PERKEMBANGAN
RASA AGAMA DARI ANAK-ANAK HINGGA REMAJA
Makalah ini disusun
guna memenuhi tugas individu mata
kuliah Psikologi Agama
Dosen Pengampu : Dra.
Hj. Susilaningsih, M.A
DISUSUN
OLEH :
Dedy eNHa (10410061)
111–
PAI D
PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
2012
A. PENDAHULUAN
Manusia
dipandang dari gejala-gejala jiwa yang terdalam sebagai suatu keyakinan yang
disebut agama. Berbicara mengenai agama tidak lepas dari pembicaraan tentang
rasa agama yang memang merupakan sesuatu yang harus kita ketahui mengingat
betapa pentingnya penanaman rasa agama pada tiap-tiap individu. Bahkan tidak
hanya sekedar itu, di berbagai sisi kehidupan rasa agama akan sangat berpengruh
terhadap sikap dan tingkah laku seseorang.
Dalam
pendidikan Islam rasa agama merupakan satu komponen dari tujuan pokok
pendidikan islam yang nantinya harus ditanamkan pada masing-masing individu
secara perlahan dengan tujuan agar dapat melekat pada diri individu tersebut.
Untuk mengetahui sejauh mana tujuan dari penanaman rasa agama berhasil atau
tidaknya hanya bisa dirasakan oleh masing-masing individu yang menerimanya.
Berhasil atau tidaknya pendidikan islam dalam mencapai tujuannya akan dapat
dilihat setelah dilakukannya refleksi diri terhadap seseorang, tujuan
pendidikan agama dapat dikatakan berhasil jika rasa agama yang ditanamkan telah
mengkristal pada diri individu yang menerima dan individu tersebut dapat
menjalankan perintah-perintah agama sesuai kesadaran diri berdasarkan hati
nurani tanpa disuruh oleh orang lain, jika tidak seperti itu maka belum bisa
dikatakan berhasil.
Kesadaran
agama adalah bagian atau segi yang terasa dalam pikiran dan dapat dilihat gejalanya
melalui introspeksi. Kesadaran terhadap tugas keagamaan juga bertahap dari masa
anak-anak hingga dewasa. Pendidikan dasar akan sanag berpengaruh pada
perkembangan selanjutnya. Mereka akan mengalami kadar rasa agama yang
berbeda-beda. Kadangkala mereka tinggi dalam hal beribadah, kadangkala turun
drastis, kadang juga sedang-sedang saja, tiap orang berbeda-beda. Mengingat
betapa pentingnya masalah rasa agama sehingga perlu dilakukan pembahasan
seperti yang akan dibahas dalam mini riset kali ini yakni tentang perkembangan
rasa agama dari anak-anak hingga remaja melalui analisis kasus.
B.
KASUS
Saya seorang
yang berasal dari keluarga yang religius, ayah saya seorang yang disegani oleh
penduduk desa karena beliau adalah sosok yang religius dan merupakan imam
masjid dan guru ngaji. Keturunan dari ayah maupun ibu saya semuanya dididik di
dunia pesantren dari kecil,
sehingga sejak dini rasa agama mereka telah tertanam dibuktikan dengan
kegiatan-kegiatan keagamaan yang mereka lakukan, tanpa ada perintah dari orang
tua mereka sudah melakukannya dengan kesadaran diri bahwa mereka sebagai orang
islam mempnyai kewajiban untuk shalat.
Itulah yang saya dapat dari cerita nenek saya tentang ayah dan ibu saya.
Mengenai diri
saya sendiri penanaman tentang rasa agama sudah saya dapatkan sejak kecil
karena di rumh saya sendri orang tua
saya mengajar ngaji, sehingga secara langsung saya diikutkan dalam kegiatan itu.
Walaupun hanya mendengarkan tetapi dengan itu saya bisa dengan sendirinya, misal
dalam mendengarkan surat-surat pada juz amma, walaupun saya belum mengaji saya
sudah hafal surat-surat dalam juz amma sejak umur 3 tahun dari hasil
mendengarkan ketika anak-anak mengaji di tempat saya. Tidak seperti ibu-ibu
pada umumnya yang selalu memberikan dongeng kepada anak-anaknya, ibu saya justru membacakan surat-surat pendek. Setiap
ayah dan ibu pergi ke masjid untuk melakukan
shalat jamaah, ketika saya melihatnya sedang bersiap-siap saya meminta mereka
untuk menunggu saya, kemudian saya ikut bersiap-siap. Semangat untuk melakua
shalat berjmaaah ada karena meliht mereka shalat bersama-sama ke masjid rasanya
senang.
Awal
saya sekolah saya dimasukan dalam sekolah RA (Raudlatul Athfal). Disana saya
mulai diajarkan tentang
pelajaran-pelajaran dasar tentang agama, tetapi saya belum begitu mengerti.
Saya hanya menerima apa yang dikatakan oleh guru saya. Saya beranggapan apa
yang diceritakan oleh guru orang tua saya itu tidak benar tentang jika kita berdoa maka
doa kita akan dikabulkan. Suatu
hari anak-anak RA sedang istirhat, maka mereka berlarian untuk berebut memilih mainan yang mereka
suka. Ketika
saya menghampiri mainan tersebut ternyata teman saya tidak mau untuk
bergantian, kemudian saya berdoa kepada Tuhan agar teman saya memberikan mainan
tersebut. Saya mencoba kembali meminta mainan
tersebut tetapi teman saya tetap bersikeras
mempertahankannya. Itu berarti
bahwa doa saya
waktu itu tidak dikabulkan. Saya marah. Ketika dirumah saya tidak menjalankan
shalat jika tidak disuruh oleh ibu. Walaupun saya tahu jika tidak melaksanakan
shalat itu dosa dan masuk neraka. Bahkan ketika shalat jamaah saya selalu
bermain-main dengan teman-teman sebaya saya yang datang ke masjid sambil
shalat senggol sana-sini dana melihat depan belakang. Saya juga sering shalat
tanpa mengucapkan yang telah diajarkan oleh guru dan ayah saya, tetapi hanya
diam dan tak jarang melamun. Saya sering merasa bosan untuk shalat. Anggapan
saya mengenai Tuhan bahwa Tuhan itu memiliki kehidupan seperti manusia, jika
kita makan maka Tuhan makan, jika terjadi hujan maka saat itu Tuhan menumpahkan
minum ketika hendak minum.
Lulus dari RA
saya dimasukkan di Madrasah Ibtidaiyah. Saat itulah saya mulai menjalankan shalat lima waktu dan saya
juga sudah mulai melakukan puasa ramadhan seperti yang orang dewasa lakukan,
ketika akan membatalkan puasa saya merasa takut akan sikasa neraka seperti yang
diceritakan oleh bu guru di RA dan dari ibu juga, sehingga saya melakukan puasa
ramadhan selama 30 hari, kecuali ketika saya sakit ibu yang meminta saya untuk
puasa setengah hari saja. yang tentu pendidikan agamanya mempunyai nilai lebih
dari sekolah. Setelah itu saya melanjutkan pendidikan di Madrasah Tsanawiyah
dan setelah lulus dilanjutkan di Madrasah Aliyah,
Mulai masuk
Aliyah saat itulah saya mulai dimasukkan dalam dunia pesantren. Ketika berada
di pesantren justru saya mengalami krisis religiusitas.
Jika di dalam pesantren saya selalu melakukan shalat 5 waktu tetapi ketika
telah bepergian dengan teman terkadang saya dan teman-teman lupa untuk
melaksanakan kewajiban tersebut. Karena teman-teman saya juga jarang untuk
melakukan shalat. Dalam hal ketaatan terhadap peraturan pesantren juga sangat
kurang. Saya sering
melanggar karena pegaruh teman-teman dekat saya yang sering melanggar, jika
tidak saya akan diremehkan. Dalam melaksanakan kegiatan pesantren seperti mengaji
saya selalu bermalas-malasan, saya beragkat ngaji karena tuntutan peraturan
pesantren, saya membawa kitab seperti yang lain, tetapi disana saya dengan
teman-teman dekat saya mendengarkan mp3 dan tidak menulis, hanya duduk di
belakang. Ketika diberi pertanyaan atau diperintahkan untuk membaca saya
meminjam milik teman lain yang mencatat dan memperhatikan, sehingga disitu pak
ustad tidak tahu kalau saya tidak mencatat. Itulah awal saya masuk di pesantren
karena terpaksa diperintahkan oleh ayah. Setelah 5 bulan saya menjalani
kehidupan di dunia pesantren saya merasa tidak betah dan meminta ayah untuk mengeluarkan saya dari
pesantren tersebut, tetapi ayah
tidak menuruti. Sehingga saya sering pulang dalam waktu lama dan tidak mau
kembali ke pesantren lagi, seharusnya di usia saya waktu itu sudah menyadari
akan pentingnya pesantren
sebagai bekal rohani saya, tetapi malah justru sebalinya. Faktor utama menurut
saya adalah salah memilih teman, di pesantren banyak teman tetapi saya
bersahabat dengan yang anak-anak yang masih kurang rasa agamanya. Sehingga saya
terbawa dengan kebiasaan mereka untuk meninggalkan shalat. Alhasil akhirnya
saya keluar dari pesantren dari hasil pengorbananku merengek memohon kepada
ayah. Setelah keluar lama-kelamaan saya sadar saya kembali rajin melakukan
shalat 5 waktu atas kesadaran sendiri, bahkan saya sering melakukan shalat
tahajud di rumah, dan di sekolah saya juga sering melakukan dhuha ketika
waktu istirahat. Hal itu saya lakukan ketika saya
sadar. Saya sering bangun malam ketika itu saya sering melihat orang tua saya
melakukan shalat tahajud. Saya termotivasi oleh kebiasaan orang tua sendiri.
Saya seperti mendapat pencerahan.
Sampai
pada akhirnya saya lulus MA saya masuk ke jurusan sastra inggris di UIN Sunan Kalijaga, tetapi
orang tua saya tidak menghendakinya, orang tua saya memaksa saya untuk mendaftar lagi dan mengambil jurusan PAI.
Saat itu saya menjadi benci terhadap PAI, saya kembali jarang melakukan shalat.
Kebetulan waktu itu saya dimasukkan di kost, dengan dukungan dari teman-teman
yang kebanyakan jarang shalat saya pun mengikutinya. Tetapi disisi lain terkadang saya meneingkat dari
segi ketaatan beragama seperti melakukan shalat malam dan rajin shalat, bahkan
waktu itu saya berkeingian untuk terjun ke dunia TPA, saya mengajar TPA di
masjid dekat kost. Terkadang
juga saya merasa bosan dan melanggar kewajiban agama. Kebiasaan
itu terus berlanjut.
Hingga pada akhirnya orang tua saya memasukan saya ke dalam pesatren. Di
Pesantren saya merasa betah, teman-teman yang rajin shalat malam dan mujahadah malam
membuat saya termotivasi kembali, saya menyadari kalau saya butuh ilmu agama
yang mendalam. Setiap hari saya melakukan mujahadah dan saya termasuk sering
melakukan shalat malam. Saya sangat bersyukur dengan dimasukkannya saya ke
dalam pesantren, dan ketika teman saya mengajak untuk kost kembali saya pun mantap untuk
menolaknya. Permasalahn besar yang sedang saya hadapi saat ini yakni
kebingungan, karena lingkungan di sekitar yang berbeda-beda pemahaman, dari
ajaran shalat yang berbeda terkadang saya mulai ragu manakah yang benar.
Berbagai pemahaman tentang kebenaran, menurut yang satu jika dilakukan degan
cara ini boleh tapi menurut paham lain tidak boleh, saya makin bingung. Saya
mencari tahu dengan cara membaca buku atau beranya pada yang lebih pandai
tentang kebenarannya,
tetapi hasilnya belum
juga puas karena jawaban
mereka cenderung berbeda-beda pula.
C.
ANALISIS
Kesadaran beragama pada masa
kanak-kanak sangat dipengaruhi oleh keimanan, sikap dan tingkah laku keagamaan
orang tuanya. Keadaan jiwa orang tua sudah terpengaruh terhadap perkembangan
jiwa anak sejak janin di dalam kandungan[1].
Latihan latihan keagamaan yang menyangkut ibadah seperti sembahyang, doa,
membaca Al-Qur’an (atau menghafalkan ayat-ayat atau surat-surat pendek),
sembahyang berjamaah, di sekolah, masjid atau langgar, harus dibiasakan sejak
kecil, sehingga lama-kelamaan akan tumbuh rasa senang melakukan ibadah
tersebut. Dia dibiasakan sedemikian
rupa, sehingga
dengan sendirinya ia akan terdorong untuk melakukannya, tanpa suruhan dari
luar, tapi dorongan dari dalam. Ingat prinsip agama Islam tidak ada paksaan,
tapi ada keharusan pendidikan yang dibebankan kepada orang tua dan guru atau
orang yang mengerti agama.[2]
Berhubungan dengan keadaan kasus saya ketika masih kecil, pegaruh dari
keimanan, sikap dan tingkah laku serta kebiasaan keagamaan orang tua yang baik membuat saya
mengikuti apa yang mereka biasa lakukan termasuk memang ketika itu saya belum
mengaji tetapi sudah bisa hafal surat-surat pendek dan keinginan untuk shalat
jamaah sering ketika ayah dan ibu berangkat ke masjid. Pada usia anak-anak
belum mempunyai pemhaman dalam melaksanakan ajaran agama islam, disinilah peran
orang tua dalam memperkenalkan dan membiasakan anak dalam melakukan tindakan-tindakan
agama sekalipun hanya bersifat meniru. Tindakan yang tepat untuk perkembangan
agama pada masa selanjutnya. Apabila anak tidak terbiasa melaksanakan
melasanakan ajaran agama terutama ibadah (secara konkret seperti sembahyan,
puasa, membaca Al Qur’an dan berdoa) dan tidak pula dilatih atau dibiasakan
melaksanakan hal-hal yang diperintahkan Tuhan dalam kehidupan sehari-hari serta
tidak dilatih untuk menghindari larangannya maka pada waktu dewasanya nanti ia
cenderung acuh atau tidak akan merasakan pentingnya agama bagi dirinya sendiri.
Tapi sebaliknya anak yang banyak mendapat latihan dan pembiasaan agama, pada
waktu dewasanya nanti akan semakin merasakan kebutuhan agama bagi dirinya.
Sifat keagamaan
pada anak yang kurang mendalam membuat anak beranggapan yang lain tentng Tuhan.
Penelitian Machion tentang sejumlah konsep ke-Tuhanan pada diri anak 73% mereka
menganggap Tuhan itu bersifat seperti manusia[3].
Berkaitan dengan anggapan saya tentang hujan yang saya terima dari cerita
teman, kalau hujan turun itu berarti Tuhan menumpahkan minum ke bawah meja
makan, dan bawah meja itu adalah tempat
dimana kita tinggal yang sedang terjadi hujan. Anggapan anak-anak terhadap
ajaran agama dapat saja mereka terima dengan tanpa kritik. Kebenaran yang
mereka terima tidak begitu mendalam sehingga cukup sekedarnya saja dan mereka
sudah merasa puas dengan keterangan yang kadang-kadang kurang masuk akal.
Meskipun seperti itu, pada beberapa anak banyak terdapat pada diri mereka yang
memiliki ketajaman berpikir untuk menimbang pemikiran yang mereka terima orang
tua.
Penelitian Paff
yang membuktikan anak berfikir kritis sebagai contoh suatu peristiwa seorang
anak mendapat keterangan dari ayahnya bahwa Tuhan selalu mengabulkan permintaan
hambanya. Suatu saat ketik saya meminta mainan kepada teman dan telah berdoa
terlebih dahulu ternyata teman saya tetap tidak mau memberikannya. Maka saya
tidak mau untuk shalat dan berdoa. Hal tersebut telah membuktian bahwa anak
telah berfikir kritis walaupun hanya secara sederhana. Menurut penelitian
pemikiran kritis baru timbl pada usia 12 tahun sejalan dengan pertumbuhan moral
. Di usia tersebut, anak yang kurang cerdas pun menunjukkan
pemikiran yang kreatif . Kasus ini menunjukkan
bahwa anak meragukan kebenaran ajaran agama itu secara konkrit saja.[4]
Pada usia remaja
ada beberapa ciri yang dalam hal perkembangan jiwa keagamaannya menurut Zakiyah
antra lain:
·
Pertumbuhan
Jasmani secara cepat telah selesai
Sikap
dan tindakan atau kelakuan yang terjadi akibat kematangan dari segi jasmani
pada remaja berbeda antaraang satu dengan yang lain, sesuai dengan konstruksi
pribadi yang mereka lalui serta lingkungan tempat hidup mereka. Ketika di
pesantren saya melakukan shalat tetapi ketika bepergian dengan teman-teman
seringkali saya tidak melakukan shalat.
·
Pertumbuhan
kecerdasan hampir selesai
Di
usia remaja mereka telah mampu mengambil kesimpulan abstrak dan sesuatu yang
bersifat indrawi. Sebagai akibat dari kematangan kecerdasan itu, mereka selalu
menuntut penjelasan yang masuk akal terhadap setiap ketentuan hukum agama yang
dibawakan kepadanya. Mereka menghendaki agar ketentuan agama dapat mereka
pahami. Saya selalu bertaya-tanya tentang perpedaan paham antara satu dengan
yang lain mengenai hukum agama, yang satu membolehkan yang satu tidak
membolehkan, padahal mereka sama-sama islam, tetapi saya belum merasa puas
terhadap jawaban yang saya dapatkan.
·
Pertumbuhan
pribadi belum selesai
Dalam
ha ini jiwa mereka masih mengalami kegoncangan dan ketidakpastian. Dari segi
jasmaniah mereka merasa cukup matang dan seperti orang dewasa. Dalam hal
kecerdasan, mereka merasa telah mampu berfikir obyektif dan dapat mengambil
kesimpuan yang abstrak dari kenyatan indrawi.
·
Pertumbuhan jiwa
sosial masih berjalan
Mereka
akan merasa sedih apabila diremehkan atau dikucilkan dari masyarakat
teman-temanya. Karena itu, mereka itu mereka tak mau ketinggalan dari mode atau
kebiasaan teman-temannya. Mereka sangat gelisah apabila dipandang rendah atau
diejek oleh teman-temannya, terutama teman dari lawan jenis. Saya mengikuti
kebiasaan dari teman-teman ketika berada di pesantren waktu MA dimana
teman-teman saya cenderung melanggar aturan pesantren. Ketika mengaji bukannya
mengaji tapi malah mendengarkan mp3. Jika saya tidak berani untuk melanggar
aturan pesantren mereka mengejek saya.
·
Keadaan jiwa
agama yang tak stabil
Remaja
pada umur-umur ini mengalami kegoncangan atau ketidakstabilan dalam beragama.[5]
Hal ini terjadi ketika saya dipaksa untuk masuk dalam jurusan PAI yang pada
awalnya saya telah diterima di jurusan yang saya senangi. Saya merasa benci
terhadap PAI dan saya menjadi jarang melakukan shalat.
Perkembangan moral para remaja
bertitik tolak dari rasa berdosa dan usaha mencari roteksi. Tipe moral yang
terlihat pada remaja mencakup:
a.
Self-directive,
taat terhadap agama atau moral berdasarkan pertimbangan pribadi
b.
Adaptive,
mengikuti situasi lingkungan tanpa mengadakan kritik
Terjadi
ketika saya menyimpang dari kewajiban shalat ketika bersama teman-teman tanpa
saya mengkritik mereka ataupun mengingatkan mereka.
c.
Submissive, merasakan
adanya keraguan terhadap ajaran moral dan agama
Terjadi
ketika saya merasa ragu dengan kebenaran ajaran agama yang saya peroleh jika
dibandingkan dengan keyakinan aliran lain yang berbeda yang mereka menggunakan
dasar.
d.
Unadjusted,
belum meyakini akan kebenaran ajaran agama dan moral
e.
Deviant, menolak
dasar dan hukum keagamaan serta tatanan moral masyarakat.[6]
Pada
perkembangan jiwa agama remaja terkadang timbul hasrat untuk tampil ke depan
umum (sosial) termasuk dalam bidang agama sehingga para remaja termotivasi
terlibat dalam berbagai organisasi keagamaan seperti ketika saya di kost saya
berkeinginan untuk mengajar di TPA, yang akhirnya saya terjun ke dunia sosial
untuk mengajar TPA di masjid dekat kost.[7]
Sikap remaja
dalam beragama :
1)
Percaya ikut-ikutan
2)
Percaya dengan
kesadaran
3)
Percaya, tapi
agak ragu-ragu
Pertama
yakni keraguan disebabkan oleh goncangan jiwa dan terjadinya proses perubahan.
Kedua disebabkan adanya kontradiksi atas kenyataan yang dilihatnya dengan apa
yang diyakininya atau dengan pengetahuan yang dimilikinya. Sama halnya denga
keraguan saya terhadap pegetahuan yang saya dapat dengan kenyataan di sekitar
saya yang beragam paham dari segi pemahama tentang ajaran agama.
4)
Tidak percaya
atau cenderung pada ateis[8]
D. KESIMPULAN
Perkembangan rasa agama dari masa anak-anak hingga
dewasa. Di dalamnya mencakup mengenai kriteria yang dimiliki orang-orang yang
sudah matang dari segi rasa agamanya maupun kriteria orang yang lemah rasa
agamanya. Penanaman rasa agama sangat penting dilakukan sejak dini sebagai awal
dari perjalanan rasa agama untuk tahap selanjutnya. Apabila dari kecil telah
tertanam pribadi yang baik maka pada saat dewasa nanti religiusitasnya juga
bagus, begitu sebaliknya jika pada saat anak-anak tidak dibekali dengan penanaman
rasa agama yang baik maka pada saat dewasa nanti anak itu cenderung melakukan
hal yang menyimpang dari ajaran agama yang seharusnya. Ada masanya seseorang
mengalami peningkatan dari segi religiusitasnya, mereka cenderung taat beragama
dan menjalankan tugas keagamaan dengan baik, ada kalanya juga mereka melakukan
hal yang menyimpang dan cenderung berbuat yang dilarang agama. Kesemuanya itu
tidak lepas dari faktor dan motivasi yang mendasarinya. Tergantung dari
pendidikan yang diterapkan dan lingkungan yang ditempati, dan masing masing
individu mengalami kadar religiusitas yang berbeda-beda.
DAFTAR PUSTAKA
Ahyadi, Abdul Aziz. 2005. Psikologi Agama:Kepribadian Muslim Pancasila
(Bandung: Sinar Baru Algesindo
Arifin,
Bambang Syamsul. 2008. Psikologi Agama.
Bandung: Pustaka Setia
Baharuddin, Mulyono. 2008. Psikologi Agama dalam Perspektif Islam.
Malang: UIN-Malang Press
Ramayulis.
2002. Psikologi Agama. Jakarta: Kalam
Mulia
Sururin. Ilmu Jiwa Agama (Jakarta: PT Raja
Grafindo Utama.2004), halm.72-77
Zakiah
Daradjat. 2003. Ilmu Jiwa Agama.
Jakarta: Bulan Bintang
[1]
Abdul Aziz Ahyadi. Psikologi Agama:Kepribadian Muslim Pancasila (Bandung: Sinar
Baru Algesindo.2005),halm.40
[2]
Zakiah Daradjat. Ilmu Jiwa Agama (Jakarta: Bulan Bintang.2003), halm.75
[3]
Ramayulis. Psikologi Agama (Jakarta: Kalam Mulia.2002), halm.53
[4]
Ibid,halm.54
[5]
Bambang Syamsul Arifin. Psikologi Agama (Bandung: Pustaka Setia.2008),halm.
65-67
[6]
Jalaludin. Psikologi Agama (Jakarta. PT Grafindo Persada.2011), halm.76
[7]
Baharuddin, Mulyono. Psikologi Agama dalam Perspektif Islam (Malang: UIN-Malang
Press. 2008), halm.139
[8]
Sururin. Ilmu Jiwa Agama (Jakarta: PT Raja Grafindo Utama.2004), halm.72-77
No comments:
Post a Comment