Friday, 15 June 2012

PERKEMBANGAN RASA AGAMA DARI ANAK-ANAK HINGGA REMAJA


PERKEMBANGAN RASA AGAMA DARI ANAK-ANAK HINGGA REMAJA
Makalah ini disusun guna memenuhi tugas individu mata kuliah Psikologi Agama
Dosen Pengampu : Dra. Hj. Susilaningsih, M.A





 









DISUSUN OLEH :
Dedy eNHa    (10410061)
111– PAI D






PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
2012
A. PENDAHULUAN
Manusia dipandang dari gejala-gejala jiwa yang terdalam sebagai suatu keyakinan yang disebut agama. Berbicara mengenai agama tidak lepas dari pembicaraan tentang rasa agama yang memang merupakan sesuatu yang harus kita ketahui mengingat betapa pentingnya penanaman rasa agama pada tiap-tiap individu. Bahkan tidak hanya sekedar itu, di berbagai sisi kehidupan rasa agama akan sangat berpengruh terhadap sikap dan tingkah laku seseorang.
Dalam pendidikan Islam rasa agama merupakan satu komponen dari tujuan pokok pendidikan islam yang nantinya harus ditanamkan pada masing-masing individu secara perlahan dengan tujuan agar dapat melekat pada diri individu tersebut. Untuk mengetahui sejauh mana tujuan dari penanaman rasa agama berhasil atau tidaknya hanya bisa dirasakan oleh masing-masing individu yang menerimanya. Berhasil atau tidaknya pendidikan islam dalam mencapai tujuannya akan dapat dilihat setelah dilakukannya refleksi diri terhadap seseorang, tujuan pendidikan agama dapat dikatakan berhasil jika rasa agama yang ditanamkan telah mengkristal pada diri individu yang menerima dan individu tersebut dapat menjalankan perintah-perintah agama sesuai kesadaran diri berdasarkan hati nurani tanpa disuruh oleh orang lain, jika tidak seperti itu maka belum bisa dikatakan berhasil.
Kesadaran agama adalah bagian atau segi yang terasa dalam pikiran dan dapat dilihat gejalanya melalui introspeksi. Kesadaran terhadap tugas keagamaan juga bertahap dari masa anak-anak hingga dewasa. Pendidikan dasar akan sanag berpengaruh pada perkembangan selanjutnya. Mereka akan mengalami kadar rasa agama yang berbeda-beda. Kadangkala mereka tinggi dalam hal beribadah, kadangkala turun drastis, kadang juga sedang-sedang saja, tiap orang berbeda-beda. Mengingat betapa pentingnya masalah rasa agama sehingga perlu dilakukan pembahasan seperti yang akan dibahas dalam mini riset kali ini yakni tentang perkembangan rasa agama dari anak-anak hingga remaja melalui analisis kasus.

B. KASUS
Saya seorang yang berasal dari keluarga yang religius, ayah saya seorang yang disegani oleh penduduk desa karena beliau adalah sosok yang religius dan merupakan imam masjid dan guru ngaji. Keturunan dari ayah maupun ibu saya semuanya dididik di dunia pesantren dari kecil, sehingga sejak dini rasa agama mereka telah tertanam dibuktikan dengan kegiatan-kegiatan keagamaan yang mereka lakukan, tanpa ada perintah dari orang tua mereka sudah melakukannya dengan kesadaran diri bahwa mereka sebagai orang islam mempnyai kewajiban untuk shalat. Itulah yang saya dapat dari cerita nenek saya tentang ayah dan ibu saya.
Mengenai diri saya sendiri penanaman tentang rasa agama sudah saya dapatkan sejak kecil karena di rumh saya  sendri orang tua saya mengajar ngaji, sehingga secara langsung saya diikutkan dalam kegiatan itu. Walaupun hanya mendengarkan tetapi dengan itu saya bisa dengan sendirinya, misal dalam mendengarkan surat-surat pada juz amma, walaupun saya belum mengaji saya sudah hafal surat-surat dalam juz amma sejak umur 3 tahun dari hasil mendengarkan ketika anak-anak mengaji di tempat saya. Tidak seperti ibu-ibu pada umumnya yang selalu memberikan dongeng kepada anak-anaknya, ibu saya  justru membacakan surat-surat pendek. Setiap ayah dan ibu pergi ke masjid untuk melakukan shalat jamaah, ketika saya melihatnya sedang bersiap-siap saya meminta mereka untuk menunggu saya, kemudian saya ikut bersiap-siap. Semangat untuk melakua shalat berjmaaah ada karena meliht mereka shalat bersama-sama ke masjid rasanya senang.
            Awal saya sekolah saya dimasukan dalam sekolah RA (Raudlatul Athfal). Disana saya mulai diajarkan tentang pelajaran-pelajaran dasar tentang agama, tetapi saya belum begitu mengerti. Saya hanya menerima apa yang dikatakan oleh guru saya. Saya beranggapan apa yang diceritakan oleh guru orang tua saya itu tidak benar tentang jika kita berdoa maka doa kita akan dikabulkan. Suatu hari anak-anak RA sedang istirhat, maka mereka berlarian untuk berebut memilih mainan yang mereka suka. Ketika saya menghampiri mainan tersebut ternyata teman saya tidak mau untuk bergantian, kemudian saya berdoa kepada Tuhan agar teman saya memberikan mainan tersebut. Saya mencoba kembali meminta mainan tersebut tetapi teman saya tetap bersikeras  mempertahankannya. Itu berarti bahwa doa saya waktu itu tidak dikabulkan. Saya marah. Ketika dirumah saya tidak menjalankan shalat jika tidak disuruh oleh ibu. Walaupun saya tahu jika tidak melaksanakan shalat itu dosa dan masuk neraka. Bahkan ketika shalat jamaah saya selalu bermain-main dengan teman-teman sebaya saya yang datang ke masjid sambil shalat senggol sana-sini dana melihat depan belakang. Saya juga sering shalat tanpa mengucapkan yang telah diajarkan oleh guru dan ayah saya, tetapi hanya diam dan tak jarang melamun. Saya sering merasa bosan untuk shalat. Anggapan saya mengenai Tuhan bahwa Tuhan itu memiliki kehidupan seperti manusia, jika kita makan maka Tuhan makan, jika terjadi hujan maka saat itu Tuhan menumpahkan minum ketika hendak minum.
Lulus dari RA saya dimasukkan di Madrasah Ibtidaiyah. Saat itulah saya mulai menjalankan shalat lima waktu dan saya juga sudah mulai melakukan puasa ramadhan seperti yang orang dewasa lakukan, ketika akan membatalkan puasa saya merasa takut akan sikasa neraka seperti yang diceritakan oleh bu guru di RA dan dari ibu juga, sehingga saya melakukan puasa ramadhan selama 30 hari, kecuali ketika saya sakit ibu yang meminta saya untuk puasa setengah hari saja. yang tentu pendidikan agamanya mempunyai nilai lebih dari sekolah. Setelah itu saya melanjutkan pendidikan di Madrasah Tsanawiyah dan setelah lulus dilanjutkan di Madrasah Aliyah,
Mulai masuk Aliyah saat itulah saya mulai dimasukkan dalam dunia pesantren. Ketika berada di pesantren justru saya mengalami krisis religiusitas. Jika di dalam pesantren saya selalu melakukan shalat 5 waktu tetapi ketika telah bepergian dengan teman terkadang saya dan teman-teman lupa untuk melaksanakan kewajiban tersebut. Karena teman-teman saya juga jarang untuk melakukan shalat. Dalam hal ketaatan terhadap peraturan pesantren juga sangat kurang. Saya sering melanggar karena pegaruh teman-teman dekat saya yang sering melanggar, jika tidak saya akan diremehkan. Dalam melaksanakan kegiatan pesantren seperti mengaji saya selalu bermalas-malasan, saya beragkat ngaji karena tuntutan peraturan pesantren, saya membawa kitab seperti yang lain, tetapi disana saya dengan teman-teman dekat saya mendengarkan mp3 dan tidak menulis, hanya duduk di belakang. Ketika diberi pertanyaan atau diperintahkan untuk membaca saya meminjam milik teman lain yang mencatat dan memperhatikan, sehingga disitu pak ustad tidak tahu kalau saya tidak mencatat. Itulah awal saya masuk di pesantren karena terpaksa diperintahkan oleh ayah. Setelah 5 bulan saya menjalani kehidupan di dunia pesantren saya merasa tidak betah dan meminta ayah untuk mengeluarkan saya dari pesantren tersebut, tetapi ayah tidak menuruti. Sehingga saya sering pulang dalam waktu lama dan tidak mau kembali ke pesantren lagi, seharusnya di usia saya waktu itu sudah menyadari akan pentingnya pesantren sebagai bekal rohani saya, tetapi malah justru sebalinya. Faktor utama menurut saya adalah salah memilih teman, di pesantren banyak teman tetapi saya bersahabat dengan yang anak-anak yang masih kurang rasa agamanya. Sehingga saya terbawa dengan kebiasaan mereka untuk meninggalkan shalat. Alhasil akhirnya saya keluar dari pesantren dari hasil pengorbananku merengek memohon kepada ayah. Setelah keluar lama-kelamaan saya sadar saya kembali rajin melakukan shalat 5 waktu atas kesadaran sendiri, bahkan saya sering melakukan shalat tahajud di rumah, dan di sekolah saya juga sering melakukan dhuha ketika waktu  istirahat. Hal itu saya lakukan ketika saya sadar. Saya sering bangun malam ketika itu saya sering melihat orang tua saya melakukan shalat tahajud. Saya termotivasi oleh kebiasaan orang tua sendiri. Saya seperti mendapat pencerahan.
            Sampai pada akhirnya saya lulus MA saya masuk ke jurusan sastra inggris di UIN Sunan Kalijaga, tetapi orang tua saya tidak menghendakinya, orang tua saya memaksa saya untuk  mendaftar lagi dan mengambil jurusan PAI. Saat itu saya menjadi benci terhadap PAI, saya kembali jarang melakukan shalat. Kebetulan waktu itu saya dimasukkan di kost, dengan dukungan dari teman-teman yang kebanyakan jarang shalat saya pun mengikutinya. Tetapi disisi lain terkadang saya meneingkat dari segi ketaatan beragama seperti melakukan shalat malam dan rajin shalat, bahkan waktu itu saya berkeingian untuk terjun ke dunia TPA, saya mengajar TPA di masjid dekat kost. Terkadang juga saya merasa bosan dan melanggar kewajiban agama. Kebiasaan itu terus berlanjut. Hingga pada akhirnya orang tua saya memasukan saya ke dalam pesatren. Di Pesantren saya merasa betah, teman-teman yang rajin shalat malam dan mujahadah malam membuat saya termotivasi kembali, saya menyadari kalau saya butuh ilmu agama yang mendalam. Setiap hari saya melakukan mujahadah dan saya termasuk sering melakukan shalat malam. Saya sangat bersyukur dengan dimasukkannya saya ke dalam pesantren, dan ketika teman saya mengajak untuk kost kembali saya pun mantap untuk menolaknya. Permasalahn besar yang sedang saya hadapi saat ini yakni kebingungan, karena lingkungan di sekitar yang berbeda-beda pemahaman, dari ajaran shalat yang berbeda terkadang saya mulai ragu manakah yang benar. Berbagai pemahaman tentang kebenaran, menurut yang satu jika dilakukan degan cara ini boleh tapi menurut paham lain tidak boleh, saya makin bingung. Saya mencari tahu dengan cara membaca buku atau beranya pada yang lebih pandai tentang kebenarannya, tetapi hasilnya belum juga puas karena jawaban mereka cenderung berbeda-beda pula.

C. ANALISIS
Kesadaran beragama pada masa kanak-kanak sangat dipengaruhi oleh keimanan, sikap dan tingkah laku keagamaan orang tuanya. Keadaan jiwa orang tua sudah terpengaruh terhadap perkembangan jiwa anak sejak janin di dalam kandungan[1]. Latihan latihan keagamaan yang menyangkut ibadah seperti sembahyang, doa, membaca Al-Qur’an (atau menghafalkan ayat-ayat atau surat-surat pendek), sembahyang berjamaah, di sekolah, masjid atau langgar, harus dibiasakan sejak kecil, sehingga lama-kelamaan akan tumbuh rasa senang melakukan ibadah tersebut. Dia dibiasakan sedemikian rupa, sehingga dengan sendirinya ia akan terdorong untuk melakukannya, tanpa suruhan dari luar, tapi dorongan dari dalam. Ingat prinsip agama Islam tidak ada paksaan, tapi ada keharusan pendidikan yang dibebankan kepada orang tua dan guru atau orang yang mengerti agama.[2] Berhubungan dengan keadaan kasus saya ketika masih kecil, pegaruh dari keimanan, sikap dan tingkah laku serta kebiasaan  keagamaan orang tua yang baik membuat saya mengikuti apa yang mereka biasa lakukan termasuk memang ketika itu saya belum mengaji tetapi sudah bisa hafal surat-surat pendek dan keinginan untuk shalat jamaah sering ketika ayah dan ibu berangkat ke masjid. Pada usia anak-anak belum mempunyai pemhaman dalam melaksanakan ajaran agama islam, disinilah peran orang tua dalam memperkenalkan dan membiasakan anak dalam melakukan tindakan-tindakan agama sekalipun hanya bersifat meniru. Tindakan yang tepat untuk perkembangan agama pada masa selanjutnya. Apabila anak tidak terbiasa melaksanakan melasanakan ajaran agama terutama ibadah (secara konkret seperti sembahyan, puasa, membaca Al Qur’an dan berdoa) dan tidak pula dilatih atau dibiasakan melaksanakan hal-hal yang diperintahkan Tuhan dalam kehidupan sehari-hari serta tidak dilatih untuk menghindari larangannya maka pada waktu dewasanya nanti ia cenderung acuh atau tidak akan merasakan pentingnya agama bagi dirinya sendiri. Tapi sebaliknya anak yang banyak mendapat latihan dan pembiasaan agama, pada waktu dewasanya nanti akan semakin merasakan kebutuhan agama bagi dirinya.
Sifat keagamaan pada anak yang kurang mendalam membuat anak beranggapan yang lain tentng Tuhan. Penelitian Machion tentang sejumlah konsep ke-Tuhanan pada diri anak 73% mereka menganggap Tuhan itu bersifat seperti manusia[3]. Berkaitan dengan anggapan saya tentang hujan yang saya terima dari cerita teman, kalau hujan turun itu berarti Tuhan menumpahkan minum ke bawah meja makan, dan  bawah meja itu adalah tempat dimana kita tinggal yang sedang terjadi hujan. Anggapan anak-anak terhadap ajaran agama dapat saja mereka terima dengan tanpa kritik. Kebenaran yang mereka terima tidak begitu mendalam sehingga cukup sekedarnya saja dan mereka sudah merasa puas dengan keterangan yang kadang-kadang kurang masuk akal. Meskipun seperti itu, pada beberapa anak banyak terdapat pada diri mereka yang memiliki ketajaman berpikir untuk menimbang pemikiran yang mereka terima orang tua.
Penelitian Paff yang membuktikan anak berfikir kritis sebagai contoh suatu peristiwa seorang anak mendapat keterangan dari ayahnya bahwa Tuhan selalu mengabulkan permintaan hambanya. Suatu saat ketik saya meminta mainan kepada teman dan telah berdoa terlebih dahulu ternyata teman saya tetap tidak mau memberikannya. Maka saya tidak mau untuk shalat dan berdoa. Hal tersebut telah membuktian bahwa anak telah berfikir kritis walaupun hanya secara sederhana. Menurut penelitian pemikiran kritis baru timbl pada usia 12 tahun sejalan dengan pertumbuhan moral . Di usia tersebut, anak yang kurang cerdas pun menunjukkan pemikiran yang kreatif . Kasus ini menunjukkan bahwa anak meragukan kebenaran ajaran agama itu secara konkrit saja.[4] 
Pada usia remaja ada beberapa ciri yang dalam hal perkembangan jiwa keagamaannya menurut Zakiyah antra lain:
·         Pertumbuhan Jasmani secara cepat telah selesai
Sikap dan tindakan atau kelakuan yang terjadi akibat kematangan dari segi jasmani pada remaja berbeda antaraang satu dengan yang lain, sesuai dengan konstruksi pribadi yang mereka lalui serta lingkungan tempat hidup mereka. Ketika di pesantren saya melakukan shalat tetapi ketika bepergian dengan teman-teman seringkali saya tidak melakukan shalat.
·         Pertumbuhan kecerdasan hampir selesai
Di usia remaja mereka telah mampu mengambil kesimpulan abstrak dan sesuatu yang bersifat indrawi. Sebagai akibat dari kematangan kecerdasan itu, mereka selalu menuntut penjelasan yang masuk akal terhadap setiap ketentuan hukum agama yang dibawakan kepadanya. Mereka menghendaki agar ketentuan agama dapat mereka pahami. Saya selalu bertaya-tanya tentang perpedaan paham antara satu dengan yang lain mengenai hukum agama, yang satu membolehkan yang satu tidak membolehkan, padahal mereka sama-sama islam, tetapi saya belum merasa puas terhadap jawaban yang saya dapatkan.
·         Pertumbuhan pribadi belum selesai
Dalam ha ini jiwa mereka masih mengalami kegoncangan dan ketidakpastian. Dari segi jasmaniah mereka merasa cukup matang dan seperti orang dewasa. Dalam hal kecerdasan, mereka merasa telah mampu berfikir obyektif dan dapat mengambil kesimpuan yang abstrak dari kenyatan indrawi.
·         Pertumbuhan jiwa sosial masih berjalan
Mereka akan merasa sedih apabila diremehkan atau dikucilkan dari masyarakat teman-temanya. Karena itu, mereka itu mereka tak mau ketinggalan dari mode atau kebiasaan teman-temannya. Mereka sangat gelisah apabila dipandang rendah atau diejek oleh teman-temannya, terutama teman dari lawan jenis. Saya mengikuti kebiasaan dari teman-teman ketika berada di pesantren waktu MA dimana teman-teman saya cenderung melanggar aturan pesantren. Ketika mengaji bukannya mengaji tapi malah mendengarkan mp3. Jika saya tidak berani untuk melanggar aturan pesantren mereka mengejek saya.
·         Keadaan jiwa agama yang tak stabil
Remaja pada umur-umur ini mengalami kegoncangan atau ketidakstabilan dalam beragama.[5] Hal ini terjadi ketika saya dipaksa untuk masuk dalam jurusan PAI yang pada awalnya saya telah diterima di jurusan yang saya senangi. Saya merasa benci terhadap PAI dan saya menjadi jarang melakukan shalat.
           
            Perkembangan moral para remaja bertitik tolak dari rasa berdosa dan usaha mencari roteksi. Tipe moral yang terlihat pada remaja mencakup:
a.       Self-directive, taat terhadap agama atau moral berdasarkan pertimbangan pribadi
b.      Adaptive, mengikuti situasi lingkungan tanpa mengadakan kritik
Terjadi ketika saya menyimpang dari kewajiban shalat ketika bersama teman-teman tanpa saya mengkritik mereka ataupun mengingatkan mereka.
c.       Submissive, merasakan adanya keraguan terhadap ajaran moral dan agama
Terjadi ketika saya merasa ragu dengan kebenaran ajaran agama yang saya peroleh jika dibandingkan dengan keyakinan aliran lain yang berbeda yang mereka menggunakan dasar.
d.      Unadjusted, belum meyakini akan kebenaran ajaran agama dan moral
e.       Deviant, menolak dasar dan hukum keagamaan serta tatanan moral masyarakat.[6]

Pada perkembangan jiwa agama remaja terkadang timbul hasrat untuk tampil ke depan umum (sosial) termasuk dalam bidang agama sehingga para remaja termotivasi terlibat dalam berbagai organisasi keagamaan seperti ketika saya di kost saya berkeinginan untuk mengajar di TPA, yang akhirnya saya terjun ke dunia sosial untuk mengajar TPA di masjid dekat kost.[7]

Sikap remaja dalam beragama :
1)      Percaya ikut-ikutan
2)      Percaya dengan kesadaran
3)      Percaya, tapi agak ragu-ragu
Pertama yakni keraguan disebabkan oleh goncangan jiwa dan terjadinya proses perubahan. Kedua disebabkan adanya kontradiksi atas kenyataan yang dilihatnya dengan apa yang diyakininya atau dengan pengetahuan yang dimilikinya. Sama halnya denga keraguan saya terhadap pegetahuan yang saya dapat dengan kenyataan di sekitar saya yang beragam paham dari segi pemahama tentang ajaran agama.
4)      Tidak percaya atau cenderung pada ateis[8]

D. KESIMPULAN
            Perkembangan rasa agama dari masa anak-anak hingga dewasa. Di dalamnya mencakup mengenai kriteria yang dimiliki orang-orang yang sudah matang dari segi rasa agamanya maupun kriteria orang yang lemah rasa agamanya. Penanaman rasa agama sangat penting dilakukan sejak dini sebagai awal dari perjalanan rasa agama untuk tahap selanjutnya. Apabila dari kecil telah tertanam pribadi yang baik maka pada saat dewasa nanti religiusitasnya juga bagus, begitu sebaliknya jika pada saat anak-anak tidak dibekali dengan penanaman rasa agama yang baik maka pada saat dewasa nanti anak itu cenderung melakukan hal yang menyimpang dari ajaran agama yang seharusnya. Ada masanya seseorang mengalami peningkatan dari segi religiusitasnya, mereka cenderung taat beragama dan menjalankan tugas keagamaan dengan baik, ada kalanya juga mereka melakukan hal yang menyimpang dan cenderung berbuat yang dilarang agama. Kesemuanya itu tidak lepas dari faktor dan motivasi yang mendasarinya. Tergantung dari pendidikan yang diterapkan dan lingkungan yang ditempati, dan masing masing individu mengalami kadar religiusitas yang berbeda-beda.

DAFTAR PUSTAKA

Ahyadi, Abdul Aziz. 2005. Psikologi Agama:Kepribadian Muslim Pancasila (Bandung: Sinar Baru Algesindo
Arifin, Bambang Syamsul. 2008. Psikologi Agama. Bandung: Pustaka Setia
Baharuddin, Mulyono. 2008. Psikologi Agama dalam Perspektif Islam. Malang: UIN-Malang Press
Jalaludin. 2011. Psikologi Agama. Jakarta. PT Grafindo Persada
Ramayulis. 2002. Psikologi Agama. Jakarta: Kalam Mulia
Sururin. Ilmu Jiwa Agama (Jakarta: PT Raja Grafindo Utama.2004), halm.72-77
Zakiah Daradjat. 2003. Ilmu Jiwa Agama. Jakarta: Bulan Bintang   








[1] Abdul Aziz Ahyadi. Psikologi Agama:Kepribadian Muslim Pancasila (Bandung: Sinar Baru Algesindo.2005),halm.40
[2] Zakiah Daradjat. Ilmu Jiwa Agama (Jakarta: Bulan Bintang.2003), halm.75
[3] Ramayulis. Psikologi Agama (Jakarta: Kalam Mulia.2002), halm.53
[4] Ibid,halm.54
[5] Bambang Syamsul Arifin. Psikologi Agama (Bandung: Pustaka Setia.2008),halm. 65-67
[6] Jalaludin. Psikologi Agama (Jakarta. PT Grafindo Persada.2011), halm.76
[7] Baharuddin, Mulyono. Psikologi Agama dalam Perspektif Islam (Malang: UIN-Malang Press. 2008), halm.139
[8] Sururin. Ilmu Jiwa Agama (Jakarta: PT Raja Grafindo Utama.2004), halm.72-77

No comments:

Post a Comment