Friday, 4 May 2012

MAKALAH SEJARAH PENDIDIKAN ISLAM DI INDONESIA SETELAH KEMERDEKAAN

MAKALAH SEJARAH PENDIDIKAN ISLAM DI INDONESIA SETELAH KEMERDEKAAN

Makalah ini disusun guna memenuhi tugas mata kuliah Sejarah Pendidikan Islam Dosen Pengampu : Dr Muqowim M.Ag




DISUSUN OLEH : Dedi Nur Hidayat (10410061)
Kelas : PAI E


PRODI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA 2012



BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang 
Islam adalah agama dakwah, artinya agama yang selalu mendorong pemeluknya untuk senantiasa aktif melakukan kegiatan dakwah, bahkan maju mundurnya umat islam sangat bergantung dan berkaitan erat dengan kegiatan dakwah yang dilakukannya. Dakwah adalah suatu aktifitas atau kegiatan yang bersifat menyeru atau mengajak kepada orang lain unutk mengamalkan ajaran islam. Dakwah merupakan suatu prosespenyampaian ajaran islam yang dilakukan secara sadar dan sengaja. Aktifitas kegiatan dakwah dilakukan dengan berbagai cara atau metode dan direncanakan dengan tujuan mencari kebahagian hidup dengan dasar keridhoan Allah SWT. Dari keterangan di atas maka Pentingnya mempelajari sejarah dakwah ini bagi para da’I, karena sebagai suatu pedoman, pegangan tamsil, dan tolak ukur agar para da’I bisa mencapai suatu keberhasilan dan menyebar luaskan dan meningkatkan mutu islam itu sendiri. Suatu pesan yang disampaikan, yang mana mendapat respon yang baik dari para mad’u tersebut bila mana seorang da’I mengetahui, memahami dunia dakwah tersebut baik meliputi sosiologi dakwah, psikologu dakwah dan sejarah keda’waan. Berbagai rintangan, hambatan dalam menyampaikan dakwah ini tidak sedikit dari anbiya’. Merasakannya. Seperti halnya nabi Muhammad SAW, begitu halnya masa setelah beliau yakni masa Khulafa’ur rosyidin, bani umayah, sampai masa saat ini, mereka tetap melaksanakan dakwah tersebut (menyampaikan Islam keseluruh dunia) dan akhirnya mereka pun berhasil dan pada pembahasan ini, masa setelah dakwah sebelum kemerdekaan yakni pada masa penjajahan, kami berusaha untuk mengmbil tamsil dari perjuangan mereka. Dengan pengertian dakwah diatas, otomatis dakwah sudah ada sejak islam masuk negara kita. Maka dari sini kami pemakalah mencoba untuk menjelaskan dakwah-dakwah yang ada sesudah kemerdekaan dan pada masa orde lama supaya lita bisa mengetahui betapa semangatnya mereka semua dalam menyebarkan ajaran-ajaran islam pada masa dahulu dan dengan adanya makalah ini kami berharap untuk bisa menanamkan motivasi dan semangat pada para Da’i untuk menyebarkan ajaran yang mulian yakni agama islam.

B. Rumusan Masalah:
 a) Bagaimana dakwah yang dilakukan pada masa setelah kemerdekaan?
b) Apa saja tantangan yang dihadapi oleh para Da’i pada masa setelah kemerdekaan?
c) Bagaimana dakwah dilakukan pada masa orde lama sampai ke masa orde baru?
d) Kendala apa saja yang dihadapi para Da’i dalam penyebaran ajaran islam pada masa orde lama sampai orde baru?



BAB II PEMBAHASAN

A. Sejarah Dakwah Di Setelah Kemerdekaan 

a). Sejarah Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia (dewan da’wah). 
Masa orde lama (1959-1965) tercatat sebagai masa paling gelap dalam sejarah kehidupan kebangsaan indonesia. persiden sukarno mencanangkan konsepsi presiden yang secara operarional terwujud dalam bentuk demokrasi terpimpin. demokrasi terpimpin memusatkan seluruh kekuasaan ditangan presiden. para pemimpin nasional mochtar lubus, k.h. isa anshari, mr. assaat, Mr. Sjafruddin Prawiranegara, Boerhanoeddin Harahap, S.H., M. Yunan Nasution, Buya Hamka, Mr, Kasman Singodimedjo dan K.H E.Z. Muttaqin yang bersikap kritis terhadap politik demokrasi terpimpin, ditangkap dan dipenjarakan tanpa proses pengadilan. puncak dari masa penuh kegelapan itu ialah pecahnya peberontakan berdarah g.30.s/pki. Sudah seluruh kekuatan bangsa yang antikomunis bangkit menghancurkan pemberontakan tersebut, datanglah zaman baru yang membawa banyak harapan. yaitu era orde baru yang bertekad melaksanakan pancasila dan uud 1945 secara murni dan konsekuen. pada masa inilah, para pemimpin bangsa yang di penjarakan oleh rezim orde lama, dibebaskan. Para pemimpin nasionali islami yang pada dasarnya tidak dapat duduk berpangku tangan, seperti mohammad natsir dan prawoto mangkusasmito mulai merancang gagasan untuk berpartisipasi penuh mendukung pemerintahan orde bari. pada mulanya mereka mengharapkan pemerintah bersedia merehabilitasi partai politik masyumi yang dipaksa membubarkan diri oleh presiden sukarno. musyawarah nasional iii persatuan sarjana hukum indonesia (persahi) menyatakan: “bahwa pembubaran masyumi, partai sosialis indonesia (psi) dan kesatuan aksi mahasiswa indonesia (kami), yuridis formal tidak syah, dan yuridis material tidak beralasan”. namun, pembubaran masyumi, ternyata bukanlah masalah hukum semata-mata. pembubaran tersebut adalah masalah politik. oleh karena itu ketika permintaan tersebut. oleh berbagai pertimbangan tidak dapat dipenuhi pemerintah, tokoh-tokoh nasionalis islami itu tidak ngotot, juga tidak berputus harapan. Bagi mereka, aktivitas hidup ini semata-mata dalam rangka beribadah dan berdakwah untuk meraih keridhaan ilahi, kerceimpung di lapangna politik,bagi mereka merupakan bagian dari ibadah dan dakwah. maka ketika meria tidak lagi mendapat kesempatan untuk berkiprah di lapangan politik, jalan ibadah dan dakwah dalam bentuk lain masih terbuak sangat lebar. dalam kata-kata pak natsir, dulu berdakwah lewat jalur politik, sekarang berpolitik melalui jalur dakwah. Demikianlah maka pada 26 februari 1967, atas undangan pengurus masjid al-munawarah,kapung bali, tanah abang, jakarta pusat, para alim ulama dan zu’ama berkumpul untuk bermusyawarah, membahasa, meneliti, dan menilai beberapa masalah, terutama yang rapat hubungannya dengan usaha pembangunan umat, juga tentang usaha mempertahankan aqidah didalam kesimpangsiuran kekuatan-keuatan yang ada dalam masyarakat. Musyawarah menyimpulkan dua hal sebagai berikut: menyatakan rasa syukur atas hasil dan kemajuan yang telah dicapai hingga kini dalam usaha-usaha dakwah yang secara terus menerus dilakukan oleh beerbagai kalangan umat, yakni para alim ulama dan para muballiqh secara pribadi, serta atas usaha-usaha yang telah dicapai dalam rangka organisasi dakwah. Memandang perlu (urgent) lebih ditingkatkan hasil dakwah hingga taraf yang lebih tinggi sehingga tercipta suatu keselarasan antara banyaknya tenaga lahir yang dikerahkan dan banyak tenaga batin yang ddicurahkan dalam rangka dakwah tersebut. untuk menindaklanjuti kesimpulan pada butir kedua di atas, musyawarah para ulama dan zu’ama mengkonstatir terdapatnya berbagai persoalan, antara lain: 
(a). Mutu Dakwah yang didalamnya tercakup persoalan penyempurnaan sistem perlengkapan peralatan, peningkatan teknik komunikasi, lebih – lebih lagi sangat dirasakan perlunya dalam usaha menghadapi tantangan (konfrontasi) dari bermacam-macam usaha yang sekarang giat dilancarkan oleh penganut agama-agama lain dan kepercayaan-kepercayaan (antara lain faham anti tuhan yang masih merayap di bawah tanah), katolik, protestan, hindu, budha, dan sebagainya terhadap masyarakat islam 
(b). Planning dan Integritasi yang didalamnya tercakup persoalan-persoalan yang diawali oleh peneliti (research) dan disusul oleh pengitegrasian segala unsur dan badan-badan dakwah yang telah ada dalam masyarakat ke dalam suatu kerja sama yang baik dan berencana. Dalam menampung masalah-masalah tersebut, yang mengandung cakupan yang cukup luas dan sifat yang cukup kompleks, maka musyawarah alim ulama itu memandang perlu membentuk suatu wadah yang kemudian dijelmakan dalam sebuah yayasan yang diberi nama dewan dakwah islamiyah indonesia disingkat dewan dakwah. pengurus pusat yayasan ini berkedudukan di ibu kota negara, dan dimungkinkan memiliki perwakilan di tiap-tiap ibu kota daerah tingkat i serta pembantu perwakilan di tiap-tiap daerah tingkat ii seluruh indonesia. Dimana perlu dan dalam keadaan mengizinkan, dewan dakwah dapat tampil mengisi kekosongan, antara lain menciptakan suatu usaha berbentuk atau bersifat dakwah, usaha mana sebelumnya belum pernah diadakan, seperti emngadakan pilot projek dalam bidang dakwah. 

Musyawarah alim ulama juga merumuskan program kerja sebagai penjabaran dari landasan kebijaksanaan diatas. program kerja tiga pasa itu adalah sebagai berikut: 
(a).Mengadakan pelatihan-pelatihan atau membantu mengadakan pelatihan bagi muballighin dan calon-calon muballghin 
(b). Mengadakan research (penelitian) dan membantu mengadakan penelitian, yang hasilnya dapat segera dimanfaatkan bagi perlengkapan usaha para muballighin pada umumnya. 
(c).Menyebarkan aneka macam penerbitan, antara lain buku-buku, brosur, dan atau siaran lain yang terutama ditunjukan untuk memperlengkapi para muballighin dengan ilmu pengetahuan, baik ilmu agama maupun ilmu pengetahuan umum lainnya, guna meningkatkan mutu dan hasil dakwah. usaha ini diharapkan dapat mengisi kekosongan-kekosongan di bidang lektur, yang khusus diperlukan dalam masyarakat. 

Peran Dakwah menjangkau seluruh aspek kehidupan manusia dalam upaya menjadikan, “umat yang berbahagia di dunia dan berbahagia di akhirat dan terhindar dari siksaan neraka, dengan izin Allah". Sedangkan politik adalah seni mengatur masyarakat. Kehidu¬pan politik sering ditandai dengan konflik kepentingan antara kelompok masyarakat. Umumnya politik berusaha mereali¬sasikan gagasan ideologi, menjadi realitas sosial yang ideal, menurut wawasan masing masing. Kepentingan dimaksud dapat bersifat politis, ekonomis, kultural, maupun ideologis. Memperhatikan perjuangan politik umat Islam di tanah air Indonesia tampak peranan dari politik Islam mengalami penurunan secara konstan. Sebagai akibat kelemahan internal dalam tubuh umat. Atau, mengalami penurunan efektivitas peran, sebagai akibat “erosi fungsional”. Penurunan kualitas umat dikarenakan faktor ikatan jamaah, unsur kepemim¬pinan, dan melemahnya ukhuwah. Faktor eksternal, utamanya oleh pere¬kayasaan sosial dan politik dari pihak penguasa. Kecendrungan erosi fungsional dan mengakarnya sifat ketergantungan serta “hanyut mengikuti arus” lebih menonjol. Bisa jadi karena perekayasaan politik datang dari luar. Perekayasaan politik oleh pihak yang selalu berupaya melumpuhkan peranan politik rakyat dan umat Islam khususnya, terasa amat efektif berlaku sejak awal dasawarsa 1960-an. Kenyataannya tampak pada, proses pembangunan sangat berorientasi pada aspek ekonomi dan sangat pragmatik. Langsung maupun tidak langsung, keadaan ini berpengaruh pada proses penumpulan pandangan ideologis masyarakat Indonesia. b). Dakwah Pada Masa Orde Baru Di masa pemerintahan Soeharto, atau era Orde Baru, secara logika politik, mestinya Partai Masyumi dan PSI yang jelas-jelas menjadi lawan dari penguasa Orde Lama itu, sudah semestinya mendapatkan haknya untuk direhabilitir. Apalagi jika melihat prinsip-prinsip Partai Masyumi, serta garis kejuangan para pemimpin umat yang memimpin partai Islam terbesar itu, sangat tegas menentang Komunis. Sementara, Pemerintahan Orde Baru yang hadir sesudah itu, seiring dengan dengan dibubarkannya partai komunis. Pemerintahan Orde Baru itu, juga disebut sebagai anti komunis. Maka semestinya, rehabilitasi partai Masyumi untuk kembali hidup seperti di zaman Orde Baru, tidak ada alasan untuk terhalangi. Meskipun demikian, harapan itu tak pernah menjadi kenyataan. Ironisnya, para pemimpin Masyumi masih tetap disingkirkan. Berbagai intimidasi, masih di arahkan kepada pemimpin umat Islam itu. Di antaranya, ketika terjadi ”Petisi 50”, yakni pernyataan keperihatinan oleh pemimpin umat kepada Presiden Soeharto atas pidatonya di Pekanbaru, telah dijadikan sebagai alat rekayasa pelumpuhan potensi politik umat Islam. Peristiwa politik itu, telah menumbuhkan dalam tubuh umat bibit kekecewaan dan kekesalan. Namun, di antara umat dan pemimpin masih sanggup bertahan, karena masih tersisanya anti toxin di dalam urat nadi umat. Anti toxin itu adalah keyakinan hidup, wawasan Iman dan Islam, cinta¬ akan persatuan bangsa, dan setia kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia, serta anti komunis, yang tidak pernah kendor dalam hati umat Islam. Memang ada, sebahagian umat menghadapinya dengan pengendapan secara pasif. Uzlah, sambil menunggu masa berubah. Ada pula keyakinan, bahwa perubahan pasti datang. Hanya menunggu waktu ketika. Optiomisme itu, sebenarnya telah menguatkan diri umat. Tum¬buh disiplin dari dalam, dan tidak hanya sekedar tumbuh paksa dari luar. Atau, bukan pula disiplin, ibarat itik pulang petang, yang berbaris patuh teratur, di bawah komando sebilah ranting. Disiplin paksaan seperti itu, telah pernah dicoba diterapkan oleh Demokrasi Terpimpin. Dan paksaan-paksaan sedemikian itu, tidak diterima oleh ruh umat. Selama kurun 32 tahun (1966-1998), disiplin yang dipaksakan itu, berlaku di dalam pemerintahan Presiden Soeharto. Salah satu bukti politiknya, Partai Politik Islam Masyumi, dan juga PSI tidak pernah mendapatkan kembali halnya untuk dapat hidup kembali. Inilah, sebuah catatan sejarah. Bila kita amati kondisi umat pada dua era pemerintahan, di masa Orde Lama, atau juga di era Orde Baru, sasaran politik dan akibat yang dirasakan umat Islam, tetap sama, yakni meminggirkan umat Islam sebagai suatu kekuatan politik di Indonesia. Secara kuantitas jumlah umat Islam masih sangat dominan. Tapi, kenyataannya di arena politik Indonesia sejak masa Orde Lama, tidak terlalu banyak diperhitungkan. Bahkan, yang terjadi adalah adu kekuatan. Awalnya antara komunis, selanjutnya dengan sekuler, dan Islam-phobia. Komunis berha¬sil menginfiltrasi cukup jauh ke dalam tubuh Nasionalis kiri, dengan menguasai Front Nasional. Ini telah terjadi di zaman Orde Lama. Di sisi lainnya, tanpa disadari oleh pihak tentara, telah pula terbuka peluang bagi pihak komunis untuk menjadi pemenang, dengan bubarnya Partai Politik Islam Masyumi dan Partai Sosialis Indonesia. Sepeninggal pemerintahan Presiden Soekarno, (sesudah tahun 1996), perlawanan yang dihadapkan kepada umat Islam tetap berlaku, dan terencana dengan apik oleh kelompok phobia Islam, dan kalangan salibiyah, serta kelompok sekuler, yang juga tidak pernah senang kepada peranan pemimpin Islam, di Republik ini. Kelompok-kelompok itu, telah ikut memanfaatkan. Berbagai semboyan menyudutkan Islam, seperti extrem kanan, fundamentalis, hijau royo-royo, secara sistematis ditampilkan. Kecemasan-kecemasan ini, juga tampak ketika sangat berperannya ICMI, ataupun Dewan Da’wah, dan ormas Islam lainnya, di dalam pemerintahan. Kadangkala, Dewan Da’wah dan ICMI, dianggap wadah kebangkitan serta pusat kekuatan umat Islam baru, di Republik Indonesia. Penilaian seperti ini, salah satu bukti paling nyata, adanya kelompok phobia Islam di negeri ini. c). Dakwah Pada Masa Reformasi Ketika era Reformasi melahirkan banyak partai-partai, maka banyak juga tampil partai-partai, yang berani menyatakan prinsip berasas Islam. Kehadiran partai-partai itu, masih tetap dilihat sebagai bahaya. Aliran politik Islam tetap dicurigai. Ada kecemasan tersendiri. Hal ini telah terjadi, mungkin dikarenakan politisi nasionalis yang bernafas dalam keterikatan dengan paham liberalisme ala barat, dan berdalih demokratisasi. Banyak pula yang mulai menghembus nafas dalam slogan Islam Yes, Partai Islam No. Ketika pimpinan umat dalam Majlis Ulama Indonesia (MUI), dan Dewan Da’wah, menyerukan kepada umat Islam di Indonesia, untuk tetap memilih calon-calon legislatif yang seaqidah iman atau beragama Islam, maka seruan itu, dinilai tidak proporsional. Seruan pemimpin umat Islam dianggap sangat meresahkan. Bahkan, dinilai membahayakan, bagi kelangsungan kehidupan bernasional. Sangat aneh yang terjadi, perkembangan politik umat Islam sangat lemah, di negeri yang jumlah umat Islamnya terbilang banyak. Perjuangan untuk memperoleh kekuasaan, adalah fenomena politik yang paling menonjol dalam masyarakat. Porsi kekuasaan yang diperoleh setiap kekuatan sosial masyarakat berujung pada menerjemahkan cita citanya menjadi kenyataan konkrit. Setiap kelompok sosial politik, lewat kekuasaan yang diperoleh, selalu berusaha melakukan alokasi otoritatif nilai nilai yang diyakininya. Demikianlah yang telah terjadi, sejak tahun 1960, tahun 1966, dan tahun 1998, di kala gerak dakwah dikebiri, dengan menyuntikkan serum NASAKOM, dan ASAS TUNGGAL. Demokratisasi yang dibungkus oleh stabilatas keamanan, sangat sering dijadikan penekan, untuk tujuan melemahkan peranan politik umat Islam, sejak dari masa Demokrasi Terpimpin. Akibat langsung yang tampak dan dirasakan adalah, banyak pemimpin umat yang menduduki pucuk pimpinan di partai Islam ditahan dan dipenjarakan. Mohamad Natsir dan Boerhanoeddin Harahap berada dalam tahanan politik dari tahun 1961 hingga 1967. Bapak Prawoto Mangkusasmito, Mohammad Roem, M.Yunan Nasution, E.Z. Muttaqin dan KH Isa Anshary, ditahan pula di Madiun pada tahun 1962. Demikian juga Ghazali Sjahlan, Jusuf Wibisono, Mr. Kasman Singodimejo di Sukabumi. Penangkapan dan penahanan terhadap S. Soemarsono, A. Mukti, Djanamar Adjam, KH.M. Syaaf dan lain. Kebanyakan pemimpin bekas partai Masyumi. Pemimpin kecil di daerah-daerah juga ikut merasakan tekanan-tekanan, setidak-tidaknya dikucilkan. Suatu dinamika perjalanan sejarah politik di Indonesia. Kemudian, banyak pula partai-partai yang telah membubarkan diri, karena berseberangan dengan kebijaksanaan pemerintah Presiden Soekarno. Namun, tetap dianggap berlawanan dengan Pemerintah Orde Baru. Partai Islam sangat menentang komunisme, tetapi masih tetap disebut, tidak sejalan dengan Orde Baru. Padahal, perjalanan sejarah pemerintahan Orde Baru, dimulai dengan menghapus semua paham politik komunis di Indonesia. Tetapi, gelar yang dicapkan dengan “kontra revolusi”, atau bekas “partai yang dilarang”, masih terus berjalan, hingga puluhan tahun kemudian. Walaupun zaman telah berganti, namun kekuatan umat Islam tetap didorong kepinggiran arena percaturan politik berbangsa. Berkaitan dengan hal tersebut di atas, timbul beberapa pertanyaan, di antaranya, apakah rasa nasionalisme Natsir dan kawan-kawan, yang pernah memimpin Partai Politik Islam Masyumi itu, masih diragukan ?. Padahal, Mohamad Natsir menilai, nasionalisme adalah fithrah manusia mencintai tanah air yang diyakini sebagai anugerah (rahmat) Allah. Agama Islam mengajarkan agar umatnya menjaga tanah airnya sebagai suatu suruhan Agama Islam. Nasionalisme menurut Natsir, harus mendapatkan nafas keagamaan agar tidak menimbulkan perasaan ta’ashub dan chauvinisme. Karena itu, sejak usia mudanya, Natsir selalu terlibat di dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia. Mohamad Natsir menerima pandangan dalam perjuangan, bahwa pembentukan sebuah negara bangsa (nation-state) adalah suatu keharusan. Negara Bangsa, adalah sebuah alat yang perlu untuk merealisasikan ajaran-ajaran Islam kedalam situasi konkrit.Mohamad Natsir menganut keyakinan bahwa politik harus ditundukkan kepada etika yang tinggi. Dengan cara itu, keinginan untuk berkuasa sendiri, tidak sesuai dengannya, dan paham menghalalkan segala cara, harus dihindari jauh-jauh. Salah paham terhadap Masyumi selalu saja ada. Namun, bila diteliti tujuan Masyumi di dalam anggaran dasarnya, tertera jelas adalah untuk memperjuangkan terlaksananya ajaran dan hukum Islam dalam kehidupan orang seorang, masyarakat, dan negara Republik Indonesia, dalam menuju keridhaan Allah. Dalam pandangan politik-nya, Masyumi sangat konsekwen menentang komunisme dalam segala bentuk. Pemaksaan kehendak kepada rakyat kecil, telah men-jauhkan masyarakat dari pemerintahnya. Pancasila seakan hanya dijadikan sebagai mantel. Pancasila tidak lagi menjadi falsafah hidup dalam kehidupan berbangsa. Ironis sekali yang terjadi. Organisasi agama juga tidak boleh berazaskan agamanya. Dalam proses sosial secara tidak sadar telah memasuki full grown sekularisme. Tanpa terasa dominasi golongan minoritas mulai mengganggu rasa keadilan masyarakat luas. Muncul usaha de-Islamisasi. Karena itu, era reformasi yang bergulir sesudahnya, di tahun 1998, sungguh menjadi harapan baru bagi rakyat Indonesia, menuju perubahan. Tetapi, ternyata reformasi belum lagi menyentuh hal-hal yang substasi dalam membangun kehidupan bernegara. Kelihatannya, reformasi baru pada tatanan bungkus saja. Esensi kekuasaan masih bertahan pada kelompok yang mengandalkan kekuatan politik yang besar. Belakangan, kekuasaan berpindah ke tangan yang menguasai sumber keuangan yang melimpah. Demokrasi jadi semacam komoditi yang diperjual-belikan. Masih terasa jauh dari kebenaran dan keadilan. Sementara, kekuatan umat Islam, masih dianggap mencemaskan. Status quo kekuasaan tetap menjadi latent terhadap umat Islam. Akhirnya, pendekatan pendekatan security terasa lebih menonjol. Rasa tanggung jawab dan partisipasi masyarakat menjadi terhambat. Namun perlu diingat bahwa pertanggungan jawab moral kepada umat kita, tidak mengizinkan kita pasif. Terutama semua kita yang oleh umum dianggap mempunyai kedudukan pemimpin. Bencanalah yang akan menimpa ketika semua golongan pemimpin di saat seperti itu, asyik merawati, lalu mendandani kehidupan masing-masing, dan kemudian tenggelam di dalamnya, sedangkan umat yang lebih lemah dibiarkan mencari nasib masing-masing.

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan
 a). Sejarah Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia (dewan da’wah). Masa orde lama (1959-1965) tercatat sebagai masa paling gelap dalam sejarah kehidupan kebangsaan indonesia. persiden sukarno mencanangkan konsepsi presiden yang secara operarional terwujud dalam bentuk demokrasi terpimpin. demokrasi terpimpin memusatkan seluruh kekuasaan ditangan presiden.
b). Dakwah Pada Masa Orde Baru Di masa pemerintahan Soeharto, atau era Orde Baru, secara logika politik, mestinya Partai Masyumi dan PSI yang jelas-jelas menjadi lawan dari penguasa Orde Lama itu, sudah semestinya mendapatkan haknya untuk direhabilitir. Apalagi jika melihat prinsip-prinsip Partai Masyumi, serta garis kejuangan para pemimpin umat yang memimpin partai Islam terbesar itu, sangat tegas menentang Komunis. Sementara, Pemerintahan Orde Baru yang hadir sesudah itu, seiring dengan dengan dibubarkannya partai komunis. Pemerintahan Orde Baru itu, juga disebut sebagai anti komunis. Maka semestinya, rehabilitasi partai Masyumi untuk kembali hidup seperti di zaman Orde Baru, tidak ada alasan untuk terhalangi. 
c). Dakwah Pada Masa Reformasi Ketika era Reformasi melahirkan banyak partai-partai, maka banyak juga tampil partai-partai, yang berani menyatakan prinsip berasas Islam. Kehadiran partai-partai itu, masih tetap dilihat sebagai bahaya. Aliran politik Islam tetap dicurigai. Ada kecemasan tersendiri. Hal ini telah terjadi, mungkin dikarenakan politisi nasionalis yang bernafas dalam keterikatan dengan paham liberalisme ala barat, dan berdalih demokratisasi. Banyak pula yang mulai menghembus nafas dalam slogan Islam Yes, 

B. Saran
Kami menyadari bahwa makalah kami ini jauh dari kesempurnaan. Maka dari itu, kami mengharapkan kritik dan saran yang konstruktif untuk kesempurnaan makalah ini, Akhirnya hanya kepada Allah kami mengharap ridha agar makalah ini bermanfaat khususnya untuk penulis dan pembaca pada umumnya.

No comments:

Post a Comment