dengan baik, maka capital sosial yang dimiliki akan semakin kuat.

D.    Pendidikan sebagai Kapital Budaya
Dari pendapat beberapa ahli mengenai capital budaya, dapat disimpulkan bahwa capital budaya merupakan kepemilikan kompetensi atau pengetahuan culture yang menuntun selera bernilai budaya dan pola-pola konsumsi tertentu, yang dilembagakan dalam bentuk kualifikasi pendidikan.
Menurut Lawang (2004:16-18), Bourdieu menjelaskan capital budaya dalam tiga dimensi: yaitu dimensi manusia yang wujudnya adalah badan, objek dalam bentuk apa saja yang pernah dihasilkan oleh manusia dan institusional, khususnya menunjuk pada pendidikan. Dimensi manusia dari capital budaya adalah embodied state yaitu keadaan yang membadan atau keadaaan yang terwujud dalam badan manusia atau yang menyatu seluruhnya dengan manusia sebagai satu kesatuan. Sementara dimensi objek dari capital budaya, dikenal sebagai objectified state yaitu suatu keadaan yang sudah dibendakan atau dijadikan objek oleh manusia. Adapaun dimensi institusional dari capital budaya menunjukkan suatu keadaan dimana benda-benda itu sudah menunjukkan entisitas yang sama sekali terpisah dan mandiri, yang diperlihatkan dalam system pendidikan. Dengan demikian, capital budaya menunjuk yang pada keadaan yang berwujud potensial, bagi seseorang yang diuangkan atau dipertukarkan dengan kapital-kapital lainnya.
Dari pengertian tentang capital budaya dan penjelasannya tampak jelas bahwa pendidikan memberikan seseorang modal pengetahuan dan kompetensi yang dibutuhkan untuk membuat pembedaan atau penafsiran nilai. Pendidikan membentuk kompetensi dan pengetahuan cultural seseorang. Kompetensi dan pengetahuan cultural tersebut memberikan seseorang preferensi dalam berpikir,bersikap, bertindak dan berperiaku dalam bahasa. Nilai-nilai,asumsi-asumsi dan model-model tentang keberhasilan dan kegagalan,cantik dan jelek, indah dan buruk, sehat dan sakit, sopan dan asalan.

E.     Pendidikan sebagai Kapital Simbolik
Dalam pandangan Bourdieu (1977:183), capital simbolik merupakan suatu bentuk capital ekonomi fisikal yang telah mengalami transformasi dan karenannya telah tersamarkan, menghasilkan efeknya yang tepat sepanjang, menyembunyikan fakta bahwa ia tampil dalam bentuk-bentuk capital ‘material’ yang adalah pada hakikatnya sumber efek-efeknya juga. Pengertian tersebut memanglah masih sulit dipahami, maka dari itu, mari kita jelaskan capital simbolik dengan contoh. Katakanlah seseorang yang barusan mendapatkan undian sebanyak Rp 500 milyar akan masuk kedalam ekonomi atas. Namun orang ini belum tentu memiliki capital budaya dan simbolik yang tinggi.
Berbeda dengan seseorang yang berasal dari keluarga kaya, melalui sosialisasi atau reproduksi social, memperoleh jenis pendidikan, gaya,  rasa, dan selera tertentu tentang sesuatu. Pembedaan orang dalam pendidikan, gaya, rasa, dan selera tertentu tentang sesuatu ( makanan, pakaian, perabotan rumah, music, drama, sastra, lukisan, film, fotografi, dan preferensi etis lainnya), pada gilirannya member dampak pada perbedaan orang dalam prestise, status, otoritas, dan kehormatan social. Dengan kata lain, keterampilan mengatur symbol social tidak serta merta atau segera diperoleh seseorang ketika dia mendapatkan capital ekonomi yang tinggi, karena keterampilan ini diperoleh melalui proses yang panjang melalui pendidikan atau reproduksi social lainnya.

F.     Hubungan antara Kapital Manusia, Sosial, Budaya, dan Simbolik dengan Pendidikan
Pendidikan memiliki peranan penting sebagai agen sosialisasi terhadap semua capital yang ada(capital manusia,social,budaya, dan simbolik), selain sebagai agen sosialisasi, pendidikan juga berperan sebagai agen hegemoni dalam capital budaya dan capital simbolik. Dengan demikian pendidikan menjadi simpul dari pertemuan semua capital yang ada, secara ringkas melalui table dibawah ini.
  Jenis Kapital
Atribut
Peranan Pendidikan
Manusia
Pengetahuan,ketrampilan,kemampuan,dan stribut serupa lainnya
Agen sosialisasi
Sosial
Jaringan alumni,kepercayaan dan kerja sama
Agen sosialisasi
Budaya
Kompetensi atau pengetahuan kultural
Agen sosialisasi dan hegemonik
Simbolik
Kemampuan mengatur Simbol
Agen sosialisasi dan hegemonik


BAB III
KESIMPULAN
Jadi perlu kita sadari bahwa pentingnya peranan pendidikan sebagai Human Capital karena modal manusia untuk tetap hidup bukan hanya ditentukan oleh modal yang berupa materi saja akan tetapi pendidikan dibutuhkan untuk jembatan menuju manusia yang berwawasan luas.berdedikasi tinggi dan mempunyai skill yang mumpuni untuk menghadapi tantangan global saat ini Dunia usaha pada masa sekarang ini telah banyak menuntut manusia yang mempunyai skill yang spesifik untuk turut andil pada peningkatan produksi,oleh karena itu pendidikan dituntut untuk dapat menciptakan sumber daya manusia yang berkualitas,berdaya saing serta menpunyai keahlian dan ketrampilan.
Dalam hal ini Pendidikan bukan hanya Pendidikan formal seperti SD,SLTP.SMA dan Perguruan Tinggi akan tetapi termasuk Pendidikan latihan seperti Training Centre, kursus, Balai latihan khusus dll.
James S. Colemen (2008:373), menunjukan bahwa sebagaimana kapital fisik yang di ciptakan dengan mengubah materi untuk membentuk alat yang memudahkan produksi, kapital manusia diciptakan dengan mengubah manusia dengan memberikan mereka keterampilan dan kemampuan yang memampukan mereka bertindak dengan cara-cara yang baru. Perbedaan kapital fisik dengan kapital manusia dapat kita lihat dalam wujudnya. Kapital fisik itu berwujud sedangkan kapital manusia tidak berwujud.




[1] Damsar, Pengantar Sosiologi Pendidikan, Jakarta: Kencana, 2011, hal. 173
[2] Fransiska, dkk, Pengertian Capital “Modal”, http://kelompok-capital.blogspot.com/ 2009/08/pengertian-capital-modal.html, diakses pada tanggal 20 Oktober 2012 pukul 21.30
[3] Ibid., hal 177
[4] Ibid., hal 178

4 comments: